Tinta Media - Beberapa waktu terakhir, jagad dunia maya menjadi gaduh dengan sebuah podcast seorang publik figure yang ditengarai memberikan ruang bagi pelaku penyimpangan seksual. Bahkan, selama dua hari berturut-turut opini ini menjadi trending topic di twitter. Banyak yang berspekulasi bahwa ada upaya penggiringan opini untuk menormalisasi tindakan menyimpang ini, meski kemudian yang bersangkutan menghapus video tersebut lalu meminta maaf kepada khalayak.
Data Kemenkes setelah tahun 2012, jumlah L68T di Indonesia ada lebih dari 1 juta orang, bahkan diprediksi bisa mencapai 3 persen dari jumlah penduduk Indonesia (Jawapos.com/230517).
Penggiat L68T, Hartoyo, dalam diskusi publik di sebuah stasiun televisi swasta 2016 lalu juga mengungkapkan bahwa ada lebih dari 200 komunitas L68T di Indonesia. Dia sendiri pun mengakui bahwa komunitas-komunitas itu melakukan edukasi kepada masyarakat seputar L68T melalui berbagai platform media sosial. Maka, bukan tidak mungkin peningkatan jumlah mereka dari tahun ke tahun, sangat erat kaitannya dengan massifnya propaganda yang mereka lakukan.
Dan hari ini, sensitivitas publik kembali diuji dengan adanya podcast tersebut. Tidak heran jika kemudian berbagai macam tuduhan dan kecaman dilontarkan oleh para netizen.
Dilansir dari situs web mereka di gayanusantara.or.id yang juga ditegaskan kembali oleh Hartoyo, bahwa perilaku mereka secara medis, bukan suatu gangguan atau kelainan. Mereka menggunakan rujukan buku saku PPDGJ, yakni buku saku kedokteran jiwa untuk menguatkan argumennya.
Hal ini secara gamblang disangkal oleh psikiater, Dr dr. Fidiansjah, Sp.,Kj. Beliau merujuk textbook asli yang merinci panduan lengkap diagnosis di PPDGJ. Beliau menjelaskan di halaman 288, bahwa “Gangguan psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan perkembangan dan orientasi seksual adalah F66.X1 yaitu homoseksual, F66.X2 yaitu Biseksual dst.”
Jadi, beliau menegaskan bahwa dalam dunia medis, perilaku L68T adalah penyakit kejiwaan.
Kayaknya penyakit fisik, maka penyakit kejiwaan pun membutuhkan terapi dan pengobatan. Ada harapan untuk kemudian sembuh dan memiliki orientasi seksual yang benar ketika mereka mendapatkan penanganan yang tepat. Namun, sejauh ini stigma yang berkembang di tengah-tengah masyarakat adalah mendatangi psikiatri itu merupakan aib, dicap gila, dll.
Menurut dr. Fidiansjah, ini berbahaya. Ibarat maling berkonsultasi dengan maling, bukannya taubat justru jadi maling. Orang-orang yang memiliki benih-benih penyimpangan orientasi seksual, hendaknya mendapatkan penanganan yang tepat dari ahli yang tepat juga.
Bukan Islam jika tidak memiliki jawaban dan solusi tuntas dari seluruh problematika manusia. Ketika Islam diterapkan secara sempurna dalam sebuah institusi negara, maka negara dengan segala perangkatnya akan menerapkan metode preventif dan kuratif.
Tindakan preventif oleh negara untuk mencegah agar tidak timbul benih-benih penyimpangan seksual, antara lain dengan melakukan beberapa hal berikut:
Pertama, pilar individu. Negara menanamkan iman dan takwa di dalam diri rakyat agar menjauhi maksiat dan perilaku menyimpang.
Kedua, pilar keluarga dan masyarakat. Negara mendorong dan memfasilitasi keluarga-keluarga untuk menerapkan pengasuhan berbasih akidah dan fitrah, ditambah dengan masyarakat yang memahami urgensitas amar ma’ruf nahi munkar, sehingga tidak mendiamkan apalagi mendukung segala bentuk kemaksiatan yang terjadi.
Ketiga, pilar negara. Negara dengan segala kekuatannya akan menghentikan segala bentuk akses kepada pornografi maupun pornoaksi, sehingga tidak ada rangsangan yang dapat memicu terjadinya kemaksiatan di tengah-tengah umat. Selain itu, negara juga akan menerapkan sistem ekonomi yang menjamin keadilan dan kesejahteraan. Dengan demikian, maka tidak akan ada lagi yang menjadikan alasan ekonomi sebagai pembenaran sesorang melakukan kemaksiatan atau penyimpangan seksual.
Jika masih juga tumbuh benih-benih penyimpangan seksual, maka negara akan memberlakukan sistem kuratif. Individu yang bersangkutan akan diobati oleh ahlinya. Dalam dunia kedokteran jiwa, ada beberapa pendekatan yang dilakukan.
Pertama pendekatan organobiologi, maka penanganannya adalah dengan obat. Kedua pendekatan psikologis, penanganannya dengan konseling untuk mengubah mindset dan perilaku yang salah. Ketiga pendekatan lingkungan, yakni dengan memberikan lingkungan yang mendukung untuk seseorang kembali kepada fitrahnya yang benar. Keempat dengan pendekatan spiritual, taubatan nasuha, kembali merenungi makna kehidupan, memperbanyak ibadah disertai dengan pemaknaannya, berdoa berzikir, dan terus mendekat kepada Al Khalik.
Namun, jika yang bersangkutan tidak mau berobat dan bertaubat, terus melakukan tindakan kemaksiatannya, maka langkah terakhir adalah negara akan menjatuhkan sanksi.
Sistem sanksi di dalam Islam berfungsi sebagai penebus dosa dan pemberi efek jera, agar yang lainnya tidak melakukan hal serupa. Sebagaimana disebutkan di dalam sebuah hadis,
“Siapa yang menjumpai orang yang melakukan perbuatan homoseksual seperti kaum Nabi Luth, maka bunuhlah pelaku dan objeknya” (HR. Ahmad). Wallahu alam bishawab.
Oleh: Naning Prasdawati, S.Kep.,Ns.
Data Kemenkes setelah tahun 2012, jumlah L68T di Indonesia ada lebih dari 1 juta orang, bahkan diprediksi bisa mencapai 3 persen dari jumlah penduduk Indonesia (Jawapos.com/230517).
Penggiat L68T, Hartoyo, dalam diskusi publik di sebuah stasiun televisi swasta 2016 lalu juga mengungkapkan bahwa ada lebih dari 200 komunitas L68T di Indonesia. Dia sendiri pun mengakui bahwa komunitas-komunitas itu melakukan edukasi kepada masyarakat seputar L68T melalui berbagai platform media sosial. Maka, bukan tidak mungkin peningkatan jumlah mereka dari tahun ke tahun, sangat erat kaitannya dengan massifnya propaganda yang mereka lakukan.
Dan hari ini, sensitivitas publik kembali diuji dengan adanya podcast tersebut. Tidak heran jika kemudian berbagai macam tuduhan dan kecaman dilontarkan oleh para netizen.
Dilansir dari situs web mereka di gayanusantara.or.id yang juga ditegaskan kembali oleh Hartoyo, bahwa perilaku mereka secara medis, bukan suatu gangguan atau kelainan. Mereka menggunakan rujukan buku saku PPDGJ, yakni buku saku kedokteran jiwa untuk menguatkan argumennya.
Hal ini secara gamblang disangkal oleh psikiater, Dr dr. Fidiansjah, Sp.,Kj. Beliau merujuk textbook asli yang merinci panduan lengkap diagnosis di PPDGJ. Beliau menjelaskan di halaman 288, bahwa “Gangguan psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan perkembangan dan orientasi seksual adalah F66.X1 yaitu homoseksual, F66.X2 yaitu Biseksual dst.”
Jadi, beliau menegaskan bahwa dalam dunia medis, perilaku L68T adalah penyakit kejiwaan.
Kayaknya penyakit fisik, maka penyakit kejiwaan pun membutuhkan terapi dan pengobatan. Ada harapan untuk kemudian sembuh dan memiliki orientasi seksual yang benar ketika mereka mendapatkan penanganan yang tepat. Namun, sejauh ini stigma yang berkembang di tengah-tengah masyarakat adalah mendatangi psikiatri itu merupakan aib, dicap gila, dll.
Menurut dr. Fidiansjah, ini berbahaya. Ibarat maling berkonsultasi dengan maling, bukannya taubat justru jadi maling. Orang-orang yang memiliki benih-benih penyimpangan orientasi seksual, hendaknya mendapatkan penanganan yang tepat dari ahli yang tepat juga.
Bukan Islam jika tidak memiliki jawaban dan solusi tuntas dari seluruh problematika manusia. Ketika Islam diterapkan secara sempurna dalam sebuah institusi negara, maka negara dengan segala perangkatnya akan menerapkan metode preventif dan kuratif.
Tindakan preventif oleh negara untuk mencegah agar tidak timbul benih-benih penyimpangan seksual, antara lain dengan melakukan beberapa hal berikut:
Pertama, pilar individu. Negara menanamkan iman dan takwa di dalam diri rakyat agar menjauhi maksiat dan perilaku menyimpang.
Kedua, pilar keluarga dan masyarakat. Negara mendorong dan memfasilitasi keluarga-keluarga untuk menerapkan pengasuhan berbasih akidah dan fitrah, ditambah dengan masyarakat yang memahami urgensitas amar ma’ruf nahi munkar, sehingga tidak mendiamkan apalagi mendukung segala bentuk kemaksiatan yang terjadi.
Ketiga, pilar negara. Negara dengan segala kekuatannya akan menghentikan segala bentuk akses kepada pornografi maupun pornoaksi, sehingga tidak ada rangsangan yang dapat memicu terjadinya kemaksiatan di tengah-tengah umat. Selain itu, negara juga akan menerapkan sistem ekonomi yang menjamin keadilan dan kesejahteraan. Dengan demikian, maka tidak akan ada lagi yang menjadikan alasan ekonomi sebagai pembenaran sesorang melakukan kemaksiatan atau penyimpangan seksual.
Jika masih juga tumbuh benih-benih penyimpangan seksual, maka negara akan memberlakukan sistem kuratif. Individu yang bersangkutan akan diobati oleh ahlinya. Dalam dunia kedokteran jiwa, ada beberapa pendekatan yang dilakukan.
Pertama pendekatan organobiologi, maka penanganannya adalah dengan obat. Kedua pendekatan psikologis, penanganannya dengan konseling untuk mengubah mindset dan perilaku yang salah. Ketiga pendekatan lingkungan, yakni dengan memberikan lingkungan yang mendukung untuk seseorang kembali kepada fitrahnya yang benar. Keempat dengan pendekatan spiritual, taubatan nasuha, kembali merenungi makna kehidupan, memperbanyak ibadah disertai dengan pemaknaannya, berdoa berzikir, dan terus mendekat kepada Al Khalik.
Namun, jika yang bersangkutan tidak mau berobat dan bertaubat, terus melakukan tindakan kemaksiatannya, maka langkah terakhir adalah negara akan menjatuhkan sanksi.
Sistem sanksi di dalam Islam berfungsi sebagai penebus dosa dan pemberi efek jera, agar yang lainnya tidak melakukan hal serupa. Sebagaimana disebutkan di dalam sebuah hadis,
“Siapa yang menjumpai orang yang melakukan perbuatan homoseksual seperti kaum Nabi Luth, maka bunuhlah pelaku dan objeknya” (HR. Ahmad). Wallahu alam bishawab.
Oleh: Naning Prasdawati, S.Kep.,Ns.
Perawat