Jadi Biang Kerok Jatuhnya Produksi Minyak, Peneliti AEPI Minta UU ini Segera Direvisi - Tinta Media

Kamis, 26 Mei 2022

Jadi Biang Kerok Jatuhnya Produksi Minyak, Peneliti AEPI Minta UU ini Segera Direvisi


Tinta Media - Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 dinilai oleh Peneliti Senior Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI),  Salamuddin Daeng menjadi biang kerok jatuhnya produksi minyak sehingga perlu segera direvisi.
 
"Mengapa UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi perlu segera di revisi? UU ini biang kerok jatuhnya produksi minyak, dan menurunnya pendapatan negara dari minyak," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu ( 25/5/2022).
 
Terkait pentingnya revisi itu, Salamuddin berikan empat alasan.

Pertama, keberadaan Undang-Undang  tidak lagi kuat untuk mengatur migas. Undang-Undang  ini telah beberapa kali mengalami pengujian di Mahkamah Konstitusi, yang mengakibatkan perubahan mendasar dari isi dan struktur kelembagaan yang diatur dalam Undang-Undang  Migas. “Presiden SBY kala itu mensiasati putusan Mahkamah Konstitusi  secara tidak tepat mengakibatkan konflik kelembagaan di migas parah dan berkepanjangan,” jelasnya.

Kedua, Undang-Undang  Migas menimbulkan aturan yang tidak pasti terkait kelembagaan, kontrak migas, dan konsep penguasaan negara atas migas. Misalnya undang-undang  ini dapat diterjemahkan dalam konsep cost recovery, atau gross split atau bagi hasil lainnya yang meresahkan pelaku usaha migas.
 
Ketiga,  migas gagal dalam mengatasi konflik antara pemerintahan sendiri, konflik antar lembaga dan konflik antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam sektor migas banyak sekali lembaga pemerintah atau entitas yang terkait pemerintah berebut otoritas dan memperjuangkan kepentingan sendiri sendiri. Meskipun semuanya tidak mampu bekerja mengangkat produksi migas.
 
Keempat, undang-undang  migas gagal menarik minat pelaku usaha dalam menanamkan modalnya dalam investasi migas. Juga gagal dalam menarik minat lembaga keuangan melakukan pembiayaan. Gagal menekan resiko usaha di bidang hulu migas,” tandasnya.
 
Gagal Direvisi

Salamuddin nilai penyebab Undang-Undang Migas ini gagal direvisi sesuai aturan pembentukan peraturan perundangan yang berlaku adalah:

Pertama, ego sektoral dari stake holder migas khususnya lembaga legislasi (banyak fraksi). Kedua, adanya politik transaksional dari oknum lembaga legislatif dan eksekutif. Ketiga, sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah lemah. Keempat, pergantian aktor dibadan legislatif sesuai dengan periode menjabat ditambah dengan tahapan pembentukan Rancangan Undang Undang  menjadI Undang-Undang yang begitu panjang.
 
Ia juga berikan beberapa alasan penyebab melempemnya upaya Pemerintah yang seharusnya pro aktif dalam mendorong revisi UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas.

“Kesatu, tidak adanya kesepakatan mengenai konsep perubahan Undang-Undang  antara anggota legislasi dan pemerintah. Pemerintah kurang inisiatif,” bebernya.
 
Kedua lanjut Salamuddin, minat dan kepercayaan investor migas menurun dan muncul pandangan hukum di Indonesia mudah diintervensi. BUMN banyak dirugikan, namun BUMN kurang inisiatif.
 
“Ketiga, implementasi antara Undang-Undang  dengan pelaksanaan tidak sesuai. Banyak pihak mengambil untung dari situasi tidak pasti,” terangnya.
 
Keempat,  keberlanjutan pembahasan Rancangan Undang-Undang  menjadi terhambat karena perbadaan pandangan dan kompetensi anggota badan legislatif yang terdahulu dengan yang sedang menjabat.
 
Gagalnya revisi UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi  ini menurut Salamuddin telah timbulkan banyak akibat :
 
“Pertama, kontrak-kontrak yang mengacu pada Undang-Undang  Migas seolah-olah memiliki kekebalan terhadap perubahan legislasi yang terjadi di Indonesia sehingga perubahan legislasi yang ada tidak bisa mempengaruhi kontrak-kontrak yang telah terjadi,” ungkapnya.
 
Kedua,  kata Salamuddin, nilai country risk menjadi tinggi dan mempengaruhi nilai investasi dan nilai pengembalian investasi atas resiko dan suku bunga bank.
 
“Ketiga, penyalahgunaan ijin wilayah kerja, pengembangan lapangan migas, dan kecurangan amdal dapat terjadi dengan mudah yang menimbulkan kerugian negara,” tambahnya sambil menyebut dampak keempat,
 
“Masing-masing pemangku kepentingan memperjuangkan kepentingan institusi bahkan jabatan masing masing sehingga berpotensi mengorbankan kepentingan negara yang lebih besar.”
 
Saran
 
Salamuddin lalu memberikan saran apa yang seharusnya  dilakukan menteri ESDM selaku leading dalam sektor  migas. Yaitu  berjuang atas nama pemerintahan Jokowi untuk : Pertama, menyelesaikan revisi Undang-Undang  No 22 Tahun 2001 tentang migas secara komprehensif. “Sekarang momentum yang pas pada saat harga minyak naik,” tegasnya.
 
“Kedua, memberikan jaminan kepastian berusaha kepada  BUMN migas  dan menjamin segala resiko kepada investor yang bekerja sama dengan BUMN agar mereka tidak takut dengan hukum Indonesia,” ungkapnya.  
 
Ketiga lanjut Salamuddin, menyerahkan sektor hulu migas di bawah komando Pertamina dengan dukungan kebijakan, anggaran dan mengusahakan investor yang bonafit untuk bekerja sama dengan Pertamina.
 
“Keempat, meningkatkan sinergitas dan integritas  pemangku kepentingan, melepaskan bisnis pribadi berkaitan dengan jabatan, membantu negara dalam meningkatkan penerimaan negara dari migas, membangun stabilitas agar tercipta kepastian hukum dan kenyamanan dalam berusaha,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :