Inilah Akibat Penerapan Sistem Politik Demokrasi - Tinta Media

Kamis, 12 Mei 2022

Inilah Akibat Penerapan Sistem Politik Demokrasi



Tinta Media - Narator mengungkap akibat penerapan sistem politik demokrasi di negeri  ini. “Sistem politik demokrasi membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan dan memunculkan konflik kepentingan,” tuturnya dalam Program Serba Serbi MMC: Demokrasi Lahirkan Politik Dinasti dan Korupsi, Senin (9/5/2022) di kanal Youtube Muslimah Media Center (MMC).

Menurutnya, kebijakan penguasa hanya menjadi alat mengukuhkan dinasti kekuasaan dan lahan mengembalikan modal para sponsornya. “Wajar jika praktik kolusi, nepotisme, dan korupsi begitu marak dalam sistem demokrasi yang meniscayakan politik dinasti ini,” ucapnya.

Ia memaparkan, politik dinasti dalam sistem demokrasi memang meniscayakan makin banyak korupsi. Dan rata-rata kebutuhan di dalamnya disokong oleh para pemilik modal yang berharap mendapat keuntungan di belakang. “Sebagaimana dipahami bahwa politik demokrasi dikenal sangat mahal sebab membutuhkan biaya iklan hingga sogokan untuk membeli hati dan suara rakyat,” paparnya.

Ia menuturkan, dalam sistem politik demokrasi sirkulasi kekuasaan hanya berputar pada mereka yang punya uang atau kekuatan modal atau yang ada dalam lingkaran pemilik kekuasaan. “Bagi keluarga para pemilik kekuasaan, tentu sebagian hambatan sudah terselesaikan, mereka tak butuh modal banyak untuk mengiklankan diri dalam pencalonan, bahkan tak perlu karier politik yang biasa disyaratkan dalam pencalonan,” tuturnya.

Ia mengatakan korupsi telah menjadi persoalan serius birokrasi negeri ini. Bahkan seakan telah menjadi regeneration koruptor. “Persoalan korupsi di negeri ini seolah-olah tidak ada habisnya. Seakan telah terjadi regeneration koruptor,” ujarnya.

Ia mengungkapkan baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan terhadap Bupati Bogor Ade Yasin.
“Ade dan tiga anak buahnya diduga menyuap empat orang auditor BPK Perwakilan Jawa Barat sebesar Rp 1,9 miliar demi mendapatkan predikat opini WTP dalam laporan keuangan pemerintah Kabupaten Bogor tahun anggaran 2021,” bebernya.

Ia memaparkan, pendapat dari Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha yang menilai kasus dugaan suap tersebut adalah contoh kegagalan dalam proses kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik. Sementara peneliti Transparancy International Indonesia (TII) Wawan Heru Sudjatmiko mengingatkan  korupsi yang berkaitan dengan dinasti politik di Indonesia.

“Ia menilai dinasti politik berkorelasi dengan biaya konstelasi politik sehingga mengarah pada tindakan koruptif. Pasalnya kasus dinasti politik yang akhirnya membuat kepala daerah masuk bui bukan kali ini saja,” jelasnya.

Cara Khilafah Cegah dan Berantas Korupsi

Narator mengatakan prosesi pengangkatan pemimpin dalam Khilafah sangat sederhana sekaligus steril dari permainan politik. “Kesederhanaan itu tidak memerlukan biaya tinggi ataupun lapisan regulasi yang mudah dipermainkan oknum yang tak takut akan pengawasan Allah,” katanya.

Semua itu bisa terjadi karena pengangkatan khalifah bertujuan untuk menegakkan hukum Allah yang dipastikan keadilannya bagi manusia melalui kekuasaan. “Karena itu celah bagi kolusi dan upeti dalam pemilihan pejabat juga akan tertutup sama sekali,” bebernya.

Ia mengungkapkan seorang khalifah di dalam Islam harus memiliki tujuh syarat yang wajib dipenuhi. “Seorang khalifah minimal harus memiliki tujuh  syarat, yakni laki-laki, muslim, balig, berakal, adil, merdeka, dan memiliki kemampuan,” ujarnya.

Ia menjelaskan mekanisme pemilihan kepala daerah, baik wali maupun amil akan ditunjuk oleh khalifah.
“Khalifah yang terpilih dengan syarat ketat tadi, tentu hanya akan memilih figur yang bertakwa, amanah, dan kapabel. Semua tanpa biaya, tanpa mahar ini dan itu sehingga dinasti kekuasaan tidak akan terjadi,” terangnya.

Secara praktis, ia mengemukakan pemberantasan korupsi dalam sistem Islam dilakukan dalam beberapa upaya sebagai berikut:

Pertama, penanaman iman dan takwa khususnya kepada pejabat dan pegawai.
“Aspek ketakwaan menjadi standar utama dalam pemilihan pejabat. Ketakwaan itu akan mencegah pejabat dan pegawai melakukan kejahatan korupsi,” ujarnya.

Kedua, sistem penggajian yang layak sehingga tidak ada alasan untuk berlaku korup.

Ketiga, ketentuan serta batasan yang sederhana dan jelas tentang harta ghulul (khianat) serta penerapan pembuktian terbaik. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan al-Hakim.
“Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul.”
“Berdasarkan hadis ini, harta yang diperoleh aparat pejabat dan penguasa selain pendapatan atau gaji yang telah ditentukan, apa pun namanya seperti hadiah, fee, pungutan, suap dan sebagainya merupakan harta ghulul dan hukumnya haram,” tuturnya.

Keempat, hukuman yang diberikan bisa memberikan efek jera dan dalam bentuk sanksi takzir. “Hukuman itu bisa berupa tasyhir yakni pewartaan atau ekspose, denda, penjara yang lama bahkan bisa sampai hukuman mantu sesuai dengan tingkat dan dampak korupsinya. Sanksi penyitaan harta ghulul juga bisa ditambah dengan denda gabungan keduanya. Ini sekarang dikenal dengan pemiskinan terhadap para koruptor,” paparnya.

“Alhasil pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil dalam sistem Islam, yakni Khilafah ,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :