Tinta Media - “Hari Raya Idul Fitri merupakan salah satu syiar dalam Islam dan simbol persatuan umat Islam, ” tutur narator video MMC dalam Serba-serbi MMC: Hari kemenangan Tiba, Kesengsaraan Umat tak Kunjung Usai, Senin (2/5/2022) melalui kanal Youtube Muslimah Media Center.
Oleh karena itu, lanjutnya, penentuan awal dan akhir Ramadhan bukan hanya masalah ibadah tetapi merupakan syiar Islam.
“Dalam tanya jawab Syeikh Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah beliau berijtihad bahwa berdasarkan dalil-dalil yang ada, yang menjadi sandaran dalam puasa Ramadhan adalah rukyat hilal yakni melihat hilal,” jelasnya.
Di antara dalilnya hadis dari Abu Hurairah R.A. Rasulullah SAW bersabda: “Berpuasalah kamu karena melihat dia (hilal) dan berbukalah kamu karena melihat hilal.” (HR. Bukhari, Muslim, At- Tirmidzi dan Nasa'i).
Dari Ibnu Umar R.A., Rasulullah SAW bersabda: “Jika kamu melihat hilal maka berpuasalah kamu dan jika kamu melihat hilal maka berbukalah. Jika pandangan kamu terhalang mendung maka perkirakanlah atau genapkanlah.” (HR. Bukhari, Muslim, An-Nasai dan Ahmad).
“Hadis-hadis di atas mengandung pengertian yang jelas bahwa sebab syar'i untuk puasa Ramadhan dan Idul Fitri tiada lain adalah rukyat hilal,” simpulnya mengutip pendapat Muhammad Husein Abdullah dalam Kitab Mafahim Islamiyah juz 2 halaman 157.
Menurut Narator, rukyat hilal yang dimaksud bukanlah rukyat lokal yang berlaku dalam suatu matla (batas geografis keberlakuan rukyat) seperti dalam Mazhab Syafii, melainkan rukyat yang berlaku secara global. Artinya rukyat hilal di salah satu negeri muslim berlaku untuk kaum muslimin di negeri-negeri lain di seluruh penjuru dunia seperti dalam mazhab jumhur yaitu mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali.
“Karena itu Islam telah menunjukkan metode untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan yakni dengan rukyat atau melihat hilal bukan yang lain,” ujarnya.
Dan alhamdulillah, tambahnya, pada 1 Mei 2022 umat Islam bergembira menyambut hari raya Idul Fitri 1443 Hijriyah sebab sehari sebelumnya telah dilakukan rukyat hilal global.
“Hasilnya di beberapa negara yaitu Afghanistan, Nigeria, Mali, dan Yaman, hilal syar'i telah terlihat. Ini berarti Ramadhan telah dilalui dan dijalani oleh umat Islam selama sebulan dengan berbagai ketaatan di dalamnya,” paparnya.
Sebagaimana dipahami lanjut narator, bahwa Allah mensyariatkan puasa Ramadhan agar umat Islam bertakwa. Para ulama telah menjelaskan makna takwa sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim bahwa takwa adalah melaksanakan perintah perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah.
“Sementara perintah dan larangan Allah ini termaktub di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Itulah akidah dan syariah. Dengan ungkapan lain takwa adalah menaati dan menjalankan syariat atas dasar akidah Islam,” jelasnya.
Rasulullah SAW menjamin bahwa siapa saja yang mengambil dan melaksanakan Al-Quran dan As-Sunnah ia tidak akan tersesat selama-lamanya. Sahabat Abu Hurairah R.A menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda saat Haji Wada, “Aku tinggalkan dua perkara yang jika kalian berpegang teguh kepada keduanya kalian tidak akan tersesat selamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. (Hadis riwayat Al Hakim).
Allah SWT juga telah memberikan jaminan di dalam Quran Surat Thaha ayat 123, “Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku maka ketahuilah dia tidak akan tersesat dan tidak akan celaka.”
Narator menjelaskan bahwa yang dimaksud petunjuk adalah Al-Kitab Al-Quran dan syariah. Maka ayat ini sebagaimana dinyatakan Ibnu Abbas R.A. yakni Allah menjamin orang yang mengikuti Al-Quran tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.
Menurut narator, umat Islam memahami dan merasakan dengan jelas bahwa pengaturan kehidupan bermasyarakat saat ini telah salah arah dan menuju arah yang salah, berjalan tidak sesuai dengan petunjuk Allah SWT di dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
“Memang benar sebagian ajaran Islam dapat dijalankan khususnya dalam hal pribadi, keluarga dan sebagian transaksi ekonomi. Namun syariat yang berkaitan dengan pengelolaan politik pemerintahan, ekonomi, sosial, pergaulan semuanya dicampakkan,” ungkapnya.
Semua itu lanjutnya, menunjukkan bahwa pengaturan kehidupan bermasyarakat saat ini telah salah arah. Secara faktual banyak undang-undang dan peraturan hukum yang lebih dirasakan menguntungkan oligarki atau bisa dikatakan atas pesanan oligarki.
“Sebagai contoh saat ini sebagian besar lahan perkebunan kelapa sawit dikuasai swasta. Kementerian Pertanian mencatat bahwa 55,8% perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh perkebunan swasta. Alhasil minyak goreng menjadi langka dan mahal. Demikian pula utang pemerintah pusat telah mencapai 7.014,58 triliun rupiah atau 40,7% dari PDB pada akhir Februari 2022. Alhasil pajak terus mengalami kenaikan.
Allah SWT telah memperingatkan akibat dari pengaturan kehidupan yang salah arah dan menuju arah yang salah ini dalam Quran surat Thaha ayat 124, “Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku maka sungguh ia akan diberikan kehidupan yang sempit. Dan Kami mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”
“Dalam kondisi seperti ini tentu umat Islam tidak boleh meratapi nasib dan berdiam diri. Sebaliknya umat Islam harus segera mengubahnya menjadi aturan yang benar arahnya dan menuju arah yang benar. Hal ini tidak lain adalah segera kembali kepada petunjuk Allah SWT. yakni menerapkan Al- Quran dan As-Sunnah secara total di bawah sistem Khilafah Rasyidah 'Ala min Haj An-Nubuwah,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
Oleh karena itu, lanjutnya, penentuan awal dan akhir Ramadhan bukan hanya masalah ibadah tetapi merupakan syiar Islam.
“Dalam tanya jawab Syeikh Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah beliau berijtihad bahwa berdasarkan dalil-dalil yang ada, yang menjadi sandaran dalam puasa Ramadhan adalah rukyat hilal yakni melihat hilal,” jelasnya.
Di antara dalilnya hadis dari Abu Hurairah R.A. Rasulullah SAW bersabda: “Berpuasalah kamu karena melihat dia (hilal) dan berbukalah kamu karena melihat hilal.” (HR. Bukhari, Muslim, At- Tirmidzi dan Nasa'i).
Dari Ibnu Umar R.A., Rasulullah SAW bersabda: “Jika kamu melihat hilal maka berpuasalah kamu dan jika kamu melihat hilal maka berbukalah. Jika pandangan kamu terhalang mendung maka perkirakanlah atau genapkanlah.” (HR. Bukhari, Muslim, An-Nasai dan Ahmad).
“Hadis-hadis di atas mengandung pengertian yang jelas bahwa sebab syar'i untuk puasa Ramadhan dan Idul Fitri tiada lain adalah rukyat hilal,” simpulnya mengutip pendapat Muhammad Husein Abdullah dalam Kitab Mafahim Islamiyah juz 2 halaman 157.
Menurut Narator, rukyat hilal yang dimaksud bukanlah rukyat lokal yang berlaku dalam suatu matla (batas geografis keberlakuan rukyat) seperti dalam Mazhab Syafii, melainkan rukyat yang berlaku secara global. Artinya rukyat hilal di salah satu negeri muslim berlaku untuk kaum muslimin di negeri-negeri lain di seluruh penjuru dunia seperti dalam mazhab jumhur yaitu mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali.
“Karena itu Islam telah menunjukkan metode untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan yakni dengan rukyat atau melihat hilal bukan yang lain,” ujarnya.
Dan alhamdulillah, tambahnya, pada 1 Mei 2022 umat Islam bergembira menyambut hari raya Idul Fitri 1443 Hijriyah sebab sehari sebelumnya telah dilakukan rukyat hilal global.
“Hasilnya di beberapa negara yaitu Afghanistan, Nigeria, Mali, dan Yaman, hilal syar'i telah terlihat. Ini berarti Ramadhan telah dilalui dan dijalani oleh umat Islam selama sebulan dengan berbagai ketaatan di dalamnya,” paparnya.
Sebagaimana dipahami lanjut narator, bahwa Allah mensyariatkan puasa Ramadhan agar umat Islam bertakwa. Para ulama telah menjelaskan makna takwa sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim bahwa takwa adalah melaksanakan perintah perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah.
“Sementara perintah dan larangan Allah ini termaktub di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Itulah akidah dan syariah. Dengan ungkapan lain takwa adalah menaati dan menjalankan syariat atas dasar akidah Islam,” jelasnya.
Rasulullah SAW menjamin bahwa siapa saja yang mengambil dan melaksanakan Al-Quran dan As-Sunnah ia tidak akan tersesat selama-lamanya. Sahabat Abu Hurairah R.A menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda saat Haji Wada, “Aku tinggalkan dua perkara yang jika kalian berpegang teguh kepada keduanya kalian tidak akan tersesat selamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. (Hadis riwayat Al Hakim).
Allah SWT juga telah memberikan jaminan di dalam Quran Surat Thaha ayat 123, “Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku maka ketahuilah dia tidak akan tersesat dan tidak akan celaka.”
Narator menjelaskan bahwa yang dimaksud petunjuk adalah Al-Kitab Al-Quran dan syariah. Maka ayat ini sebagaimana dinyatakan Ibnu Abbas R.A. yakni Allah menjamin orang yang mengikuti Al-Quran tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.
Menurut narator, umat Islam memahami dan merasakan dengan jelas bahwa pengaturan kehidupan bermasyarakat saat ini telah salah arah dan menuju arah yang salah, berjalan tidak sesuai dengan petunjuk Allah SWT di dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
“Memang benar sebagian ajaran Islam dapat dijalankan khususnya dalam hal pribadi, keluarga dan sebagian transaksi ekonomi. Namun syariat yang berkaitan dengan pengelolaan politik pemerintahan, ekonomi, sosial, pergaulan semuanya dicampakkan,” ungkapnya.
Semua itu lanjutnya, menunjukkan bahwa pengaturan kehidupan bermasyarakat saat ini telah salah arah. Secara faktual banyak undang-undang dan peraturan hukum yang lebih dirasakan menguntungkan oligarki atau bisa dikatakan atas pesanan oligarki.
“Sebagai contoh saat ini sebagian besar lahan perkebunan kelapa sawit dikuasai swasta. Kementerian Pertanian mencatat bahwa 55,8% perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh perkebunan swasta. Alhasil minyak goreng menjadi langka dan mahal. Demikian pula utang pemerintah pusat telah mencapai 7.014,58 triliun rupiah atau 40,7% dari PDB pada akhir Februari 2022. Alhasil pajak terus mengalami kenaikan.
Allah SWT telah memperingatkan akibat dari pengaturan kehidupan yang salah arah dan menuju arah yang salah ini dalam Quran surat Thaha ayat 124, “Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku maka sungguh ia akan diberikan kehidupan yang sempit. Dan Kami mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”
“Dalam kondisi seperti ini tentu umat Islam tidak boleh meratapi nasib dan berdiam diri. Sebaliknya umat Islam harus segera mengubahnya menjadi aturan yang benar arahnya dan menuju arah yang benar. Hal ini tidak lain adalah segera kembali kepada petunjuk Allah SWT. yakni menerapkan Al- Quran dan As-Sunnah secara total di bawah sistem Khilafah Rasyidah 'Ala min Haj An-Nubuwah,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun