Hukuman Itu Pasti Bukan Berdasarkan Restorative, Apalagi Kepentingan - Tinta Media

Sabtu, 28 Mei 2022

Hukuman Itu Pasti Bukan Berdasarkan Restorative, Apalagi Kepentingan


Tinta Media - Selayaknya masyarakat bertanya, kenapa banyak kasus kejahatan yang dihentikan jalur hukumnya. Padahal, dengan diberi sanksi, pelaku akan jera dan yang lain takut melakukan hal yang sama.

“Sampai dengan awal Mei 2022, Kejaksaan telah menghentikan sedikitnya 1.070 (seribu tujuh puluh) perkara, dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative. Banyak kisah inspiratif yang terjadi pada perkara yang dihentikan dengan pendekatan keadilan restorative. Penghentian penuntutan tersebut telah memperkuat penerapan model keadilan restorative dalam sistem peradilan pidana di Indonesia," kata Fadil Zumhana, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) dalam keterangan tertulisnya, Minggu (22/5/2022). Detiknews (23/5/202).

Penerapan keadilan restorative adalah menghentikan perkara pidana serta kejahatan yang sifatnya ringan. Mengingat kondisi penjara di Indonesia sudah terlalu padat, seharusnya ada reformasi serius dalam praktik penegakan hukum, bukan malah menghentikan hukuman terhadap kejahatan yang dianggap ringan. Apalagi, standar kejahatan dalam sistem kapitalis dikatakan ringan atau berat sering kali tarik ulur sesuai kepentingan. 

Sudah bukan rahasia, para koruptor milyaran hanya diberi sanksi 2 atau 4 tahun penjara dengan berbagai perlakuan istimewa, padahal tindak pidana yang dilakukan sangat merugikan negara. Yang tepat, bahwa korupsi tersebut merupakan kejahatan besar dan harus dihukum dengan seberat-beratnya. 

Ini berbeda dengan pencuri ayam, HP, motor, dll. Mereka mendapat hukuman yang sama, bahkan sering vonis yang dijatuhkan memaksa dan tegas. Tak ada perlakuan khusus, apalagi istimewa pada pelaku pidana rakyat bawah. Padahal, sering kali tindakan tersebut dilakukan karena kebutuhan yang sangat mendesak, misal untuk biaya persalinan, bayar sekolah, makan, dan sebagainya. Tentu saja tindakan tersebut juga tidak boleh dibenarkan.

Solusi hukuman restorative ini sarat dengan nilai dan tidak akan mendatangkan keadilan hukum. Alih-alih hukum akan ditegakkan, yang ada justu menumbuhsuburkan kejahatan karena sanksi bisa diakali. Artinya negara gagal menegakkan hukum, hingga masyarakat banyak yang tidak takut melakukan berbagai tindakan melawan hukum. Terbukti jumlah kejahatan tidak pernah turun, justru terus meningkat.

Sedangkan dalam sistem Islam, hukum itu bersifat pasti, tidak akan berubah. Sejak diturunkan kepada Rasulullah saw. hingga hari ini dan sampai kiamat, sanksi tidak akan berubah. Ini karena sanksi tersebut dijalankan dalam rangka mematuhi perintah Allah Swt. Sanksi yang dijalankan juga akan menjadi pencegah/jawazir bagi yang lain agar tidak melakukan hal sama, dan menjadi penebus/jawabir hukuman di akhirat kelak.

Hukuman bagi pencuri adalah potong tangan, jika kadar barang yang dicuri sudah sampai seperempat dinar. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Tangan pencuri akan dipotong jika mencuri sesuatu yang harganya seperempat dinar atau lebih.” (M Nurul Irfan, Fiqh Jinayah).

Demikian juga sanksi bagi pelaku zina mukhson/sudah menikah adalah dirajam hingga mati.

Dari Masrud dari Abdillah ra berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal, yaitu orang yang berzina, orang yang membunuh, dan orang yang murtad.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tidak ada istilah tindak kejahatan ringan atau berat karena standarnya sudah jelas dari wahyu, bukan nafsu seperti dalam sistem kapitalisme.

Mencuri adalah tindak kejahatan walau sedikit, apalagi banyak. Berzina adalah kejahatan walau dilakukan suka sama suka dll. Dengan pertimbangan syariat maka tidak ada yang dirugikan atau diuntungkan karena semua dijalankan demi kemaslahatan manusia sendiri.

Hukuman juga dilaksanakan bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana tanpa pandang bulu. Khalifah Umar bin Khathab pernah menjilid 100 kali Abdullah bin Khathab yang merupakan putranya sendiri karena kedapatan minum khamr. Sikap yang demikian tentu membuat rasa tenang pada masyarakat dan mereka akan tunduk patuh terhadap hukum yang diberlakukan.

Hukuman yang pasti tersebut lahir karena ketakwaan para pemimpinnya. Ketakwaan adalah sifat luhur yang mencegah dari tindakan penyelewengan yang ampuh. Bisa dipahami bahwa pemimpin amanah hanya ada dalam sistem yang benar, yaitu lslam kaffah dalam naungan Khilafah.
Allahu a’lam

Oleh: Umi Hanifah 
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :