Tinta Media - Islamofobia yang saat ini tengah menjangkiti bangsa ini, dinilai oleh Ketua Perhimpunan Intelektual Muslim Imdonesia, Dr. Julian Sigit, M. E. Sy, sebagai sesuatu yang sangat membahayakan.
"islamofobia sangat berbahaya karena bisa jadi ada konflik horizontal," tuturnya dalam acara Islamic Lawyer Forum (ILF) Jawa Barat: Ada Apa di Balik Penolakan UAS oleh Singapura? Jumat (20/5/2022) di kanal Youtube Rayah TV Channel.
Menurutnya, sebagai seorang intelektual Muslim yang cinta terhadap negeri ini, maka harus memberikan autokritik, bahwa tindakan-tindakan, baik itu yang dilakukan oleh individu ataupun institusi negara yang mengarah kepada islamofobia, harus segera dihentikan.
Ia mencontohkan tindakan-tindakan islamofobia yang dipraktikkan adalah adanya ketidakadilan terhadap umat islam.
"Contoh, misalkan hari ini, jika yang diklaimnya misalkan tindakan yang dilakukannya itu kekerasan oleh satu atau seorang ulama, langsung dilabelisasi radikal, radikul, terorism. Sementara, kalau misalkan yang dilakukannya itu oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang sampai membunuh secara terang-terangan, tak ada yang namanya klaim-klaim radikal, radikul, terorism," kesalnya
Ini kan, sambungnya, tentu satu hal yang memang sangat ironis. Kalau misalkan ada yang dilakukan oleh umat Islam sedikit, ditelisik lebih jauh, asal muasal guru ngajinya, kemudian pesantrennya di mana, sekolahnya di mana?
"Tapi, kalau misalnya ada yang koruptor, dan lain sebagainya, pelaku-pelaku itu, mereka tidak diklaim. Misalkan ada anggota atau pengurus parpol yang korupsi, tidak diklaim bahwa misalkan parpol ini parpol koruptor," ungkapnya," ungkapnya.
Ia membandingkan dengan institusi kampus, yang misalkan ada alumninya yang menghasilkan atau ada kecenderungan tindakan kekerasan, langsung dicap, distempel bahwa ini kampus radikal.
Julian menengarai, bahwa yang menjadi point pentingnya itu ada dugaan kuat keterlibatan buzzer yang bermain, mengompor-ngomporin.
"Nah, inilah yang seharusnya diwaspadai gitu," imbuhnya.
Oleh karena itu, ia melanjutkan tuturannya, bahwa melakukan autokritik, memberikan literasi-literasi, ini merupakan bagian dari tanggung jawab setiap intelektual muslim.
"Dan ini juga menjadi point pentingnya. Jangan adalah kesan seolah-olah berbeda pandangan, melakukan kritik, dianggap sebagai oposisi yang menjatuhkan, nah ini yang kita khawatirkan," sesalnya.
"Jadi, kita memberikan masukan-masukan penghentian program-program deradikalisasi, ini kan sangat membahayakan," tegasnya.
Ia khawatir, ada semacam konflik horizontal di tengah masyarakat, saling curiga antara umat Islam yang satu dengan yang lainnya. "Yang satu dirangkul, yang satu dipukul, begitu. Kan ini bahaya sebetulnya," terangnya.
Julian mengkhawatirkan nasib bangsa ini di masa depan jika islamofobia ini terus dipraktikkan.
"Bagaimana bangsa ini ke depan? Seperti apa? Padahal kan bangsa ini adalah bangsa yang besar, bahkan, mohon maaf, kalau kita telusuri lebih jauh sejarah-sejarah, umat Islam itu memiliki saham mayoritas terhadap pendirian bangsa ini," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka
"islamofobia sangat berbahaya karena bisa jadi ada konflik horizontal," tuturnya dalam acara Islamic Lawyer Forum (ILF) Jawa Barat: Ada Apa di Balik Penolakan UAS oleh Singapura? Jumat (20/5/2022) di kanal Youtube Rayah TV Channel.
Menurutnya, sebagai seorang intelektual Muslim yang cinta terhadap negeri ini, maka harus memberikan autokritik, bahwa tindakan-tindakan, baik itu yang dilakukan oleh individu ataupun institusi negara yang mengarah kepada islamofobia, harus segera dihentikan.
Ia mencontohkan tindakan-tindakan islamofobia yang dipraktikkan adalah adanya ketidakadilan terhadap umat islam.
"Contoh, misalkan hari ini, jika yang diklaimnya misalkan tindakan yang dilakukannya itu kekerasan oleh satu atau seorang ulama, langsung dilabelisasi radikal, radikul, terorism. Sementara, kalau misalkan yang dilakukannya itu oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang sampai membunuh secara terang-terangan, tak ada yang namanya klaim-klaim radikal, radikul, terorism," kesalnya
Ini kan, sambungnya, tentu satu hal yang memang sangat ironis. Kalau misalkan ada yang dilakukan oleh umat Islam sedikit, ditelisik lebih jauh, asal muasal guru ngajinya, kemudian pesantrennya di mana, sekolahnya di mana?
"Tapi, kalau misalnya ada yang koruptor, dan lain sebagainya, pelaku-pelaku itu, mereka tidak diklaim. Misalkan ada anggota atau pengurus parpol yang korupsi, tidak diklaim bahwa misalkan parpol ini parpol koruptor," ungkapnya," ungkapnya.
Ia membandingkan dengan institusi kampus, yang misalkan ada alumninya yang menghasilkan atau ada kecenderungan tindakan kekerasan, langsung dicap, distempel bahwa ini kampus radikal.
Julian menengarai, bahwa yang menjadi point pentingnya itu ada dugaan kuat keterlibatan buzzer yang bermain, mengompor-ngomporin.
"Nah, inilah yang seharusnya diwaspadai gitu," imbuhnya.
Oleh karena itu, ia melanjutkan tuturannya, bahwa melakukan autokritik, memberikan literasi-literasi, ini merupakan bagian dari tanggung jawab setiap intelektual muslim.
"Dan ini juga menjadi point pentingnya. Jangan adalah kesan seolah-olah berbeda pandangan, melakukan kritik, dianggap sebagai oposisi yang menjatuhkan, nah ini yang kita khawatirkan," sesalnya.
"Jadi, kita memberikan masukan-masukan penghentian program-program deradikalisasi, ini kan sangat membahayakan," tegasnya.
Ia khawatir, ada semacam konflik horizontal di tengah masyarakat, saling curiga antara umat Islam yang satu dengan yang lainnya. "Yang satu dirangkul, yang satu dipukul, begitu. Kan ini bahaya sebetulnya," terangnya.
Julian mengkhawatirkan nasib bangsa ini di masa depan jika islamofobia ini terus dipraktikkan.
"Bagaimana bangsa ini ke depan? Seperti apa? Padahal kan bangsa ini adalah bangsa yang besar, bahkan, mohon maaf, kalau kita telusuri lebih jauh sejarah-sejarah, umat Islam itu memiliki saham mayoritas terhadap pendirian bangsa ini," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka