Hari Buruh Internasional, Kesejahteraan Buruh Belum Rasional - Tinta Media

Jumat, 06 Mei 2022

Hari Buruh Internasional, Kesejahteraan Buruh Belum Rasional


Tinta Media  - Setiap tanggal 1 Mei dunia internasional selalu memperingatinya sebagai May Day atau Hari Buruh Sedunia. Seremonial ini tidak luput dari aksi turun ke jalan guna menyuarakan aspirasi secara rasional agar nasib buruh lebih sejahtera.

Sejumlah asosiasi pekerja atau buruh di tanah air juga menggelar dua kali aksi untuk peringatan Hari Buruh Sedunia. Aksi pertama dilakukan pada 1 Mei 2022 yang lalu dan aksi selanjutnya akan digelar pada 14 Mei 2022. Ratusan buruh berdemonstrasi di depan kantor KPU. Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mengatakan, walaupun yang hadir ratusan orang, tetapi jumlah ini telah mewakili 60 Serikat Buruh dan Federasi Serikat Pekerja (Republika, 1/5/2022).

Problem ini tidak hanya terjadi di tanah air. Dilansir dari laman Tribun News (2/4/2022), dunia internasional juga merasakan imbasnya. Ini seperti yang terjadi di beberapa negara, salah satunya negara Turki. Sebanyak 164 demonstran dan 50 demonstran di Perancis diamankan pihak berwenang. Begitu pun yang terjadi di Negara Italia, adegan saling dorong antar demonstran dan pihak kepolisian pun terjadi. Ratusan ribu pendemo turut membanjiri sejumlah jalan di kota London, Inggris, Jerman, Spanyol, Yunani, dll.

Tuntutan Para Buruh

Tuntutan atau permintaan para buruh di seluruh dunia hampir sama, yaitu menyangkut kenaikan gaji, mendesak penurunan harga kebutuhan pokok, menghapus segala regulasi yang menzalimi para pekerja, hingga menuntut pergantian rezim atau penguasa.

Seperti yang terjadi di tanah air, tuntutan tidak terlepas dari kenaikan gaji, desakan penuruan harga pangan, penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja, hingga menolak masa jabatan presiden 3 periode.

Dalam lingkaran dunia buruh, desakan kenaikan gaji menjadi permasalahan pokok. Dari problem mendasar ini, merambat ke permasalahan turunan yang meliputi jam kerja, cuti kerja, jaminan kesehatan dan keselamatan, etos kerja, keterampilan, hingga deskripsi pekerjaan yang tidak adil.

Muncul sebuah pertanyaan, mengapa dari tahun ke tahun kenaikan gaji selalu menjadi permasalahan yang tak pernah kelar? Jika dicermati, permasalahan ini berawal dari cara pandang sistem ekonomi kapitalisme yang dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Jargon yang paling terkenal dalam sistem ekonomi kapitalisme adalah modal sekecil-kecilnya, meraih untung sebesar-besarnya. Alhasil, jika ingin meraih keuntungan yang sebesar-besarnya, maka upah atau pengeluaran apa pun ditekan seminimal mungkin.

Lalu, dari paradigma ini muncul sebuah rumusan, jika upah terlalu tinggi, maka keuntungan yang diperoleh akan sedikit karena biaya produksinya mahal. Begitu pun jika upah terlalu rendah, maka produksi akan menurun karena produktivitas para pekerja sangat rendah. Keduanya sebenarnya sama-sama merugikan pengusaha.

Oleh karenanya, para pengusaha menggagas sebuah ide untuk meberi gaji para pekerja dengan sebutan Upah Minimum, baik itu UMP/UMK/UMR dan lain sebagainya. Nah, inilah yang disebut dengan konsep upah besi _(the iron wage's law)_ yaitu suatu konsep rumusan besaran upah atau gaji yang hanya berkisar pada batas Kebutuhan Fisik Minimum (KFM). Sungguh miris, bukan?

Ya, beginilah sistem ekonomi kapitalisme memperlakukan manusia dalam bekerja. Upah dan tenaga tidak sepadan. Manusia dibuat seolah-olah mesin atau robot penghasil keuntungan para kaum kapital.

Kesejahteraan Vs Kebijakan Zalim

Selain permasalahan desakan kenaikan upah, tuntutan lainnya adalah penurunan harga pokok pangan, biaya pendidikan, kesehatan, tarif listrik, dan bahan bakar minyak. Semua harga terus melambung tinggi. Tentu hal ini akan memengaruhi kesejahteraan rakyat. Tidak sedikit kesenjangan sosial terjadi. Si kaya makin kaya, si miskin makin merana.

Salah satu penyebabnya adalah tidak sedikit pasar dikuasi swasta, bidang pendidikan dan kesehatan juga dijadikan lahan bisnis, begitu pun dengan kenaikan tarif listrik dan bahan bakar minyak. Kondisi rakyat saat ini benar-benar terhimpit, membuat si miskin semakin menjerit.

Kasus seperti ini hendaknya ditangani negara secara bijaksana dan sigap. Negara seharusnya hadir sebagai solusi untuk mengayomi kesejahteraan dan seluruh rakyat, bukan hanya sebagai regulator atau pembuat kebijakan semata. Karena itu, butuh kontrol dan pengawasan ketat agar mekanisme pasar dan harga pangan dapat terkendali dengan baik.

Namun apalah daya, selama sistem yang digunakan hari ini adalah kapitalisme dengan asas sekularisme, maka materi dan keuntungan akan menjadi poros utama dalam kehidupan.

Solusi

Tuntutan buruh mengenai kenaikan upah, mendesak turunnya harga pangan pokok, kebijakan yang zalim hingga pergantian rezim, seharusnya diikuti dengan pergantian sistem. Sebab, akar permasalahan ini muncul dikarenakan sistem demokrasi kapitalis yang muaranya kepada keuntungan ekonomi belaka.

Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Islam telah mengatur urusan mengenai upah pekerja. Upah atau pembayaran hasil kerja ditetapkan dengan konsep upah sepadan, bukan berdasarkan KFM. Seorang majikan yang mempekerjakan seorang pekerjanya akan membayar gaji pekerjanya sebelum keringatnya kering, tidak menunda-nunda apalagi sampai menzalimi. Kesejahteraan pekerja sejatinya bukan tanggung jawab penuh seorang majikan, melainkan tanggung jawab ini terletak di pundak negara.

Dalam sistem Islam, negara hadir untuk mengurusi rakyat, menghapus seluruh aturan yang membebani rakyat, terkhusus para buruh. Selain itu, negara juga berupaya dengan sebaik mungkin dalam melindungi rakyatnya dari mafia dagang dan menjamin seluruh kebutuhan rakyat dengan harga yang dapat dijangkau seluruh lapisan.

Sejatinya, tidak ada sistem selain Islam yang mampu memberikan solusi terbaik bagi kehidupan. Tidakkah kau ingin memperjuangkannya?

Wallahua'alam

Oleh: Reni Adelina
Pegiat Literasi dan Kontributor Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :