Guru Wahyudi: Modal Paling Berharga adalah Waktu - Tinta Media

Minggu, 08 Mei 2022

Guru Wahyudi: Modal Paling Berharga adalah Waktu


Tinta Media - “Modal paling berharga adalah modal waktu. Uang yang hilang bisa dicari. Relasi yang pergi bisa diganti. Namun waktu takkan pernah kembali,” tutur Mudir Ma’had Darul Ma’arif Banjarmasin Guru Wahyudi Ibnu Yusuf M.Pd. kepada Tinta Media, Sabtu (7/5/2022).

Guru Wahyudi mengingatkan, Ramadhan tahun ini takkan pernah kembali. Sebagaimana hari ini juga takkan pernah kembali. Kita diberi kesempatan hidup yang sama. Diberi waktu yang sama. Sehari 24 jam. Sepekan tujuh hari. Setahun 365 hari. Sama-sama diberi kesempatan bertemu dengan bulan Ramadhan.

“Nyatanya ada yang mengisi setiap detik Ramadhan dengan beragam kebaikan. Beragam amal shalih yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Sebaliknya, ada yang menyia-nyiakan modal dan kesempatan. Ramadhan berlalu, datang dan pergi, silih berganti tanpa memberi bekas yang berarti. Puasanya hanya beroleh lapar dahaga. Qiyamul lailnya hanya beroleh payah dan lelah. Masjid dan langgar Kembali sepi, bahkan saat Ramadhan belum pergi. Al-Quran tak tersentuh lagi. Jangankan mentadabburi dan mengamalkannya, intensitas membacanya saja  kalah dengan membuka sosial media,” ungkapnya menyikapi realitas yang terjadi.

Demikian pentingnya waktu ini, kata Guru Wahyudi, Allah sampai bersumpah demi waktu, bahwa semua manusia akan merugi, kecuali yang beriman, beramal shalih dan yang saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

“Nabi juga mengingatkan betapa ruginya orang yang bertemu bulan suci ini, namun dosanya belum diampuni. Sementara Ramadhan tahun depan belum tentu menghampiri,” tambahnya.

Lantaran itu, Guru Wahyudi mempertanyakan, belumkah saatnya untuk kembali. Kembali fitri sebagaimana fitrahnya bayi. Apakah dunia begitu menyilaukan?  “Padahal dunia ini bukan tujuan. Dunia ini bukanlah tempat tinggal. Dunia ini hanya tempat mampir lalu meninggal. Membawa bekal amal, untuk kemudian dipertanggungjawabkan,” tegasnya mengingatkan.

Menurutnya, hidup sesungguhnya adalah di kampung akhirat. "Di sanalah tempat kita tinggal. Sejenak kita rukuk sujud di dunia. Nanti tak ada lagi rukuk sujud di sana. Sejenak kita lapar dan haus saat berpuasa. Di sana kita takkan lapar dan haus selamanya. Sejenak kita bersabar menanggung derita di dunia. Untuk merasakan nikmat selamanya. Maka jangan pernah kita tukar kehidupan yang sesungguhnya dengan kehidupan dunia yang hanya sementara,” nasehatnya.

“Belumkah tiba saatnya bertaubat? Bukankah telah kau lihat betapa lemahnya manusia di hadapan virus super kecil tak kasat mata. Setiap hari berita duka masuk di grup-grup WhatsApp. Tak cukupkah kematian sebagai pengingat. Kafa bil mauti wa’izhan,” imbuhnya.

Karenanya, Guru Wahyudi berpesan, “Jangan menunggu datangnya malaikat kematian. Ditunggu atau tidak ia pasti datang. Ia tak pernah terlambat meski hanya sesaat. Mungkar dan Nakir pasti datang meski didustakan. Hari kiamat pasti datang, meski ada yang mengganggapnya hanya dongengan. Yaumul mahsyar itu pasti terjadi, matahari didekatkan hingga beberapa inchi, shirat itu pasti meski ada yang mengingkari.”

“Bekal apa yang akan kita bawa? Harta hanya menemani hingga di pagar rumah kita. Anak, istri dan sanak saudara hanya mengantar hingga di pinggir pusara, hanya amal yang kitab bawa. Amal puasa, sholat kita, sedekah dari sebagian harta, bacaan al-Qur'an meski dengan terbata-bata, hingga amal dakwah dan menasihati penguasa,” ungkapnya.

Guru Wahyudi berharap semoga muhasabah di hari yang fitri ini menjadikan umat Islam tersentak dan tersadar, bahwa semestinya di idul fitri ini kembali fitri.
Semoga muhasabah ini menjadi wasilah yang meringankan kecemasan di hari perhitungan.

 “Ingatlah peringatan Allah, sesungguhnya kepada Kami-lah mereka akan kembali, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 

 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :