Tinta Media - Pengamat Isu Perempuan, dr. Arum Harjanti menyatakan kehadiran Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tidak bisa menghapus atau memberantas kekerasan seksual terhadap perempuan. “Kalau kita telaah mendalam, kehadiran UU TPKS ini tidak bisa menghapus atau memberantas kekerasan seksual terhadap perempuan,” tuturnya dalam Program Live Muslimah Bicara: Ancaman Liberalisasi Seksual di Balik Pengesahan RUU TPKS, Sabtu (23/4/2022) di kanal Youtube Muslimah Media Centre.
Menurutnya, hal tersebut disebabkan penyelesaian terhadap kekerasan seksual itu harus ditelaah akar persoalannya bukan pada adanya Undang-Undang tapi pada perilaku masyarakat. “Kalau kita telaah akar persoalannya bukan pada adanya UU tapi pada perilaku masyarakat,” ujarnya.
Ia berpendapat tidak akan efektif UU jika tidak disertai perubahan perilaku yang merupakan cerminan dari pandangan hidup. “Memang UU mengatur tapi jika tidak disertai perubahan perilaku yakni perilaku itu adalah cerminan pandangan hidup maka UU itu tidak bisa efektif,” pendapatnya.
Saat ini, ia menjelaskan pandangan hidup masyarakat itu adalah sekularisme. Agama hanya ditempatkan di ranah privat saja sementara kehidupan menggunakan akal manusia yang berlandaskan pada hak asasi manusia. “Saat ini pandangan hidup masyarakat itu adalah sekularisme. Sekuler mereka, meniadakan agama. Agama hanya ditempatkan di ranah privat saja sementara kehidupan mereka menggunakan akal manusia dan berlandaskan pada hak asasi manusia,” terangnya.
Ia mengungkapkan landasan ini menjadi poin penting, nafas dari UU.
“Ketika masyarakat itu masih dilandaskan kepada hak asasi manusia, suka-suka saya, semaunya, maka orang-orang akan bertindak mengikuti kemauannya, mengikuti yang dia inginkan. Saya sampaikan bahwa UU yang lahir di dalam tatanan sekuler tetap akan menghasilkan gambaran masyarakat yang sekuler,” ungkapnya.
Ia pun mengatakan bahwa UU TPKS ini tidak akan efektif memberantas kekerasan seksual. “Karena akar persoalan tidak tersentuh, yaitu cara pandang masyarakat terkait dengan manusia, terkait dengan interaksi dengan yang lain,” katanya.
Ia memandang pendapat para aktivis perempuan bahwa payung hukum (UU) menjadi satu-satunya cara untuk memberantas terjadinya tindak kekerasan seksual. “Ketika disahkannya UU TPKS ini menjadikannya kemenangan perempuan. Pandangan mereka, UU TPKS ini benar-benar memberikan perlindungan kepada para perempuan,” katanya.
Ruh Legalitas UU TPKS
Ia menjelaskan terkait pro dan kontra UU TPKS dari sisi masyarakat khususnya kaum muslim bahwa ruh UU ini adalah mengajak kepada kebebasan berperilaku.
“Ruh UU ini adalah mengajak kepada kebebasan berperilaku, dibalik pengesahannya ada upaya untuk meliberalisasikan. Kalau kita lihat ada kata-kata di dalam pasal itu pemaksaan. Berarti kalau tanpa pemaksaan menjadi suatu kebolehan, bukan kekerasan. Bebas orang melakukan apa saja selama ada kesepakatan antara kedua belah pihak,” jelasnya.
Melihat kata pemaksaan, menurutnya memang tidak tampak ada kata seksual concern tapi ruhnya atau spiritnya tetap sama. “Apalagi kita saat ini hidup di dalam sistem yang menjauhkan agama dalam kehidupan (sekuler). Di mana aturan-aturan ruang lingkup atau kehidupan bermasyarakat memang bersumber, berlandaskan kepada sekularisme,” tuturnya.
Ia menyatakan bahwa produk hukum yang lahir dari situasi masyarakat yang sekuler maka produk hukum tersebut akan mengokohkan prinsip-prinsip atau nilai-nilai sekularisme. “UU TPKS ini menghapuskan atau memberikan kebebasan kepada perempuan di dalam mewujudkan hak seksual dan hak reproduksi. Ini berarti akan membawa atau mengarahkan masyarakat khususnya perempuan untuk hidup di dalam liberalisasi begitu tanpa aturan,” katanya.
Berbicara tentang hak, ia mengungkapkan satu pernyataan, satu kesepakatan yang diungkapkan tentang otonomi bodyly.
“Otonomi bodyly adalah hak otonomi untuk mengelola termasuk kaitannya dengan aktivitas seksual, aktivitas kehamilan, dan aktivitas pemakaian kontrasepsi,” ungkapnya.
Ia pun menyatakan bahwa kesesatan konsep berpikir akan mengalihkan sesuatu yang terlarang oleh syariat menjadi hal biasa karena dukungan pandangan global.
“Kesesatan konsep berpikir karena kampanye-kampanye yang dilakukan sehingga kemudian umat beralih dari sesuatu yang terlarang oleh syariat atau melanggar tata susila dianggap satu hal yang biasa karena didukung oleh pandangan global,” pungkasnya. [] Ageng Kartika