Tinta Media - Intelektual Muslim yang juga Sejarawan, Moeflich H.Hart menyampaikan bahwa bagi Islam dan para ulama, perang melawan kolonial alias penjajah yang Kristen adalah jihad.
"Bagi Islam dan para ulama, perang melawan kolonial alias penjajah yang Kristen adalah jihad," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (5/5/2022).
Menurutnya, tujuan para ulama melawan penjajah, bukan hanya merdeka, tapi lebih dari itu adalah menjalankan perintah agama.
"Kalau sudah dikaitkan dengan kesadaran agama, spirit menjadi hidup, motivasi menjadi kuat, energi menjadi berlipat dan hidup menjadi bermakna. Itulah rahasia kemenangan perlawanan para ulama dalam mengusir penjajah Belanda yang Kristen Protestan," tandasnya.
Ia mengurai alasan pemilihan diksi penjajah dibanding kolonial yang dituliskan oleh Tokoh Sejarawan, Ahmad Mansur Suryanegara, di buku Api Sejarah.
Pertama, Ahmad Mansur Suryanegara paling greget diantara para sejarawan dalam menyadari dan memberikan informasi bahwa Belanda itu penjajah, imperalis dan Kristen. Menyebut kolonial itu netral, hambar, tak ada energinya dan kurang menekankan pesan bahwa Belanda adalah penjajah.
Kedua, bila 'kolonial' adalah bahasa akademik, 'penjajah' adalah bahasa emosi. Kedua kata itu tensinya berbeda. Seperti kita membaca kata 'tahanan,' 'sel' atau 'lembaga pemasyarakatan' beda dengan kata 'penjara.' Atau, kata 'korupsi' beda dengan 'maling'.
"Bahasa itu akan terasa pengaruhnya bila ada tekanan emosi. Tulisan atau pemikiran yang menarik dan memiliki daya pengaruh bila ada muatan emosinya dan semangat yang ditanamkan. Sama juga dengan bahasa oral atau lisan. Itulah, kata 'kolonial' beda tekanan maknanya dengan penjajah," terangnya.
Ketiga, Ahmad Mansur Suryanegara memesankan bahwa konflik dan pertengkaran antar manusia dalam sejarah pada dasarnya adalah konflik dan pertengkaran yang juga didasari agama. Aspek primordial tidak hilang atau tidak bisa disembunyikan bahwa misi agama turut berperan atau mempengaruhi. Perang agama, kepentingan agama atau atas nama agama terjadi sepanjang sejarah dan dimana pun. Menyembunyikannya hanya kepura-puraan dan perdamaian antar agama hanyalah kamuflase. Bukan harus selalu berperang tapi konflik antar agama akan selalu ada dan sudah berjalan sepanjang sejarah.
Atas ketiga alasan itulah, Ahmad Mansur Suryanegara ingin memesankan untuk tidak melupakan unsur agama dalam melihat proses penjajahan Belanda, walaupun asalnya ekonomi, tapi semangat agama telah menjadi motivasi penting sehingga penjajahan Belanda sesungguhnya adalah penjajahan agama dan peperangan melawan kolonial hakikatnya adalah perang antar agama.
"Landasan dan motivasi agama ini masih akan terus terjadi di masa depan," imbuhnya.
Atas penjelasan itu, sambungnya, artinya Ahmad Mansur Suryanegara, ingin menegaskan bahwa penjajahan Belanda selama ratusan tahun di Nusantara, selain faktor ekonomi, didasari dan disemangati juga oleh faktor agama, slogan "glory, gold, gospel" yang terkenal itu. Kristen Eropa ingin menjajah negeri-negeri Muslim sebagai warisan dari Perang Salib dengan melalui penguasaan ekonomi.
"Perang agama adalah real alias nyata, baik alasan efek penyebaran agama (Islam) atau penjajahan (Kristen)," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka
"Bagi Islam dan para ulama, perang melawan kolonial alias penjajah yang Kristen adalah jihad," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (5/5/2022).
Menurutnya, tujuan para ulama melawan penjajah, bukan hanya merdeka, tapi lebih dari itu adalah menjalankan perintah agama.
"Kalau sudah dikaitkan dengan kesadaran agama, spirit menjadi hidup, motivasi menjadi kuat, energi menjadi berlipat dan hidup menjadi bermakna. Itulah rahasia kemenangan perlawanan para ulama dalam mengusir penjajah Belanda yang Kristen Protestan," tandasnya.
Ia mengurai alasan pemilihan diksi penjajah dibanding kolonial yang dituliskan oleh Tokoh Sejarawan, Ahmad Mansur Suryanegara, di buku Api Sejarah.
Pertama, Ahmad Mansur Suryanegara paling greget diantara para sejarawan dalam menyadari dan memberikan informasi bahwa Belanda itu penjajah, imperalis dan Kristen. Menyebut kolonial itu netral, hambar, tak ada energinya dan kurang menekankan pesan bahwa Belanda adalah penjajah.
Kedua, bila 'kolonial' adalah bahasa akademik, 'penjajah' adalah bahasa emosi. Kedua kata itu tensinya berbeda. Seperti kita membaca kata 'tahanan,' 'sel' atau 'lembaga pemasyarakatan' beda dengan kata 'penjara.' Atau, kata 'korupsi' beda dengan 'maling'.
"Bahasa itu akan terasa pengaruhnya bila ada tekanan emosi. Tulisan atau pemikiran yang menarik dan memiliki daya pengaruh bila ada muatan emosinya dan semangat yang ditanamkan. Sama juga dengan bahasa oral atau lisan. Itulah, kata 'kolonial' beda tekanan maknanya dengan penjajah," terangnya.
Ketiga, Ahmad Mansur Suryanegara memesankan bahwa konflik dan pertengkaran antar manusia dalam sejarah pada dasarnya adalah konflik dan pertengkaran yang juga didasari agama. Aspek primordial tidak hilang atau tidak bisa disembunyikan bahwa misi agama turut berperan atau mempengaruhi. Perang agama, kepentingan agama atau atas nama agama terjadi sepanjang sejarah dan dimana pun. Menyembunyikannya hanya kepura-puraan dan perdamaian antar agama hanyalah kamuflase. Bukan harus selalu berperang tapi konflik antar agama akan selalu ada dan sudah berjalan sepanjang sejarah.
Atas ketiga alasan itulah, Ahmad Mansur Suryanegara ingin memesankan untuk tidak melupakan unsur agama dalam melihat proses penjajahan Belanda, walaupun asalnya ekonomi, tapi semangat agama telah menjadi motivasi penting sehingga penjajahan Belanda sesungguhnya adalah penjajahan agama dan peperangan melawan kolonial hakikatnya adalah perang antar agama.
"Landasan dan motivasi agama ini masih akan terus terjadi di masa depan," imbuhnya.
Atas penjelasan itu, sambungnya, artinya Ahmad Mansur Suryanegara, ingin menegaskan bahwa penjajahan Belanda selama ratusan tahun di Nusantara, selain faktor ekonomi, didasari dan disemangati juga oleh faktor agama, slogan "glory, gold, gospel" yang terkenal itu. Kristen Eropa ingin menjajah negeri-negeri Muslim sebagai warisan dari Perang Salib dengan melalui penguasaan ekonomi.
"Perang agama adalah real alias nyata, baik alasan efek penyebaran agama (Islam) atau penjajahan (Kristen)," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka