Tinta Media - Beberapa hari ini beredar viral video yang memperlihatkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tengah berbincang dengan Najwa Shihab dan menyatakan tidak akan maju calon Presiden selama Prabowo Subianto masih maju Capres. Video Anies Baswedan tegaskan tidak akan maju capres selama Prabowo Subianto juga maju nyapres itu memantik perdebatan pro dan kontra.
Sejumlah artikel yang membela Anies, juga beredar dengan narasi yang pada pokoknya Anies tidak perlu terikat dengan hal itu karena konteks era now berbeda dengan pada saat video tersebut dibuat. Adapula yang berusaha membela dengan argumentasi bahwa yang berhak mencapreskan adalah partai politik atau gabungan parpol yang memiliki kursi/suara cukup.
Jadi, menurut yang pro Anies Baswedan tetap boleh mencalonkan diri menjadi capres sepanjang ada partai yang mengusungnya. Mau siap maju Pilpres, kalau tidak ada partai yang mengusung, memangnya mau maju via ormas ?
Yang kontra berusaha mengekploitasi video ini untuk meminta komitmen Anies Baswedan agar tidak maju Pilpres. Bahkan, sejumlah pernyataan Anies Baswedan saat menjadi Timses Jokiwi kembali dipersoalkan. Tentang bagaimana saat Anies dahulu benar-benar pernah menjadi 'cebong' sejati.
Sebenarnya, bangsa ini tidak akan pernah bisa bangkit dari keterpurukan jika orientasi perubahan hanya mengarah kepada sosok. Kalau bicara sosok, semua nama yang disebutkan akan maju Pilpres tahun 2024 memiliki cacat.
Prabowo misalnya, dia sangat berpotensial menjadi capres abadi. Sulit bagi Prabowo menghindari kemarahan pendukungnya di tahun 2019, masa keemasan Prabowo dengan pendukungnya sudah berlalu dan disia-siakan.
Prabowo memang berpotensi nyapres, dengan modal suara Gerindra. Dengan menggandeng satu atau dua parpol, Prabowo bisa maju pilpres lagi.
Tapi untuk menang ? rasanya itu sangat utopia.
Puan juga demikian. Anak perempuan Megawati ini lebih terkenal emosional ketimbang sosok negarawan yang bisa mengayomi dan melindungi, termasuk kepada wong cilik.
Dahulu BBM naik Puan menangis. Sekarang, Puan meringis, senyum dan tertawa, sudah tak peduli lagi dengan air mata buaya yang pernah luruh di kedua pipinya.
Ganjar ? Ah, warga Wadas pasti akan menyampaikan deritanya kepada seluruh rakyat se NKRI. Ganjar juga banyak aib, punya cacat, termasuk belum tentu diridhoi oleh PDIP.
Nama lainnya ? Mau Sandiaga Uno, Airlangga Hartarto, sampai Cak Imin, semuanya punya cacat. Kalau orientasi perubahan hanya fokus evaluasi pada nama-nama ini, ya sama saja mengaduk-aduk lumpur.
Karena itu, saya tidak mau terjebak, dukung mendukung sosok, atau mengevaluasi berdasarkan sosok. Problem utama ada pada sistem, baru pemimpinnya.
Sistem demokrasi hanya melahirkan pemimpin-pemimpin pencitraan, bukan pemimpin sejati. Demokrasi menghalalkan politisinya menjadi musang berbulu domba, bahkan melakukan 'LGBT' dalam politik. Yang sebelumnya cakar-cakaran bisa berpelukkan. Yang sebelumnya menjadi mitra koalisi bisa menjadi musuh abadi.
Sudah saatnya, bangsa Indonesia mengevaluasi sistem demokrasi yang rusak dan menjadikan sistem Islam sebagai alternatifnya. Dan sistem pemerintahan Islam itu adalah sistem Khilafah. [].
Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Sejumlah artikel yang membela Anies, juga beredar dengan narasi yang pada pokoknya Anies tidak perlu terikat dengan hal itu karena konteks era now berbeda dengan pada saat video tersebut dibuat. Adapula yang berusaha membela dengan argumentasi bahwa yang berhak mencapreskan adalah partai politik atau gabungan parpol yang memiliki kursi/suara cukup.
Jadi, menurut yang pro Anies Baswedan tetap boleh mencalonkan diri menjadi capres sepanjang ada partai yang mengusungnya. Mau siap maju Pilpres, kalau tidak ada partai yang mengusung, memangnya mau maju via ormas ?
Yang kontra berusaha mengekploitasi video ini untuk meminta komitmen Anies Baswedan agar tidak maju Pilpres. Bahkan, sejumlah pernyataan Anies Baswedan saat menjadi Timses Jokiwi kembali dipersoalkan. Tentang bagaimana saat Anies dahulu benar-benar pernah menjadi 'cebong' sejati.
Sebenarnya, bangsa ini tidak akan pernah bisa bangkit dari keterpurukan jika orientasi perubahan hanya mengarah kepada sosok. Kalau bicara sosok, semua nama yang disebutkan akan maju Pilpres tahun 2024 memiliki cacat.
Prabowo misalnya, dia sangat berpotensial menjadi capres abadi. Sulit bagi Prabowo menghindari kemarahan pendukungnya di tahun 2019, masa keemasan Prabowo dengan pendukungnya sudah berlalu dan disia-siakan.
Prabowo memang berpotensi nyapres, dengan modal suara Gerindra. Dengan menggandeng satu atau dua parpol, Prabowo bisa maju pilpres lagi.
Tapi untuk menang ? rasanya itu sangat utopia.
Puan juga demikian. Anak perempuan Megawati ini lebih terkenal emosional ketimbang sosok negarawan yang bisa mengayomi dan melindungi, termasuk kepada wong cilik.
Dahulu BBM naik Puan menangis. Sekarang, Puan meringis, senyum dan tertawa, sudah tak peduli lagi dengan air mata buaya yang pernah luruh di kedua pipinya.
Ganjar ? Ah, warga Wadas pasti akan menyampaikan deritanya kepada seluruh rakyat se NKRI. Ganjar juga banyak aib, punya cacat, termasuk belum tentu diridhoi oleh PDIP.
Nama lainnya ? Mau Sandiaga Uno, Airlangga Hartarto, sampai Cak Imin, semuanya punya cacat. Kalau orientasi perubahan hanya fokus evaluasi pada nama-nama ini, ya sama saja mengaduk-aduk lumpur.
Karena itu, saya tidak mau terjebak, dukung mendukung sosok, atau mengevaluasi berdasarkan sosok. Problem utama ada pada sistem, baru pemimpinnya.
Sistem demokrasi hanya melahirkan pemimpin-pemimpin pencitraan, bukan pemimpin sejati. Demokrasi menghalalkan politisinya menjadi musang berbulu domba, bahkan melakukan 'LGBT' dalam politik. Yang sebelumnya cakar-cakaran bisa berpelukkan. Yang sebelumnya menjadi mitra koalisi bisa menjadi musuh abadi.
Sudah saatnya, bangsa Indonesia mengevaluasi sistem demokrasi yang rusak dan menjadikan sistem Islam sebagai alternatifnya. Dan sistem pemerintahan Islam itu adalah sistem Khilafah. [].
Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik