Tinta Media - Aktor yang terlibat dalam konflik Rusia vs Ukraina dinilai oleh Pengamat Politik Internasional Budi Mulyana M.Si masih dalam skenario Amerika.
“Arah dari tindakan-tindakan aktor yang terlibat, Rusia, Ukraina juga bagaimana respon dari Uni Eropa, dari NATO ini semua masih dalam skenario kerangka Global Amerika,” tuturnya dalam acara Kabar Petang : AS Dalang Konflik-konflik Internasional? Kamis (28/4/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.
Dikatakan Rusia bisa tetap dilemahkan oleh Amerika Serikat sehingga tidak bisa ke kancah internasional. "Dengan serangan Rusia ke Ukraina pasti akan menguras sumber daya Rusia baik dalam kontek militer atau pun juga dalam konteks ekonomi,dengan adanya embargo ekonomi yang bertubi-tubi kepada Rusia," paparnya.
Di sisi lain kata Budi, Amerika juga tidak ingin Ukraina itu dikorbankan demi kepentingan melemahkan Rusia. Amerika punya cara untuk menjaga agar Ukraina bergantung kepada Amerika Serikat baik via NATO atau pun Uni Eropa. “Sehingga tidak boleh juga Ukraina itu dikalahkan oleh Rusia,” tukasnya.
Namun lanjut Budi, Amerika tidak memberikan bantuan militer secara langsung kepada Ukraina. Tetapi melalui bantuan bantuan pihak ketiga atau bantuan bantuan yang dimanfaatkan oleh Ukrania untuk meningkatkan kemampuannya memperlambat invasi Rusia kepada Ukraina.
“Ini juga dibalut dengan positioning Ukraina di Eropa, bahwa dia belum menjadi anggota NATO, dia juga belum menjadi anggota Uni Eropa sehingga seolah-olah itu menjadi justifikasi bahwa dibantu tetapi tidak secara langsung,” tambahnya.
Budi menilai, dalam konteks invasi Rusia ke Ukraina, Eropa baik Uni Eropa atau beberapa negara sentral di Eropa seperti Jerman, Perancis, Inggris tetap di bawah kendali Amerika. Hal ini karena Eropa dalam kondisi dilematis. Satu sisi Eropa punya ketergantungan energi ke Rusia. Di sisi lain seharusnya Eropa membantu Ukraina agar Rusia tidak menjadi ancaman bagi Eropa. Tapi ini tidak bisa dilakukan oleh Eropa.
Cina
Menurut Budi, Cina bermain di dua sisi. "Pertama, dia berusaha tetap menjaga mitra strategis Rusia dengan Cina. Tetapi Cina berpikir dua kali untuk bisa membantu secara langsung pada Rusia. Amerika beberapa kali memberikan warning terhadap Cina agar tidak membantu Rusia dalam konteks konflik Ukraina," ungkapnya
“Kalau kita lihat sebelumnya strategi global Amerika coba menggeser dari Timur Tengah ke Indo Pasifik. Tapi di sisi lain dengan adanya konflik Ukraina Rusia ini menjadikan Cina punya peluang untuk menaikkan level politiknya di level global. Cuman tadi keburu di warning oleh Amerika Serikat sehingga Cina berusaha berhati-hati untuk memainkan situasi ini,” tambahnya.
Panjang
Budi memperkirakan konflik Rusia vs Ukraina akan berlangsung panjang karena tidak mudah mencapai titik kesepakatan.
“Rusia tetap harus bisa memastikan bahwa Barat terutama Amerika Serikat melalui NATO dengan perluasan keanggotaan di Eropa Timur nya itu tidak mengancam secara langsung teritori Rusia. Kalaupun Rusia harus mundur maka ancaman Barat ini betul-betul harus dipastikan tidak terjadi,” jelasnya.
Di sisi lain lanjut Budi, Ukraina juga harus memastikan bahwa dia tetap menjadi sebuah negara yang berdaulat.
“Tinggal bagaimana kemudian negara-negara NATO , khususnya Amerika Serikat bisa menerima tuntutan ini. Karena sebenarnya secara normatif negara punya kebebasan untuk bisa bergabung atau tidak bergabung dengan sebuah aliansi internasional,” tandasnya.
Tetapi di sisi lain tentu setiap negara juga harus mempertimbangkan realitas politik yang terjadi dalam konteks ketetanggaan. Apalagi merasa terancam dengan negara tetangga ini. “Makanya saya melihat selama tidak ada titik temu dalam negosiasi ini, maka konflik akan berlangsung panjang,” tambahnya.
Indo Pasifik
Budi memprediksi pesaing global Amerika itu Cina. “Dari skenario yang diprediksikan oleh NIC (Dewan Intelegen Nasional Amerika) 2040 itu memang Cina disebut sebagai negara yang punya potensi ancaman secara militer. Dan tentu arena pertarungan kalau dengan Cina pasti di Indo Pasifik,” paparnya.
Budi mengatakan bahwa Indo Pasifik, baru belakangan ini menjadi perhatian Amerika. Pasca Cina melakukan modernisasi besar-besaran, Cina menjadi negara yang secara ekonomi menjadi ancaman Global bagi Amerika. “Bahkan Cina kemudian memperkuat aspek militernya, meski belum teruji kekuatannya, karena memang belum ada konflik yang di situ Cina terlibat untuk menguji kekuatannya,” jelas Budi.
“Tetapi dengan sumber daya manusia yang besar, penduduknya 1,5 miliar, dengan kekuatan ekonomi yang besar tentu Amerika juga tidak bisa mendiamkan Cina mengambil alih posisi Amerika di level global. Makanya kita bisa memahami bagaimana Biden ini menggeser imperialisnye ke arah Pasifik,” imbuhnya.
Mengekor
Budi menilai meski Indonesia memiliki sumber daya manusia dan sumber daya alam yang melimpah tapi belum layak disebut sebagai great power. “Jangankan super power, great power saja masih jauh,” nilainya.
Penyebabnya lanjut Budi, negeri-negeri muslim khususnya Indonesia masih menjadi negara yang mengekor kepada ideologi negara Global. Tidak bisa menunjukkan kemandirian, tidak bisa menunjukkan sikap yang berbeda dengan keinginan negara-negara global seperti Amerika Serikat.
“Secara militer juga masih belum sepadan. jumlah personil militer di Indonesia kan masih sedikit. Belum lagi kalau kita bicara alutsista. Kita masih bergantung kepada alutsista buatan dari negara-negara lain. Padahal untuk bisa menjadi negara super power atau great power itu dia harus punya kemandirian secara militer,” terangnya.
Budi menjelaskan bahwa di masa lalu kaum Muslimin menggunakan Islam sebagai way of life yang mengatur tatanan kehidupan ala Islam.Saya pikir Islam bisa menjawab untuk menghadapi kekuatan kapitalisme global.
“Dalam konteks turunannya seperti kekuatan militer dan kekuatan ekonomi, bisa mandiri karena kita punya sumber daya manusia dan sumber daya alam yang banyak. Tinggal bagaimana itu dikuasai negara untuk kepentingan negara,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun