Tinta Media - Isu penundaan pemilu masih hangat diperbincangkan. Ketika sejumlah ketua umum Parpol mendukung penuh penundaan pemilu, ternyata hal tersebut ditolak mentah-mentah oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). Mereka turun ke jalan pada Minggu, 10 April 2022, melakukan aksi demo meminta wacana tersebut dihentikan.
Terus bergulirnya wacana tentang penundaan pemilu dan perpanjangan kekuasaan rezim menjadi tiga periode tersebut dilatarbelakangi oleh klaim hasil survei yang menyatakan, bahwa ada kepuasan rakyat atas kinerja rezim. Padahal, realitas yang ada berbanding terbalik dengan hal tersebut.
Adanya aksi mahasiswa yang menolak wacana tersebut merupakan simbol aspirasi rakyat dalam menggambarkan kekecewaan mereka atas kinerja rezim. Fakta kenaikan harga minyak goreng setelah sebelumnya terjadi kelangkaan, juga kenaikan harga salah satu jenis BBM, serta baru-baru ini kenaikan PPN menjadi 11%, merupakan berbagai kebijakan yang semakin menyengsarakan kehidupan rakyat, di tengah dampak pandemi covid yang masih dirasakan. Apalagi, sebelumnya rezim pun telah mengesahkan UU Omnibuslaw Ciptakerja, Minerba, dan kenaikan listrik secara berkala, serta UU lainnya yang jelas-jelas tidak prorakyat.
Ekonomi rakyat semakin morat marit, apalagi selama pandemi yang berdampak pada tingginya jumlah pengangguran akibat terjadi PHK besar-besaran di sektor industri. Hal ini menyebabkan jutaan rakyat hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan sangat melarat. Sebelum pandemi saja kemiskinan sudah menimpa banyak rakyat, apalagi ketika terjadi pandemi, kesengsaraan ini meningkat tajam. Ini merupakan bukti kegagalan rezim dalam mengatur urusan rakyat.
Namun, di balik kegagalannya, rezim malah ingin memperpanjang masa jabatan dengan menggulirkan wacana penundaan pemilu. Sontak hal ini membuat rakyat geram, sehingga memicu para mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia melakukan aksi demo menuntut penguasa.
Dalam press release yang diunggah, Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyebut tuntutan atas berbagai polemik yang terjadi, di antaranya tentang kenaikan harga minyak goreng, konflik Wadas yang telah ada sejak tahun 2019, juga tentang pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) yang dinilai dipaksakan dan belum ada pondasi yang kuat serta semakin membebani rakyat. Oleh karena itu, mahasiswa menuntut dan mendesak Jokowi-Maruf untuk berkomitmen penuh dalam menuntaskan janji-janji kampanye di sisa masa jabatan dan menolak dengan tegas penundaan pemilu 2024 atau masa jabatan tiga periode, karena jelas mengkhianati konstitusi negara.
Sebagai kaum intelektual, mahasiswa dipandang memiliki peran besar dalam mengubah tatanan sosial. Mahasiswa merupakan agent of change atau agen perubahan masyarakat yang memiliki daya nalar kritis dan idealis. Selain itu, mahasiswa sebagai guardian of value harus mampu berpikir secara ilmiah dan mencari apa saja bentuk-bentuk dari fakta atau kebenaran yang terdapat dalam permasalahan-permasalahan yang terlihat maupun tertutup dari masyarakat.
Oleh karena itu, pemikiran mereka selayaknya digunakan untuk mengkritisi berbagai kebijakan yang terjadi. Pemikiran yang kritis tidak boleh berhenti hanya mengkritik kekeliruan rezim. Namun, pemikiran kritis tersebut harus bisa membaca tentang apa akar masalah sebenarnya dari segala persoalan yang ada dalam setiap kebijakan rezim, sesuai fungsinya sebagai guardian of value.
Setiap kebijakan akan lahir dari sistem yang diterapkan, sehingga setiap kebijakan yang buruk pastinya lahir dari sistem yang buruk pula. Maka, jika banyak kebijakan rezim yang menyengsarakan rakyat, artinya sistem yang mengatur negara kitalah yang bermasalah.
Sistem Demokrasi Sekuler Kapitalis yang diterapkan di negeri ini adalah sistem kepemimpinan yang memisahkan agama dari kehidupan, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Dalam sistem ini, orientasi hidup hanya untuk mencari keuntungan dan materi semata.
Setiap aturan dibuat oleh manusia yang mengklaim dirinya sebagai wakil rakyat, yang akan dijalankan oleh para pemangku jabatan yang memiliki kekuasaan.
Namun, dalam pelaksanaannya, negara yang seharusnya bertanggung jawab kepada rakyat dan berperan sebagai distributor rakyat justru hanya berperan sebagai regulator saja dan menghamba kepada kepentingan para oligarki, yang notabene sebagai pihak yang memainkan semua kebijakan penguasa.
Maka wajar, jika setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa selalu tidak prorakyat karena sering menyengsarakan rakyat, tetapi menguntungkan para oligarki. Agar para oligarki dapat terus meraup keuntungan dengan terus melanggengkan kekuasaannya, diwacanakanlah penundaan pemilu.
Oleh karena itu, aksi demo mahasiswa selayaknya menjadi angin segar perubahan untuk mengganti sistem yang batil ini, mencari sistem alternatif dan menghentikan setiap kezaliman yang terjadi, bukan sekadar ingin mengganti rezim penguasa. Alternatif satu-satunya dari sistem pengganti tersebut hanyalah sistem Islam.
Menjadikan Islam sebagai sistem pengganti merupakan solusi, karena Islam bukan sekadar agama spiritual ataupun ritual saja. Namun, Islam juga merupakan agama politis. Dalam arti lain, Islam merupakan sebuah ideologi, karena Islam mengatur seluruh tatanan kehidupan manusia yang berasal dari Allah Swt.
Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah dalam hal akidah dan ibadah, mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri dalam hal makanan, minuman, akhlak dan pakaian, juga mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam hal pendidikan, ekonomi, sosial kemasyarakatan, politik dalam dan luar negeri, dan sebagainya. Seluruh aturan Islam ini akan diterapkan secara kaffah oleh sebuah institusi negara, yaitu khilafah, sebagai solusi dari berbagai masalah yang timbul di tengah kehidupan masyarakat, yang akan mengundang keberkahan dari Allah Swt, seperti firman-Nya:
" Seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan limpahkan berkah dari langit dan bumi ...."
(TQS Al-' Araf; 96)
Wallahu'alam bishawab
Oleh: Thaqqiyuna Dewi S.I.Kom
Sahabat Tinta Media
Terus bergulirnya wacana tentang penundaan pemilu dan perpanjangan kekuasaan rezim menjadi tiga periode tersebut dilatarbelakangi oleh klaim hasil survei yang menyatakan, bahwa ada kepuasan rakyat atas kinerja rezim. Padahal, realitas yang ada berbanding terbalik dengan hal tersebut.
Adanya aksi mahasiswa yang menolak wacana tersebut merupakan simbol aspirasi rakyat dalam menggambarkan kekecewaan mereka atas kinerja rezim. Fakta kenaikan harga minyak goreng setelah sebelumnya terjadi kelangkaan, juga kenaikan harga salah satu jenis BBM, serta baru-baru ini kenaikan PPN menjadi 11%, merupakan berbagai kebijakan yang semakin menyengsarakan kehidupan rakyat, di tengah dampak pandemi covid yang masih dirasakan. Apalagi, sebelumnya rezim pun telah mengesahkan UU Omnibuslaw Ciptakerja, Minerba, dan kenaikan listrik secara berkala, serta UU lainnya yang jelas-jelas tidak prorakyat.
Ekonomi rakyat semakin morat marit, apalagi selama pandemi yang berdampak pada tingginya jumlah pengangguran akibat terjadi PHK besar-besaran di sektor industri. Hal ini menyebabkan jutaan rakyat hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan sangat melarat. Sebelum pandemi saja kemiskinan sudah menimpa banyak rakyat, apalagi ketika terjadi pandemi, kesengsaraan ini meningkat tajam. Ini merupakan bukti kegagalan rezim dalam mengatur urusan rakyat.
Namun, di balik kegagalannya, rezim malah ingin memperpanjang masa jabatan dengan menggulirkan wacana penundaan pemilu. Sontak hal ini membuat rakyat geram, sehingga memicu para mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia melakukan aksi demo menuntut penguasa.
Dalam press release yang diunggah, Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyebut tuntutan atas berbagai polemik yang terjadi, di antaranya tentang kenaikan harga minyak goreng, konflik Wadas yang telah ada sejak tahun 2019, juga tentang pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) yang dinilai dipaksakan dan belum ada pondasi yang kuat serta semakin membebani rakyat. Oleh karena itu, mahasiswa menuntut dan mendesak Jokowi-Maruf untuk berkomitmen penuh dalam menuntaskan janji-janji kampanye di sisa masa jabatan dan menolak dengan tegas penundaan pemilu 2024 atau masa jabatan tiga periode, karena jelas mengkhianati konstitusi negara.
Sebagai kaum intelektual, mahasiswa dipandang memiliki peran besar dalam mengubah tatanan sosial. Mahasiswa merupakan agent of change atau agen perubahan masyarakat yang memiliki daya nalar kritis dan idealis. Selain itu, mahasiswa sebagai guardian of value harus mampu berpikir secara ilmiah dan mencari apa saja bentuk-bentuk dari fakta atau kebenaran yang terdapat dalam permasalahan-permasalahan yang terlihat maupun tertutup dari masyarakat.
Oleh karena itu, pemikiran mereka selayaknya digunakan untuk mengkritisi berbagai kebijakan yang terjadi. Pemikiran yang kritis tidak boleh berhenti hanya mengkritik kekeliruan rezim. Namun, pemikiran kritis tersebut harus bisa membaca tentang apa akar masalah sebenarnya dari segala persoalan yang ada dalam setiap kebijakan rezim, sesuai fungsinya sebagai guardian of value.
Setiap kebijakan akan lahir dari sistem yang diterapkan, sehingga setiap kebijakan yang buruk pastinya lahir dari sistem yang buruk pula. Maka, jika banyak kebijakan rezim yang menyengsarakan rakyat, artinya sistem yang mengatur negara kitalah yang bermasalah.
Sistem Demokrasi Sekuler Kapitalis yang diterapkan di negeri ini adalah sistem kepemimpinan yang memisahkan agama dari kehidupan, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Dalam sistem ini, orientasi hidup hanya untuk mencari keuntungan dan materi semata.
Setiap aturan dibuat oleh manusia yang mengklaim dirinya sebagai wakil rakyat, yang akan dijalankan oleh para pemangku jabatan yang memiliki kekuasaan.
Namun, dalam pelaksanaannya, negara yang seharusnya bertanggung jawab kepada rakyat dan berperan sebagai distributor rakyat justru hanya berperan sebagai regulator saja dan menghamba kepada kepentingan para oligarki, yang notabene sebagai pihak yang memainkan semua kebijakan penguasa.
Maka wajar, jika setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa selalu tidak prorakyat karena sering menyengsarakan rakyat, tetapi menguntungkan para oligarki. Agar para oligarki dapat terus meraup keuntungan dengan terus melanggengkan kekuasaannya, diwacanakanlah penundaan pemilu.
Oleh karena itu, aksi demo mahasiswa selayaknya menjadi angin segar perubahan untuk mengganti sistem yang batil ini, mencari sistem alternatif dan menghentikan setiap kezaliman yang terjadi, bukan sekadar ingin mengganti rezim penguasa. Alternatif satu-satunya dari sistem pengganti tersebut hanyalah sistem Islam.
Menjadikan Islam sebagai sistem pengganti merupakan solusi, karena Islam bukan sekadar agama spiritual ataupun ritual saja. Namun, Islam juga merupakan agama politis. Dalam arti lain, Islam merupakan sebuah ideologi, karena Islam mengatur seluruh tatanan kehidupan manusia yang berasal dari Allah Swt.
Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah dalam hal akidah dan ibadah, mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri dalam hal makanan, minuman, akhlak dan pakaian, juga mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam hal pendidikan, ekonomi, sosial kemasyarakatan, politik dalam dan luar negeri, dan sebagainya. Seluruh aturan Islam ini akan diterapkan secara kaffah oleh sebuah institusi negara, yaitu khilafah, sebagai solusi dari berbagai masalah yang timbul di tengah kehidupan masyarakat, yang akan mengundang keberkahan dari Allah Swt, seperti firman-Nya:
" Seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan limpahkan berkah dari langit dan bumi ...."
(TQS Al-' Araf; 96)
Wallahu'alam bishawab
Oleh: Thaqqiyuna Dewi S.I.Kom
Sahabat Tinta Media