Tinta Media - Polemik pembangunan bendungan dan penambangan batu andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo senyap setelah melalui kondisi klimaks. Rakyat Indonesia disibukkan dengan krisis minyak goreng beberapa bulan terakhir, berlanjut dengan kelangkaan Solar dan Pertalite serta kenaikan harga Pertamax. Masalah demi masalah yang di hadapi bangsa ini seperti tak ada habisnya. Kasus Wadas pun belum menunjukan titik terang.
Sebelumnya, Pemprov Jawa Tengah bersama Komnas HAM menggelar dialog terbuka di Hotel Gracia, Semarang (20/1/2022). Dialog tersebut mengundang pihak pro dan kontra, tetapi hanya dihadiri oleh warga yang setuju. Selanjutnya, pengukuran lahan dilakukan dan berujung ricuh. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pun telah meminta maaf atas keterlibatan aparat kepolisian serta penangkapan 60-an warga Wadas. Pun demikian, upaya dialog yang kembali dilakukan Pemprov dengan masyarakat setempat masih menuai pro dan kontra.
Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa) kemudian mengagendakan dialog terbuka bersama akademisi di UGM Yogyakarta pada tanggal 29 Maret 2022. Namun, acara tersebut dibatalkan karena sejumlah akademisi memiliki agenda lain pada hari yang sama. Gempa Dewa sendiri berada di pihak yang menolak upaya eksploitasi dan segala bentuk intimidasi terhadap warga Wadas. Jadi, upaya dialog yang akan dilakukan bukan untuk menjembatani jalannya proyek penambangan batu andesit di Wadas.
Penolakan warga terhadap proyek penambangan batu andesit tentu bukan tanpa alasan. Muncul kekhawatiran hilangnya mata pencaharian warga yang tergantung dari hasil alam. Selain itu, terdapat pohon Beringin Pencekik (Pohon Bulu) setinggi 10 meter yang di bawahnya terdapat genangan yang mengeluarkan air tanpa putus. Sumber air tersebut akan tercemar jika dilakukan penambangan secara destruktif. Tragedi longsor dan banjir yang menelan nyawa delapan orang pada tahun 1988 juga belum hilang dari ingatan warga Wadas.
Cukup menyakitkan mendengar pernyataan Menko Polhukam, Mahfud MD bahwa penolakan warga Wadas terhadap penambangan batu andesit tidak mempengaruhi proyek secara hukum. Miris, sebuah negeri yang mengaku berideologi Pancasila yang di dalamnya termuat nilai keadilan sosial, tetapi tak mempedulikan aspek sosial dalam pelaksanaan sebuah proyek dan hukum. Padahal, sebuah hukum sudah seharusnya memperhatikan aspek sosial kemasyarakatan serta dampaknya bagi masyarakat luas.
Patut dipertanyakan, sebuah proyek yang telah menciptakan konflik, tatapi tetap dipertahankan. Demi apa dan demi siapa? Jika benar dilakukan demi rakyat, maka tuntutan atas pencabutan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41/2018 tentang Izin Penetapan Lokasi Bendungan serta Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/20 Tahun 2018 tentang Izin Lingkungan Rencana Pembangunan Bener seharusnya segera direalisasikan.
Sayangnya, rakyat harus kembali mengelus dada. Kasus Wadas muncul dalam soal Tes Uji Coba (TUC) Ujian Sekolah Kelas IX SMP Tahun Pelajaran 2021/2022 di Kabupaten Purworejo. Soal terkait wadas juga muncul di TUC SD Tahun Ajaran 2021/2022 di wilayah Wilcambidik Kecamatan Pituruh. Tentu menjadi wajar jika sebagian masyarakat menganggap pemerintah telah melakukan intervensi politik ke ranah pendidikan.
Meskipun sebenarnya tidak salah jika pembahasan politik masuk ranah pendidikan. Bahkan, pendidikan politik sangat penting agar para pelajar yang notabene bagian dari masyarakat, bisa turut andil menjalankan peran melakukan koreksi terhadap penguasa. Mereka akan lebih kritis dalam menghadapi problema kehidupan, serta memandang sebuah kebijakan. Negara pun sebenarnya membutuhkan sikap kritis setiap warga agar roda pemerintahan berjalan lebih seimbang.
Sayangnya, kasus Wadas yang muncul dalam soal TUC memuat narasi yang justru menyudutkan warga Wadas yang menolak penambangan. Akhirnya, masyarakat menilai, pemerintah setempat terkesan memanfaatkan kekuasaan untuk melakukan penetrasi kepentingan politik dalam dunia pendidikan. Tampaklah, penetrasi kepentingan di Wadas tidak hanya melalui sistem keamanan dan penegakan hukum, tetapi juga melalui dunia pendidikan.
Dalam kondisi saat ini, tampaknya masyarakat semakin kesulitan mempercayai pemerintah serta elit politik dalam urusan pemenuhan hajat hidup mereka. Di saat bersamaan, rakyat ternyata masih menyisakan sedikit kepercayaan kepada akademisi agar lebih netral tanpa ditunggangi kepentingan oligarki.
Upaya membuka dialog bersama akademisi, memberi harapan munculnya tanggapan, penilaian, analisis para pakar terkait dampak jangka pendek maupun panjang penambangan batu andesit. Masyarakat sangat berharap para akademisi menjadi pihak oposan pemerintah hingga steril dari kepentingan politik. Sebaliknya, masyarakat tidak menghendaki akademisi berada di persimpangan jalan antara independensi sebagai ilmuwan dengan kepentingan politik.
Teringat dengan pepatah lama yang berbunyi “Kezaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tetapi karena diamnya orang baik”. Sudah seharusnya orang-orang yang memiliki banyak pengetahuan berperan menggunakan pemikiran dan lisannya melawan segala bentuk kezaliman dan ketidakadilan.
Dari Abu Sa'id al-Khudriy Ra., ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, "Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman." (HR. Muslim)
Islam juga mengajarkan umatnya untuk bergelut di bidang politik. Namun, politik yang dimaksud bukanlah politik ala Machiavelli. Umat berpolitik adalah dalam rangka mengambil peran mengurus urusan rakyat, bukan untuk membodohi ataupun mempermainkan rakyat demi nafsu dunia. Akhirnya, semua bisa melihat, demokrasi yang diterapkan selama ini hanya melahirkan oligarki dan menciptakan regulasi yang menyayat hati. Wallahu’alam bish shawab.
Oleh: Ikhtiyatoh
Penulis, Pemerhati Sosial dan Politik