Tinta Media - Terkait anggapan bahwa demokrasi identik dengan sistem pemerintahan dengan birokrasi yang lamban serta berbiaya tinggi, Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky berpendapat begini.
"Tubuh pemerintahan yang dibangun kompromistis dalam kasus demokrasi, yang terjadi adalah dia strukturnya gemuk, setelah gemuk pasti lebih lamban," ujarnya dalam _Kajian Politik Islam: Sistem Politik Islam: Sederhana, Cepat dan Hemat Anggaran,_ Sabtu (26/3/2022) di kanal _YouTube Khilafah Channel Reborn._
Terlebih, sudah menjadi tabiat dari sistem politik demokrasi dalam hal pembentukan dan pengisian suatu jabatan politik yang menurut Wahyudi, juga identik dengan biaya tinggi.
Sehingga tak heran tatkala penyusunan kabinet, misalnya, banyak sekali terjadi kompromi politik. "Ada kepentingan-kepentingan politik yang dimana itu menjawab atau pun merespons janji-janji politik ketika mereka berkampanye," ungkapnya.
Padahal selain mahal, kata Wahyudi, proses politiknya juga sarat liku, serta pelaksanaan kampanye juga yang membutuhkan waktu lama.
Lantas berkenaan dengan postur gemuk sehingga menjadi lamban, hal itu bisa dilihat dari penambahan nomenklatur baru kementerian berikut para wakil serta staf khususnya yang menurut Wahyudi menjadi makin mahal.
"Dengan tambahnya struktur kabinet atau menteri atau jabatan, pasti juga seorang menteri butuh staf. Nambah lagi biaya staf. Staf itu dia butuh kantor itu perjalanan dinas telepon, prasarana jadi mahal sekali," sambungnya.
Sehingga, dengan semakin gemuknya sebuah struktur pemerintahan, maka bisa ia pastikan di dalam memutuskan suatu kebijakan publik pun memerlukan tambahan biaya. "Inilah yang membuat ketika struktur pemerintahan itu gemuk maka cenderung dia lamban dalam bergerak karena banyak koordinasi," sesalnya.
Persoalan demikian, kata Wahyudi, tidak berhenti di istilah lamban serta boros dalam biaya saja. "Ada penyakit lain lagi, sama persis dengan manusia kalau dia sudah lamban, dia sudah mahal biayanya karena sudah kegemukan, penyakitnya banyak," ucapnya menganalogikan.
Dengan kata lain, dari struktur pemerintahan yang gemuk, sangat berpotensi munculnya gontok-gontokan atau cakar-cakaran sesama pejabat, hanya karena rebutan kue proyek ataupun kewenangan misalnya.
Namun kondisi kabinet yang dipimpin Jokowi selama ini, kata Wahyudi, lebih dari itu. "Kondisi kabinet yang dipimpin Jokowi ini, saya pikir bukan sekadar gemuk, tetapi sudah obesitas," tegasnya.
"Dalam tubuh pemerintahan yang gemuk, bukan berarti terdapat jiwa yang sehat. Justru dalam tubuh pemerintahan yang gemuk banyak penyakit dan mahal biayanya," sindirnya lagi.
Artinya, pernyataan Jokowi yang pernah berjanji membentuk kabinet ramping, simpel, dan akan diisi oleh para profesional, sama sekali tidak terbukti.
Atau bisa ia dikatakan, dari sebuah sistem demokrasi tidak mungkin menghasilkan pemerintahan ideal dimaksud. "Dalam sistem demokrasi tidak mungkin menghasilkan suatu pemerintahan yang ramping, simpel, murah dan lincah," timpalnya.
Sistem Islam
"Tentu jauh sekali dengan kalau kita lihat itu dalam sistem pemerintahan Islam," cetusnya membandingkan.
Dimulai ketika Rasulullah SAW membentuk sebuah pemerintahan di Madinah yang menurut Wahyudi sebagai sistem pemerintahan yang sangat canggih dan modern kala itu.
"Di catatan saya, Nabi membentuk Piagam Madinah dan itu dalam catatan sejarah, itu sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia," bebernya dengan mengungkapkan bahwa di masa itu belum ada satu negara pun yang memiliki konstitusi serupa.
Hebatnya, lanjut Wahyudi, masyarakat Madinah yang tergolong bukan mayoritas Muslim, bisa menyepakati klausul-klausul di dalam Piagam Madinah. "Disebutkan bahwa apabila terjadi perselisihan antar masyarakat di Madinah, maka akan dikembalikan keputusannya kepada Rasulullah Muhammad SAW," terangnya.
Maka itu ia menilai, ketundukan tersebut juga menunjukkan, Rasulullah SAW memang berperan sebagai seorang kepala pemerintahan. Yang itu terlihat dari kewenangan beliau untuk memutuskan suatu perkara yang tentunya berdasarkan syariat Islam.
Ramping
Kata Wahyudi, selain sebagai kultur unik sebab kemajemukannya, ternyata sistem pemerintahan Islam di Madinah juga ramping.
Sebutlah jabatan kepala negara merangkap sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kemudian para muawin yang membantu mengurus pemerintahan Islam, dsb. "Itu simpel, ringan dan justru dia lebih ramping dan lincah," kagumnya.
Lebih dari itu, ketika upaya membuat _du contract social,_ (semacam kesepakatan) dalam konteks pemberlakuan Piagam Madinah, Nabi SAW justru membangun persaudaraan antara kaum muhajirin dan anshar.
"Di situ Rasul datang tidak langsung membangun ibu kota negara," selanya lantas membandingkan lagi dengan rezim saat ini yang sangat ingin membangun ibu kota negara baru. Padahal belum memiliki kecukupan uang.
Artinya, Rasulullah SAW memang tidak meninggalkan suatu bangunan megah, tetapi mewariskan sebuah sistem pemerintahan yang unik, ramping dan efisien, yang model kepemimpinannya dilanjutkan oleh Khalifah Abu Bakar as-Siddiq serta para khalifah setelahnya.
"Khalifatur Rasulullah (pengganti Muhammad dalam hal kepemimpinan umat) Abu bakar As Siddiq itu sebagai pewaris dari Nabi, Rasulullah SAW. Dia bentuknya, sistem pemerintahannya sistem pemerintahan Islam," jelasnya.
Malah berkenaan itu, Wahyudi menyampaikan sebuah catatan sejarah tentang perluasan wilayah kekuasaan Islam di era Abu Bakar yang ternyata sudah mampu menjangkau keluar jazirah Arab.
"Dengan sistem pemerintahan yang ramping, maka pergerakan pemerintahan menjadi lebih lincah, lebih cekatan dan lebih murah pastinya," ujarnya kembali membandingkan dengan sistem pemerintahan demokrasi saat ini yang mengurusi minyak goreng saja sampai berbulan-bulan.
"Berbulan-bulan enggak beres minyak goreng ini," timpalnya.
Khilafah Islam
Adalah sistem pemerintahan khilafah Islam, yang secara ideologi, terang Wahyudi, hanya berdasarkan Islam.
Maka apabila ada pihak yang memang ingin membandingkan, terlebih membenturkan, khilafah dengan Pancasila yang karena itu lalu menganggap khilafah adalah sebuah ideologi, Wahyudi menyampaikan, keinginan itu adalah hal yang salah.
"Khilafah itu bukan ideologi. Khilafah itu adalah sistem pemerintahan (berideologi Islam)," jelasnya.
"Kalau dibandingkan sistem khilafah, harusnya membandingkannya dengan sistem pemerintahan yang lain. Apakah itu otokrasi maupun demokrasi," sambungnya.
Dengan demikian, ia menekankan, apabila masih ada seorang pejabat publik mengatakan khilafah adalah ideologi, sekali lagi itu termasuk kekeliruan fatal. "Kalau level pejabat saja belum bisa membedakan antara sistem pemerintahan dan ideologi, apalagi masyarakatnya yang lain," pungkasnya. []Zainul Krian