Telur Asin atau Moderasi? - Tinta Media

Senin, 18 April 2022

Telur Asin atau Moderasi?



Tinta Media - Apakah Anda suka makan telur? Telur apa yang Anda suka? Kalau saya, sangat suka telur asin. Bagi saya, telor asin itu lauk yang praktis, tetapi memiliki cukup kandungan gizi. Apalagi di bulan puasa seperti sekarang ini, telur asin sangat membantu ketika kita terburu-buru untuk makan sahur, karena bangun agak siangan dekat dengan waktu imsak. Coba saja!

Berbicara masalah telur asin, saya jadi ingat kata toleransi yang sering diucapkan belakangan ini. 

Toleransi digambarkan sebagai konsep modern tentang adanya sikap saling hormat-menghormati dan  bekerja sama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda suku bangsa, bahasa, dan agama, dan berbagai perbedaan lainnya. Sepertinya  bagus, bukan? Terbayang suasana bersatunya umat manusia dalam perbedaan (unity in diversity) yang penuh kedamaian.

Namun demikian, wacana toleransi yang diarusutamakan untuk menyukseskan opini moderasi saat ini bukanlah agar anggota masyarakat saling menghormati dan bekerja sama, tetapi memiliki tujuan lain, yaitu pluralisasi. Wacana ini memiliki goal setting agar manusia memiliki pandangan yang menganggap bahwa semua agama itu sama. Lucunya adalah bahwa manusia yang dimaksud di sini adalah umat Islam, agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia.

Oleh karenanya, sebagai obyek moderasi atau pendangkalan agama, umat Islam diharapkan mau menganggap bahwa agama lain itu sama-sama benarnya dengan Islam. Tidak boleh bagi umat Islam mengklaim kebenaran, bahkan menyebut kata kafir bagi agama lain yang dianggap sebagai ujaran kebencian. Sementara itu, upaya penganut agama lain untuk semakin memperkuat ajaran agamanya diberikan ruang yang sangat besar.

Apabila kita perhatikan, praktik toleransi yang sedang di opinikan di Indonesia sesungguhnya adalah sinkretisme agama. Bagaimana tidak, salawat yang dilakukan di gereja misalnya tentu menjadikan missa suci bagi umat Nasrani tercampuri ibadah agama lain yang tidak semisi. Azan dan bacaan Al Qur'an yang dikumandangkan oleh mereka tentu juga tidak dianggap suci oleh umat Islam, karena mereka belum bersyahadat. Pemaksaan toleransi seperti ini sejatinya adalah sinkretisme atau pembentukan agama baru hasil dari penggabungan beberapa agama.

Sebenarnya, ketika umat agama lain menyadari bahwa mereka juga sedang dijadikan alat untuk sebuah agenda besar sekularisasi, mereka tidak akan terlalu bergembira dengan ruang yang seolah-olah diberikan oleh para penguasa dunia bagi perkembangan ajaran agamanya.

Coba kita perhatikan, sekulerisasi sesungguhnya adalah upaya untuk menjauhkan agama dari kehidupan yang terjadi di Eropa pada abad pertengahan. Agama yang pertama kali dijadikan obyek sekularisasi adalah Kristen sebagai agama terbesar saat itu. Hasilnya, saat ini umat Kristen menjadi sangat sekuler. Generasi mudanya bahkan sebagian besar menjadi penganut agnotis, bahkan atheis. Gereja-gereja banyak yang kosong, kemudian dijual dan dipergunakan sebagai masjid atau pertokoan. Hal ini tentu bisa dianggap sebagai kemunduran.

Nah, ketika saat ini ada agenda global moderasi-sekularisasi melalui isu-isu pluralisasi dan toleransi pada umat Islam di Indonesia dan di seluruh dunia, maka sejatinya ini adalah agenda yang sama yang telah lebih dahulu menjadikan mereka sebagai objeknya. Hal ini seharusnya bukanlah kabar gembira, tetapi justru harus membuat mereka lebih waspada. Ini karena agenda sekularisasi dunia bertujuan untuk menghapuskan semua agama, termasuk agama mereka.

Ketika toleransi beragama diopinikan sebagai konsep modern dan yang tidak mau disebut sebagai terbelakang, sebenarnya hal itu sangat beralasan. Bangsa Eropa sebelum masuknya Islam ke sana tidak pernah mengenal apa yang disebut dengan toleransi beragama. Maka, sebenarnya mereka sedang mengakui bahwa sebelum dicerahkan oleh Islam, mereka sangat terbelakang dalam semua aspek, termasuk tentang toleransi.

Contoh toleransi yang sesungguhnya adalah dalam kehidupan Islam. Saat itu, tiga agama samawi bisa hidup bersama dan bekerja sama dalam ruang sosial. Contohnya adalah di Syam, Al Quds, misalnya. Sebelum ditaklukan oleh Umar bin Khattab dan selanjutnya oleh Salahuddin Al Ayyubi, tidak pernah sebelumnya mengetahui apa itu toleransi. Namun, setelah mereka berada dalam kehidupan Islam, barulah mereka paham bahwa Islam menghormati agama lain dan penguasanya tidak memaksakan mereka untuk berpindah agama.

Di dalam Islam, semua warga negara memiliki hak yang sama, termasuk juga menjalankan agama sesuai dengan ajarannya. Tidak ada paksaan untuk memeluk Islam. Umat beragama lain yang berbondong-bondong masuk Islam itu dikarenakan tercerahkan oleh keluhuran ajaran Islam dan akhlak yang terpancar dari pemeluk Islam itu sendiri, sama sekali tanpa paksaan.

Oleh karena itu, wacana toleransi sesungguhnya tidak muncul dengan sendirinya, apalagi menjadi salah satu tafsiran agama. Wacana ini justru muncul dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dulu awalnya adalah Liga Bangsa-Bangsa, sebuah organisasi yang dibentuk untuk mencegah khilafah tegak kembali. Tujuannya tentu saja agar umat Islam hancur dari sisi akidah dan pelaksanaan syariatnya, sehingga mereka bisa menguasai Islam sepenuhnya, dan menguasai dunia.

Islam memandang pluralitas dan menjalankan toleransi dengan sempurna, tetapi tidak mengenal pluralisme maupun sinkretisme. Hal ini karena Islam adalah agama yang diturunkan di akhir zaman, yang sudah disempurnakan dari agama sebelumnya dan berfungsi sebagai petunjuk dan penjelas bagi keselamatan hidup manusia di dunia.

Kalau masalah telur asin, saya suka yang asinnya moderat saja, tidak terlalu tawar, tetapi juga tidak terlalu asin, yang sedang-sedang saja. Akan tetapi, terkait masalah Islam, saya ingin hidup dengan menjalankan Islam secara kaafah. Bahkan, saya ingin menjadi benteng penjaga Islam yang amanah agar bisa bersama-sama umat Islam seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam yang diatur dengan syari'ah dalam bingkai institusi legal formalnya, yaitu khilafah 'ala minhajin nubuwwah tsaniyyah. Dengan itu, Islam kembali terbukti menjadi Rahmah bagi seluruh alam. Wallahu a'lam bishshawwab.

Oleh: Trisyuono Donapaste
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :