Tinta Media - Belakangan ini pernyataan dari salah satu menteri yaitu Menkopolhukam Mahfud MD menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, mulai dari ulama, kyai, tokoh beragama, ataupun masyarakat umum. Mahfud MD menyatakan bahwasannya mendirikan negara berdasarkan sistem yang dibangun Nabi ialah haram dan dilarang. Tentu pernyataan ini menjadi kontroversial di kalangan masyarakat.
Menurut Mahfud MD, mendirikan negara dengan sistem seperti yang Nabi dirikan sangat mustahil, karena Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir, dan setelah beliau wafat, sudah tidak ada lagi wahyu yang turun dan sunnah yang bisa menjadi produk legislasi. Jadi, kita tidak bisa mendirikan sistem bernegara seperti yang diselenggarakan oleh Nabi (suara.com, 16/04/2022).
Pernyataan menkopolhukam ini semakin menegaskan bahwasannya negara ingin memisahkan aturan kehidupan dengan aturan agama. Dalam sistem kapitalis-sekuler seperti saat ini, sebenarnya pernyataan di atas tidak mengagetkan, karena pada fakta yang sudah berjalan, negara membuat aturan disesuaikan dengan kebutuhan saat aturan dibuat. Tentunya hal ini memberikan keuntungan bagi negara atau corporate, tidak mempertimbangkan aturan yang ditetapkan agama.
Apa jadinya sebuah negara jika aturan sekuler-kapitalis terus diterapkan dalam kehidupan bernegara? Saat ini saja, masalah-masalah dalam negara semakin bertambah. Yang mendapat dampak buruk pasti masyarakat.
Sebagai masyarakat, munculnya pandangan tentang haramnya negara dengan sistem yang dibangun Nabi dari menkopolhukam ini, tidak bisa serta-merta kita terima tanpa mencari tahu ilmunya terlebih dahulu. Hendaknya kita mencari dasar ilmunya terlebih dahulu dari seseorang yang memang dalam bidangnya, tentunya dibuktikan dengan dalil-dalil yang sahih.
Sebagai muslim, kita tentu meyakini bahwa Nabi Muhammad saw merupakan Nabi terakhir, sehingga wahyu dari Allah tidak akan turun setelahnya. Namun yang harus kita pahami, wahyu tersebut kini sudah terbukukan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sehingga, walaupun Nabi telah wafat, bukan berarti umat setelahnya tidak mendapatkan aturan dan bimbingan dari beliau, melainkan tetap mendapatkan aturan yang harus ditaati dan semuanya terdapat dalam Al Qur’an dan As-Sunnah.
Rasulullah saw. sudah berpesan kepada umatnya terkait sesuatu yang menjadi pedoman bagi umat Islam setelah beliau wafat. Pada zaman seperti saat ini, bukan berarti aturan tersebut tidak bisa diterapkan, melainkan melalui ijtihad-ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunah, sehingga aturan yang dikeluarkan tidak bertentangan dengan agama.
Selain itu, apabila sistem yang dibangun Nabi memamg haram diterapkan setelah beliau wafat, maka tidak mungkin ada zaman kepemimpinan dari sahabat Nabi, seperti Abu Bakar, Umar Bin Khattab dan lain sebagainya.
Sebaliknya, sistem negara khilafah justru wajib untuk diterapkan dalam bernegara.
Rasulullah saw. bersabda, yang artinya:
”… Sesungguhnya barang siapa yang hidup di antara kamu dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnahku, dan juga sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi gerahammu…” (HR Abu Dawud no. 4607; Tirmidzi no. 2676; Ibnu Majah no. 42; Ahmad no. 17184; Al Hakim 1/176, hadis sahih)."
Syekh Abdullah Ad Dumaiji menjelaskan bahwa hadis tersebut menunjukkan wajibnya meneladani sunnah (thatiqah/jalan) Khulafaur Rasyidin.
Di antara sunnah mereka adalah mengangkat seorang khalifah, sebagaimana diriwayatkan secara mutawatir bahwa para sahabat telah membaiat Abu Bakar sebagai khalifah setelah wafatnya Rasulullah saw. (Abdullah Ad Dumaiji, Al Imâmah Al ‘Uzhmâ, hlm. 51-52).
Apabila kita menengok pada zaman kekhalifahan dulu, akan kita dapati bahwa dengan diterapkan sistem Islam dalam bernegara, justru negara berada dalam kejayaan, masyarakat hidup sejahtera dan segala masalah yang timbul mendapatkan solusi yang tepat.
Berbeda dengan sistem saat ini, bukannya masalah tuntas, tetapi malah menimbulkan masalah lainnya. Ini karena Islam tidak hanya mengatur individu saja, melainkan semua aspek ada dalam Islam, seperti dalam bernegara, muamalah, pergaulan, ekonomi dan lain sebagainya. Karena itu, menegakkan negara dengan sistem Islam (negara Khilafah) wajib hukumnya.
Imam Al Qurtubi (w. 671 H) dalam Al Jami’ li Ahkamil Qur`an, Juz 1 hlm. 264, menjelaskan bahwa yang menolak khilafah adalah orang yang tuli (bodoh) dari syariat Islam. Beliau berkata bahwa tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya hal itu (mengangkat khalifah) di antara umat dan para imam [mahzab], kecuali apa yang diriwayatkan dari Al Ashan, yang dia itu memang 'asham' (tuli) dari syariat. Demikian pula setiap orang yang berkata dengan perkataannya serta mengikutinya dalam pendapat dan mahzabnya.
Karena itu, sudah seharusnya kita sebagai muslim mencari kebenaran terlebih dahulu sebelum menerima pandangan dari orang lain.
Wallahua'lam bishawab.
Oleh: Unix Yulia
Komunitas Menulis Setajam Pena
Menurut Mahfud MD, mendirikan negara dengan sistem seperti yang Nabi dirikan sangat mustahil, karena Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir, dan setelah beliau wafat, sudah tidak ada lagi wahyu yang turun dan sunnah yang bisa menjadi produk legislasi. Jadi, kita tidak bisa mendirikan sistem bernegara seperti yang diselenggarakan oleh Nabi (suara.com, 16/04/2022).
Pernyataan menkopolhukam ini semakin menegaskan bahwasannya negara ingin memisahkan aturan kehidupan dengan aturan agama. Dalam sistem kapitalis-sekuler seperti saat ini, sebenarnya pernyataan di atas tidak mengagetkan, karena pada fakta yang sudah berjalan, negara membuat aturan disesuaikan dengan kebutuhan saat aturan dibuat. Tentunya hal ini memberikan keuntungan bagi negara atau corporate, tidak mempertimbangkan aturan yang ditetapkan agama.
Apa jadinya sebuah negara jika aturan sekuler-kapitalis terus diterapkan dalam kehidupan bernegara? Saat ini saja, masalah-masalah dalam negara semakin bertambah. Yang mendapat dampak buruk pasti masyarakat.
Sebagai masyarakat, munculnya pandangan tentang haramnya negara dengan sistem yang dibangun Nabi dari menkopolhukam ini, tidak bisa serta-merta kita terima tanpa mencari tahu ilmunya terlebih dahulu. Hendaknya kita mencari dasar ilmunya terlebih dahulu dari seseorang yang memang dalam bidangnya, tentunya dibuktikan dengan dalil-dalil yang sahih.
Sebagai muslim, kita tentu meyakini bahwa Nabi Muhammad saw merupakan Nabi terakhir, sehingga wahyu dari Allah tidak akan turun setelahnya. Namun yang harus kita pahami, wahyu tersebut kini sudah terbukukan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sehingga, walaupun Nabi telah wafat, bukan berarti umat setelahnya tidak mendapatkan aturan dan bimbingan dari beliau, melainkan tetap mendapatkan aturan yang harus ditaati dan semuanya terdapat dalam Al Qur’an dan As-Sunnah.
Rasulullah saw. sudah berpesan kepada umatnya terkait sesuatu yang menjadi pedoman bagi umat Islam setelah beliau wafat. Pada zaman seperti saat ini, bukan berarti aturan tersebut tidak bisa diterapkan, melainkan melalui ijtihad-ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunah, sehingga aturan yang dikeluarkan tidak bertentangan dengan agama.
Selain itu, apabila sistem yang dibangun Nabi memamg haram diterapkan setelah beliau wafat, maka tidak mungkin ada zaman kepemimpinan dari sahabat Nabi, seperti Abu Bakar, Umar Bin Khattab dan lain sebagainya.
Sebaliknya, sistem negara khilafah justru wajib untuk diterapkan dalam bernegara.
Rasulullah saw. bersabda, yang artinya:
”… Sesungguhnya barang siapa yang hidup di antara kamu dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnahku, dan juga sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi gerahammu…” (HR Abu Dawud no. 4607; Tirmidzi no. 2676; Ibnu Majah no. 42; Ahmad no. 17184; Al Hakim 1/176, hadis sahih)."
Syekh Abdullah Ad Dumaiji menjelaskan bahwa hadis tersebut menunjukkan wajibnya meneladani sunnah (thatiqah/jalan) Khulafaur Rasyidin.
Di antara sunnah mereka adalah mengangkat seorang khalifah, sebagaimana diriwayatkan secara mutawatir bahwa para sahabat telah membaiat Abu Bakar sebagai khalifah setelah wafatnya Rasulullah saw. (Abdullah Ad Dumaiji, Al Imâmah Al ‘Uzhmâ, hlm. 51-52).
Apabila kita menengok pada zaman kekhalifahan dulu, akan kita dapati bahwa dengan diterapkan sistem Islam dalam bernegara, justru negara berada dalam kejayaan, masyarakat hidup sejahtera dan segala masalah yang timbul mendapatkan solusi yang tepat.
Berbeda dengan sistem saat ini, bukannya masalah tuntas, tetapi malah menimbulkan masalah lainnya. Ini karena Islam tidak hanya mengatur individu saja, melainkan semua aspek ada dalam Islam, seperti dalam bernegara, muamalah, pergaulan, ekonomi dan lain sebagainya. Karena itu, menegakkan negara dengan sistem Islam (negara Khilafah) wajib hukumnya.
Imam Al Qurtubi (w. 671 H) dalam Al Jami’ li Ahkamil Qur`an, Juz 1 hlm. 264, menjelaskan bahwa yang menolak khilafah adalah orang yang tuli (bodoh) dari syariat Islam. Beliau berkata bahwa tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya hal itu (mengangkat khalifah) di antara umat dan para imam [mahzab], kecuali apa yang diriwayatkan dari Al Ashan, yang dia itu memang 'asham' (tuli) dari syariat. Demikian pula setiap orang yang berkata dengan perkataannya serta mengikutinya dalam pendapat dan mahzabnya.
Karena itu, sudah seharusnya kita sebagai muslim mencari kebenaran terlebih dahulu sebelum menerima pandangan dari orang lain.
Wallahua'lam bishawab.
Oleh: Unix Yulia
Komunitas Menulis Setajam Pena