Semakin Sengsara dengan Lonjakan PPN - Tinta Media

Sabtu, 09 April 2022

Semakin Sengsara dengan Lonjakan PPN

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1yPTSd-ZDifyK_ettH_VoW0N1qzyLA_82

Tinta Media - Sebagaimana dilansir dari CNB Indonesia, Jum'at (25/03/2022), bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan diberlakukan pada 1 April 2022. Kebijakan yang diputuskan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut tidak akan ditunda meski banyak penolakan. Sementara itu di satu sisi, pajak penghasilan badan diturunkan.

Bukanlah suatu hal yang mengherankan jika kebijakan kontroversial ini mendapat resistensi besar dari masyarakat. Penolakan tersebut karena tidak ada unsur keadilan yang selama ini selalu didengung-dengungkan Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beserta jajarannya.

Aroma ketidakadilan tersebut antara lain terasa ketika Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikenakan pada konsumen akhir dalam hal ini rakyat jelata naik menjadi 11% dari sebelumnya 10%. Namun, di saat yang sama pajak penghasilan (PPH) yang dikenakan kepada perusahaan diturunkan dari 25% menjadi 22%. Bahkan sebelumnya sempat direncanakan 20%, tetapi akhirnya di batalkan.

Indonesia menjadi bagian dari Presidensi G20 mulai sejak 1/12/2021 hingga 30/10/2022. Pajak juga menjadi momentum bahwa Presidensi G20 seolah perlu dioptimalkan agar posisi Indonesia dalam kerja sama perdagangan dan investasi bisa lebih memiliki magnet yang lebih.

Setelah pandemi Covid-19, negara anggota G20 sepakat melakukan perombakan ulang mekanisme fiskal dan moneter. Akan tetapi, Indonesia sebagai negara berkembang seharusnya sadar diri agar efek normalisasi ini tidak merugikan rakyat.

Alasan pemerintah tentang perbandingan dengan negara tetangga maupun negara G20, memang jika dibandingkan dengan negara G20, tarif PPN Indonesia lebih rendah
Namun, seharusnya juga dilihat dari pendapatan negara tersebut. Pendapatan masyarakat Indonesia belum cukup tinggi dibandingkan dengan negara Amerika Serikat (AS) atau negara-negara maju lainnya di G20. Dengan Malaysia saja bahkan tidak bisa dibandingkan, masih tertinggal.

Kebijakan pemerintah dengan paradigma kapitalis liberal jelas selalu berpihak pada para kapital. Pemalakan harta rakyat dengan legalitas pajak dianggap sebagai bentuk kewajiban dan ketaatan warga kepada pemerintah.

Rakyat yang menjadi wajib pajak dituntut untuk membayar pajak tepat waktu. Jika terlambat, maka akan terhitung utang dan dikenakan denda. Selain itu. pajak juga dipungut tanpa ada batas waktu.

Hal tersebut jelas merupakan pungutan yang batil dan pasti bertentangan dengan Islam.

Negara dengan sistem kapitalis memang menjadikan pajak yang zalim sebagai sumber tetap pemasukan negara.

Ini berbeda dengan Syariah Islam. Sumber tetap pemasukan negara berasal dari harta _fa’i, jizyah, kharaj,_ seperlima harta _rikaz_ dan _zakat._ Seluruh pemasukan ini dipungut secara tetap, baik diperlukan atau tidak. Selain itu, terdapat sumber pendapatan lain yang disimpan di _Baitul Maal_, yaitu dari harta kepemilikan umum atau kepemilikan negara.

Anggaran pendapatan tersebut akan disimpan di _Baitul Maal._ Adapun pengelolaannya, diserahkan kepada orang-orang yang amanah, maka sedikit kemungkinan terjadi manipulasi.

Dengan seluruh sumber pendapatan tersebut dan pengelolaan yang baik, maka negara mampu menyejahterakan dan membiayai keperluan rakyat.

Jika pemasukan masih tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, maka negara akan memberlakukan pemungutan pajak. Namun, ini hanya diberlakukan sewaktu-waktu dan hanya dibebankan pada kaum muslimin yang memiliki kekayaan banyak.

Akan tetapi, jika pemasukan negara yang bersifat tetap tersebut sudah memenuhi kebutuhan pembiayaan negara, maka pajak tidak akan dipungut. Dengan demikian, pajak dalam sistem Islam bukan menjadi sumber penerimaan utama kas negara yang menjadi beban rakyat.

Pajak dalam syariat Islam adalah pungutan sementara yang dilakukan oleh negara ketika kas _baitul maal_ mengalami kekosongan atau kekurangan. Dengan begitu, kebijakan pendapatan negara tidak akan membebani rakyat.

Pajak bersifat mendadak. Pajak hanya ditarik saat _Baitul Maal_ kosong, sedangkan ada kewajiban negara yang harus terpenuhi. Peruntukannya juga hanya untuk kalangan tertentu, yakni _aghniya_ atau orang yang memiliki kelebihan harta.

Tidak semua rakyat dikenakan pajak. Pajak juga tidak diambil secara terus-menerus. Ketika kebutuhan negara  terpenuhi, penarikan pajak pun  akan dihentikan.

Apabila seluruh aspek perekonomian negara berjalan di atas pondasi sistem ekonomi Islam, mekanisme pajak tidaklah akan membebani rakyat seperti saat ini. Negara akan menjalankan fungsinya sebagai pelayan umat sehingga motif utama negara adalah mengupayakan agar hajat hidup umat terpenuhi.

Ini semua tidak akan terwujud kecuali dengan sistem Islam yang diterapkan secara menyeluruh, sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Muhammad saw. dan dilanjutkan oleh para sahabat dan generasi kaum muslimin terdahulu.

Wallahu ta'ala a'lam

Oleh: Fastaghfiru Ilallah
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :