Tinta Media - Rencana Pemerintah untuk menaikkan harga empat komoditas yakni pertalite, solar, LPG 3 kg serta tarif dasar listrik, dinilai Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Tranparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak sebagai salah kebijakan.
“Apa yang akan dilakukan oleh pemerintah untuk menyesuaikan harga empat komoditas dengan alasan memperbaiki perekonomian nasional, saya kira salah kebijakan kalau strateginya menaikkan harga,” tuturnya dalam acara Kabar Petang: Kebijakan Pemerintah Menyengsarakan Rakyat? Selasa (19/4/2022) melalui kanal Youtube Khilafah Channel Reborn.
Menurut Ishak yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana mendorong agar produksi empat komoditas itu bisa lebih efisien yaitu dengan meningkatkan pasokan domestik dan mengurangi ketegangan dengan impor untuk BBM. Sementara untuk listrik, dengan memperbaiki struktur pengelolaan PLN.
“Jadi itu yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah yaitu melakukan perubahan-perubahan divisi internal, baik itu Pertamina ataupun PLN. Bukan memperbaiki hilirnya. Kalau memperbaiki hilir gampang, semua orang bisa. Dampak kenaikan harga terhadap ekonomi, saya kira ini akan memperburuk perekonomian Indonesia di masa yang akan datang,” tegasnya.
Dampak buruk itu, dinilai Ishak akan membebani rakyat yang semakin susah. Sekarang ini rakyat masih kesulitan untuk recovery dari pandemi. Banyak sektor usaha yang masih tutup. Mungkin ada yang baru mulai lagi setelah PPKM dikurangi. Pada saat yang sama mereka menanggung utang yang sangat berat. Karena restrukturisasi utang itu kan hanya untuk pengusaha kelas menengah ke atas. Pengusaha menengah ke bawah yang masuk dalam kelompok UMKM ini tidak banyak mendapatkan bantuan dari pemerintah.
“Kalau empat komoditas ini dinaikkan maka dipastikan jumlah penderitaan yang dirasakan oleh rakyat banyak, oleh para pengusaha UMKM, rumah tangga miskin atau hampir miskin akan semakin kesulitan,” ungkapnya.
“Jadi sekali lagi saya ingin tegaskan bahwa persoalannya itu bukan dengan menaikkan harga tapi memperbaiki produksi,” tegasnya.
Ishak menilai liberalisasi ekonomi menyebabkan 4 komoditas diatas dikuasai oleh swasta dan asing serta diperlakukan sebagai komoditas bisnis. Dijual jauh di atas harga produksi. Padahal di sisi hulu biaya produksinya itu relatif sama. Kalau mengacu pada salah satu studi, biaya produksi minyak indonesia itu sekitar 20 dolar per barel, sementara harga minyak internasional 113 dolar perbarel. Artinya keuntungannya memang luar biasa besar.
“Tapi karena pengelolaannya diperlakukan sebagai barang bisnis sehingga pemerintah termasuk pertamina merasa rugi kalau harganya tidak dijual sesuai dengan harga pasar. Beginilah kalau perspektif pendekatan tidak dikelola berdasar prinsip kemaslahatan rakyat,” sesalnya.
Menurut Ishak, masalah ini bisa diselesaikan jika komoditas tersebut dikuasai dan dikelola oleh pemerintah sehingga pemerintah memegang kontrol penuh. “Bagaimana agar komoditas-komoditas strategis yang sangat menguasai hajat hidup orang banyak itu betul-betul supplay dan harganya itu disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi masyarakat. Jadi tidak dibiarkan berfluktuasi mengikuti harga internasional,” tukasnya.
Berikutnya, lanjut Ishak, bagaimana pemerintah mendorong peningkatan produksi domestik. Pemerintah harus mensupport Pertamina lebih besar lagi dengan membangun kilang minyak agar mampu meningkatkan produksi migas domestik sehingga ketergantungan pada impor bisa dikurangi.
“Jadi pertama, meningkatkan produksi domestik, yang kedua, memperbaiki kilang Pertamina,” simpulnya.
Menurut Ishak, meski membangun kilang Pertamina ini butuh biaya besar tetap bisa diupayakan jika pemerintah mau menghentikan proyek-proyek yang tidak strategis seperti IKN atau infrastruktur yang tidak berpihak pada rakyat.
Ia juga menyampaikan bahwa pengelolaan BBM termasuk listrik dengan prespektif kapitalislah yang memunculkan banyak masalah. “Kalau dalam pandangan Islam migas dan sejenisnya harus dikelola oleh negara tidak boleh diserahkan pada swasta,” jelasnya.
Menurutnya, kalaupun swasta terlibat hanya sebatas dibayar untuk melakukan eksplorasi, survei dan seterusnya. Tidak seperti saat ini, bagi hasil yang bahkan bagian swasta lebih besar dari pemerintah.
Dalam perspektif Islam, lanjutnya, migas harus dikelola sepenuhnya oleh negara. Dan harga dari sisi hilir diserahkan kepada ijtihad khalifah dengan harga yang bisa ditanggung oleh masyarakat, tidak harus mengikuti harga pasar seperti saat ini.
“Intinya dalam Islam tidak boleh ada liberalisasi pengelolaan sumber daya alam,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun