Tinta Media - Rencana Pemerintah menaikkan perlalite dan gas elpiji Juli mendatang, dinilai anggota Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Dr. R. Deni M. Danial M.M. menyesakkan dada masyarakat.
“Terkait dengan rencana kenaikan harga pertalite dan elpiji itu tentu menyesakkan dada kita. Karena kaitannya dengan hajat hidup orang banyak .Masyarakat tidak akan pernah lepas dari yang namanya energi apakah itu minyak bumi ataupun gas. itu semuanya dipakai dalam keseharian,” tuturnya dalam acara Kabar Petang: Harga Pertalite dan Elpiji Naik! Rabu (6/4/2022) melalui Kanal Youtube Khilafah News.
Berkaca pada dampak kenaikan elpiji pada 2011, Deni memperkirakan rencana kenaikan saat ini pun akan berdampak kurang lebih sama. “Yaitu akan menghambat pertumbuhan ekonomi, menimbulkan inflasi, kenaikan harga-harga barang serta menambah angka kemiskinan,” ujarnya.
Deni mengungkap alasan rencana pemerintah menaikkan harga. “Harga pertalite yang ada sekarang sudah tidak sesuai dengan harga keekonomian. Sementara untuk gas melon sejak 2007 belum mengalami kenaikan, sehingga sudah waktunya untuk dinaikkan,” bebernya.
Yang perlu dikritisi, menurut Deni adalah harga keekonomian. “Kenapa Indonesia mengikuti harga keekonomian yang penetapannya mengacu pada ketetapan harga perusahaan minyak Amerika (McGraw Hill) yang justru sangat membebani rakyat?” tanyanya.
Dari sisi kecukupan ketersediaan pasokan, Deni mengatakan bahwa untuk minyak Indonesia terpaksa impor. “Indonesia, urutan ke-22 penghasil minyak bumi yang itu bisa menghasilkan kurang lebih 900.000 barel per hari. Sedangkan kebutuhan domestik 1,4 juta barel per hari. Oleh karena itu kita terpaksa harus impor . Sedangkan untuk gas urutan ke-13. Dan kebutuhan Indonesia untuk gas 50 miliar M3 yang tentu kita masih memiliki sisa sehingga tidak perlu impor,” ungkapnya.
Tidak mandiri
Dari sisi pendapatan negara, Deni mengatakan bahwa pendapatan negara dari sumber daya alam itu sekitar 5 – 6%. Itu karena Indonesia menyerahkan pengelolaan sumber daya alam pada Asing.
“Tetapi kalau kita bisa mengurus sendiri secara mandiri sebenarnya kita bisa menghasilkan sampai 10 kali lipat. Mungkin kita akan mendapatkan pendapatan lebih dari 60%,”bebernya.
Dengan pengelolaan sumber daya alam mandiri pajak bisa lepas. “Pajak menjadi tidak perlu karena cukup dengan pengelolaan sumber daya alam saja. Inilah yang menjadikan rakyat Indonesia harus membayar mahal. Mengapa? Karena pengelolaan sumber daya alamnya bukan oleh Indonesia secara mandiri,” tegasnya.
Terkait ketidakmandirian itu, lanjutnya, BPPT sendiri sudah mengakui bahwa untuk eksplorasi eksploitasi migas ini memang belum mandiri.
Menyikapi hal ini, Deni mengutip pendapat pengamat migas Qurthubi. “Indonesia itu punya pasal 33 Undang-Undang 1945 yang menyebutkan bahwa hanya negara yang berhak untuk mengelola semua SDA ini termasuk migas. Memang enggak masalah menggandeng Asing. Tujuannya untuk membantu Indonesia sebelum mampu dalam permodalan dan teknologi .Tapi kalau keterusan hingga saat ini, ini yang menjadi masalah,” kutip Deni dari pendapat Qurthubi.
Deni mencontohkan, bagaimana ketidakmandirian ini. Indonesia menjual minyak mentah ke Singapura. Setelah minyak diolah di Singapura, dibeli lagi oleh Indonesia dengan harga 10 kali lipat harga jualnya dulu. “Untuk minyak saja kita tergantung pada Singapura,” kesalnya.
“Belum lagi tiga perusahaan besar Amerika yang bercokol dan mengeruk sumber daya alam Indonesia,”sesalnya.
Untuk keluar dari ketergantungan ini Deni menyarankan, agar pengelolaan sumber daya alam dikelola sesuai tuntunan syariah.
“Memperjualbelikan energi migas milik rakyat itu sebuah keharaman. Negara harus bertanggung jawab mengolah secara mandiri untuk kepentingan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kalau pun menjual, bukan menjual barangnya karena haram, tapi mengganti biaya produksi saja,” sarannya.
“Kalau Indonesia diatur dengan khilafah, sumber daya alam migas yang besar ini bisa menutup 60% APBN, dan saya yakin pajak akan dihilangkan,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun