Tinta Media - Rasulullah bersabda :
Puasa itu adalah perisai. Dan jika telah tiba hari berpuasa siapapun dari kalian, maka hendaklah ia tidak melakukan rofats, tidak melakukan sakhob. Dan jika ada seseorang yg mencacinya hendaklah ia berkata : Aku sedang berpuasa. (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam hadits ini Rasulullah saw menjelaskan hakikat Puasa, yaitu perisai atau benteng. Maksudnya Puasa adalah benteng dari maksiat, benteng dari dosa. Itulah hakikat Puasa. Puasa bukan sekedar menahan dari makan, minum dan syahwat. Puasa adalah benteng kita dari maksiat. Baik maksiat hati, maksiat lisan, maksiat mata, maksiat telinga, maupun maksiat seluruh anggota badan.
Maksiat adalah lawan dari taat, atau bisa juga dimaknai dosa dan segala bentuk penyimpangan dari perinta Allah. Maksiat kepada Allah artinya menentang perintah Allah dengan meninggalkan perintah dan menjalankan larangan Allah SWT. Maksiat terbesar dalam hidup ini adalah menentang aturan Allah SWT . Menolak syariat Allah SWT.
Dengan demikian orang yang berpuasa akan selalu tunduk patuh kepada Allah SWT, akan selalu taat kepada Allah SWT secara mutlak, menjalankan hukum-hukum-hukum-Nya.
Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW menjelaskan contoh konsekuensi dari puasa sebagai perisai.
Pertama: Falaa Yarfuts. Janganlah ia melakukan Rofats. Apa itu Rofats?. Rofats adalah mengatakan kata-kata kotor dan melakukan perbuatan kotor, termasuk di dalamnya kata-kata dan perbuatan jorok dan seronok. Orang yang berpuasa akan selalu menjaga kesucian lisan dan perbuatannya, sehingga terhindar dari perkataan dan perbuatan kotor, jorok, nista dan dosa. Dari mulut dan anggota tubuh orang yang berpuasa akan keluar ucapan dan prilaku yang baik dan indah.
Kedua, wala yashkhob, artinya janganlah ia berteriak-teriak ketika berpuasa. Maksudnya jangan bertengkar dan berselisih sehingga berteriak mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas.
Orang yang berpuasa hakikatnya sedang belajar mengendalikan diri, menahan diri dari perselisihan. Sehingga berpuasa sejatinya melahirkan kedamaian, ketenangan dan ketentraman dalam hubungan sosial.
Kalau hari ini kita melihat ada kejadian dan perselisihan dalam kehidupan publik, atau di antara para politisi misalnya, padahal mereka sedang berpuasa, itu berarti puasanya belum sampai pada hakikat. Puasanya masih kulit belum sampai pada inti dari puasa, yaitu tidak menyebar perselisihan,kegaduhan dan provokasi di antara sesama.
Ketiga, jika ada orang yang mencaci, memaki dan memancing emosi, Rasulullah memerintahkan orang yang berpuasa untuk mengatakan : “Aku sedang berpuasa”.
Maksudnya orang yang berpuasa akan selalu menahan diri dari mengumbar emosi, dia akan bersabar untuk tidak membalas siapa saja yang menyakiti, dia akan bersabar menahan amarah. Puasa akan membentengi kita dari bersikap rekatif tanpa berpikir. Puasa adalah latihan menahan emosi dan mengendalikan diri. Dengan begitu orang yang berpuasa pada hakikatnya sedang ditraining untuk menjadi manusia hebat dan kuat.
Rasulullah SAW bersabda : Orang kuat (baca; gagah perkasa) bukanlah dengan mengalahkan musuh saat bertarung. Melainkan orang yang mampu menguasai dirinya saat ,marah. (HR. Bukhari-Muslim)
Sungguh indah jika kita bisa merealisasikan prinsif agung dari puasa ini. Kehidupan kita akan bersih dari kegaduhan,perselisihan karena hawa nafsu dan kepentingan dunia. Kehidupan akan dihiasi dengan ketaatan yang melahirkan kedamaian dan kententraman.
Dari perespektif ini puasa adalah salah satu wasilah melahirkan kehidupan yang diidamkan oleh semua orang. Masyarakat yang berpuasa akan mengiasi segala interaksinya dengan taat, tunduk dan patuh pada hukum Allah, jauh dari kegaduhan, perselisihan, pertengkaran dan perpecahan. Dari pribadi-prbadi yang bertaqwa ini akan lahirlah ketakwaan yang bukan sekedar ketakwaan individu tapi juga ketakwaan komunal, ketakwaan kolektif. Ketakwaan kolektif yang mewujud dalam ketundukan bersama pada wahyu menjauhi tuntuntan nafsu.
Akhirnya apa yang Allah tuturkan dalam al-Qur’an tentang penduduk yang bertakwa yang penuh dengan keberkahan -pun Insya Allah menjadi kenyataan.
Allah berfirman : Andaikata penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, maka kami pasti akan membukakan kepada mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. QS. Al-A’raf : 96.
Ya Allah jadikan puasa kami menjadi perisai dari maksiat dan dosa, sehingga kehidupan kami dipenuhi dengan ketaatan pada Syariat-Mu yang agung.
Oleh: H Yasin Muthohar
Mudir Ma’had Al-Abqary Serang Banten
Puasa itu adalah perisai. Dan jika telah tiba hari berpuasa siapapun dari kalian, maka hendaklah ia tidak melakukan rofats, tidak melakukan sakhob. Dan jika ada seseorang yg mencacinya hendaklah ia berkata : Aku sedang berpuasa. (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam hadits ini Rasulullah saw menjelaskan hakikat Puasa, yaitu perisai atau benteng. Maksudnya Puasa adalah benteng dari maksiat, benteng dari dosa. Itulah hakikat Puasa. Puasa bukan sekedar menahan dari makan, minum dan syahwat. Puasa adalah benteng kita dari maksiat. Baik maksiat hati, maksiat lisan, maksiat mata, maksiat telinga, maupun maksiat seluruh anggota badan.
Maksiat adalah lawan dari taat, atau bisa juga dimaknai dosa dan segala bentuk penyimpangan dari perinta Allah. Maksiat kepada Allah artinya menentang perintah Allah dengan meninggalkan perintah dan menjalankan larangan Allah SWT. Maksiat terbesar dalam hidup ini adalah menentang aturan Allah SWT . Menolak syariat Allah SWT.
Dengan demikian orang yang berpuasa akan selalu tunduk patuh kepada Allah SWT, akan selalu taat kepada Allah SWT secara mutlak, menjalankan hukum-hukum-hukum-Nya.
Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW menjelaskan contoh konsekuensi dari puasa sebagai perisai.
Pertama: Falaa Yarfuts. Janganlah ia melakukan Rofats. Apa itu Rofats?. Rofats adalah mengatakan kata-kata kotor dan melakukan perbuatan kotor, termasuk di dalamnya kata-kata dan perbuatan jorok dan seronok. Orang yang berpuasa akan selalu menjaga kesucian lisan dan perbuatannya, sehingga terhindar dari perkataan dan perbuatan kotor, jorok, nista dan dosa. Dari mulut dan anggota tubuh orang yang berpuasa akan keluar ucapan dan prilaku yang baik dan indah.
Kedua, wala yashkhob, artinya janganlah ia berteriak-teriak ketika berpuasa. Maksudnya jangan bertengkar dan berselisih sehingga berteriak mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas.
Orang yang berpuasa hakikatnya sedang belajar mengendalikan diri, menahan diri dari perselisihan. Sehingga berpuasa sejatinya melahirkan kedamaian, ketenangan dan ketentraman dalam hubungan sosial.
Kalau hari ini kita melihat ada kejadian dan perselisihan dalam kehidupan publik, atau di antara para politisi misalnya, padahal mereka sedang berpuasa, itu berarti puasanya belum sampai pada hakikat. Puasanya masih kulit belum sampai pada inti dari puasa, yaitu tidak menyebar perselisihan,kegaduhan dan provokasi di antara sesama.
Ketiga, jika ada orang yang mencaci, memaki dan memancing emosi, Rasulullah memerintahkan orang yang berpuasa untuk mengatakan : “Aku sedang berpuasa”.
Maksudnya orang yang berpuasa akan selalu menahan diri dari mengumbar emosi, dia akan bersabar untuk tidak membalas siapa saja yang menyakiti, dia akan bersabar menahan amarah. Puasa akan membentengi kita dari bersikap rekatif tanpa berpikir. Puasa adalah latihan menahan emosi dan mengendalikan diri. Dengan begitu orang yang berpuasa pada hakikatnya sedang ditraining untuk menjadi manusia hebat dan kuat.
Rasulullah SAW bersabda : Orang kuat (baca; gagah perkasa) bukanlah dengan mengalahkan musuh saat bertarung. Melainkan orang yang mampu menguasai dirinya saat ,marah. (HR. Bukhari-Muslim)
Sungguh indah jika kita bisa merealisasikan prinsif agung dari puasa ini. Kehidupan kita akan bersih dari kegaduhan,perselisihan karena hawa nafsu dan kepentingan dunia. Kehidupan akan dihiasi dengan ketaatan yang melahirkan kedamaian dan kententraman.
Dari perespektif ini puasa adalah salah satu wasilah melahirkan kehidupan yang diidamkan oleh semua orang. Masyarakat yang berpuasa akan mengiasi segala interaksinya dengan taat, tunduk dan patuh pada hukum Allah, jauh dari kegaduhan, perselisihan, pertengkaran dan perpecahan. Dari pribadi-prbadi yang bertaqwa ini akan lahirlah ketakwaan yang bukan sekedar ketakwaan individu tapi juga ketakwaan komunal, ketakwaan kolektif. Ketakwaan kolektif yang mewujud dalam ketundukan bersama pada wahyu menjauhi tuntuntan nafsu.
Akhirnya apa yang Allah tuturkan dalam al-Qur’an tentang penduduk yang bertakwa yang penuh dengan keberkahan -pun Insya Allah menjadi kenyataan.
Allah berfirman : Andaikata penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, maka kami pasti akan membukakan kepada mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. QS. Al-A’raf : 96.
Ya Allah jadikan puasa kami menjadi perisai dari maksiat dan dosa, sehingga kehidupan kami dipenuhi dengan ketaatan pada Syariat-Mu yang agung.
Oleh: H Yasin Muthohar
Mudir Ma’had Al-Abqary Serang Banten