Pernyataan ‘Haram Bentuk Negara Seperti yang Dibentuk Nabi’, Bertentangan dengan Al-Qur’an, As Sunnah dan Ulama Aswaja - Tinta Media

Minggu, 10 April 2022

Pernyataan ‘Haram Bentuk Negara Seperti yang Dibentuk Nabi’, Bertentangan dengan Al-Qur’an, As Sunnah dan Ulama Aswaja

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1Ef7LsTJwIB59n4WQ6pbqgFmf7CBKQ0Un

Tinta Media - Pernyataan Prof. Mahfud MDyang menyebut “haram membentuk negara seperti yang dibentuk oleh Nabi”, dinilai Pengamat Politik Luar Negeri Umar Syarifudin bertentangan dengan Al Qur'an, As Sunnah dan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja).

"Pernyataan Prof. Mahfud MD Bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah serta Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja)," tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (8/4/2022).

Menurutnya, mengangkat seorang khalifah adalah kewajiban yang telah disepakati para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Menolak atau mengingkari kewajiban ini sama artinya telah menyimpang dari kesepakatan mereka.

Ia mengutip pendapat Imam Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii yang mengatakan

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِب عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْبُ خَلِيفَةٍ وَوُجُوبُهُ بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ، وَأَمَّا مَا حُكِيَ عَنْ اْلأَصَمّ أَنَّهُ قَالَ: لاَ يَجِبُ، وَعَنْ غَيْرِهِ أَنَّهُ يَجِبُ بِالْعَقْلِ لاَ بِالشَّرْعِ فَبَاطِلاَنِ

"Para ulama sepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah. Kewajiban ini ditetapkan berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal," kutipnya.

Adapun apa yang diriwayatkan dari al-Asham bahwa ia berkata, “Tidak wajib,” juga selain Asham yang menyatakan bahwa mengangkat seorang khalifah wajib namun berdasarkan akal, bukan berdasarkan syariah, maka dua pendapat ini batil (Imam Abu Zakaria an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, VI/291).

Terbalik

Umar memandang, pernyataan haramnya membentuk negara seperti yang dibentuk oleh Nabi, justru terbalik.

"Justru terbalik, mendirikan khilafah termasuk mengangkat seorang Khalifah atau Imam termasuk kewajiban agama yang sangat penting," tandasnya.

Ia mengutip pendapat Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii. "Di dalam kitab Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, menyatakan:

اِعْلَمْ أَيْضًا أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ وَاخْتِلاَفُهُمْ فِي التَّعْيِيْنِ لاَ يَقْدِحُ فِي اْلإِجْمَاعِ الْمَذْكُوْرِ

“Ketahuilah juga sesungguhnya para Sahabat ra. seluruhnya telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan kewajiban tersebut sebagai kewajiban yang paling penting. Sebab, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai siapa yang paling layak menjabat khalifah tidak merusak ijmak mereka tersebut.” (Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, 1/25)," kutipnya.

Fardhu Kifayah

Umar mengatakan, menegakkan Khilafah itu fardhu kifayah, artinya orang yang memiliki kemampuan maupun yang tidak memiliki kemampuan wajib melibatkan diri hingga perkara yang termasuk fardhu kifayah ini terselenggara secara sempurna.

"Hanya saja, orang yang memiliki kemampuan dituntut lebih dibandingkan yang tidak memiliki kemampuan. Bahkan jika diduga kuat kewajiban itu tidak bisa ditunaikan secara sempurna kecuali dengan keterlibatan orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan, maka kewajiban kifayah tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain atas orang-orang itu," tegasnya.

Begitu pula menegakkan Khilafah Islam. Kewajiban ini diduga kuat tidak akan bisa terealisasi kecuali dengan keterlibatan para ulama dan tokoh masyarakat yang memiliki kemampuan. “Atas dasar itu, wajib ‘ain bagi mereka untuk melibatkan diri dalam perjuangan menegakkan Khilafah Islami dalam sebuah partai politik islami yang benar-benar memiliki kemampuan untuk mewujudkan kewajiban tersebut,” ujarnya.

Bentuk Baku Khilafah

Lebih lanjut, Umar menjabarkan tentang bentuk negara atau sistem pemerintahan yang disyariatkan di dalam Islam. "Negara Islam atau Negara Khilafah mempunyai bentuk baku, termasuk dalam masalah suksesi kepemimpinan," tandasnya.

"Dari aspek bentuk negara, sistem pemerintahan dan struktur, negara yang dibangun oleh Nabi saw. dan diwariskan kepada para sahabat juga jelas," lanjutnya.

Menurutnya, negara Khilafah adalah negara kesatuan, bukan federasi atau commenwealth. Ketika wilayah Negara Islam yang dipimpin Nabi saw. telah mencapai seluruh Jazirah Arab, hukum yang diterapkan hanya satu untuk seluruh wilayah. Hal yang sama ketika negara ini dipimpin oleh para sahabat dan para khalifah setelah mereka. Ini berbeda dengan sistem federasi, yang masing-masing wilayah mempunyai hukum yang berbeda. “Khilafah juga bukan commenwealth karena berbagai wilayah yang dibebaskan oleh Khilafah bukan berstatus sebagai koloni, atau bekas koloni,” ungkapnya.

"Sistem pemerintahan yang dianut oleh Negara Khilafah juga bukan republik, monarki, parlementer, demokrasi, teokrasi maupun autokrasi," terangnya.

Menurut Umar, sistem Khilafah dipimpin oleh Khalifah, bukan oleh presiden, sebagaimana sistem republik; tidak dipimpin oleh raja, sebagaimana dalam sistem monarki; juga bukan oleh perdana menteri, sebagaimana dalam sistem parlementer. Kedaulatannya pun di tangan syariah, bukan di tangan manusia, sebagaimana dalam sistem demokrasi.

“Khalifah juga bukan titisan atau wakil Tuhan, maksum, sebagaimana dalam sistem teokrasi. Kekuasaan Khalifah juga terbatas, dibatasi oleh syariah, tidak bersifat mutlak sebagaimana dalam sistem autokrasi dan diktator.,” tandasnya.

Warisan Nabi

Khilafah adalah penerus Negara Islam yang didirikan oleh Nabi SAW. Ini dijelaskan oleh Rasulullah:

تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ…

Akan ada era kenabian di tengah-tengah kalian, atas kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian Dia mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti metode kenabian (HR Ahmad).

"Hadis Nabi SAW ini menjelaskan bahwa Negara Islam yang didirikan Nabi adalah negara nubuwwah, yang eranya berakhir dengan wafatnya Nabi SAW. Setelah Nabi wafat, Negara Islam dilanjutkan oleh Khilafah yang mengikuti manhâj nubuwwah. Nabi SAW sendiri menggunakan istilah Khilâfah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah untuk menjelaskan bahwa Khilafah ini adalah negara yang melanjutkan apa yang telah dibangun dan diwariskan oleh Nabi SAW, bukan membuat baru sama sekali. Apalagi dituduh bahwa ini adalah negara hasil rekaaan para sahabat," terangnya.

"Penggunaan istilah Khilâfah adalah untuk menjelaskan bahwa negara ini mengganti atau melanjutkan apa yang ditinggalkan oleh Nabi SAW. Istilah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah juga digunakan untuk menjelaskan bahwa negara ini benar-benar hanya melanjutkan apa yang diwariskan oleh Nabi saw., bukan membuat yang baru," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :