Tinta Media - Sebenarnya, penulis sudah cukup banyak menulis untuk merespons pernyataan Menkopolhukam R.I., Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., M.I.P., soal klaim berulang tentang Khilafah tak baku. Terakhir, beliau mencoba untuk kembali berapologi tentang ketidakbakuan Khilafah dengan membedakan antara sistem dan nilai.
Walaupun sebenarnya, sangat disayangkan tanggapan tersebut disampaikan melalui media. Padahal, penulis bersama sejumlah advokat, ulama dan tokoh Jabodetabek saat berkunjung ke kantornya (Selasa, 19/4) telah mengirimkan surat permohonan audiensi.
Kalau ingin serius menuntaskan soal klaim Khilafah tak baku, atau pernyataan lancangnya yang mengharamkan negara Nabi, sudah sepatutnya Yang Mulia dan Yang Terhormat, Bapak Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., M.I.P., berkenan mengundang kami ke kantornya. Bahkan, penulis juga telah melampirkan no HP penulis agar dapat dihubungi oleh pihak Kemenkopolhukam kapan saja.
Saat bertemu, tentu sebelum kami menyampaikan pandangan dan sikap kami, kami juga siap untuk mendengar dan menyimak paparan dari Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., M.I.P.. Baik pemaparan terkait Khilafah tak baku, atau soal haramnya Negara Nabi.
Terus terang, penulis belum pernah mendengar ada tokoh atau ulama yang berani mengharamkan apa-apa yang berasal dari Nabi, termasuk Negaranya Nabi. Mereka mungkin saja berdebat dan berbeda pandangan tentang bagaimana mengejawantahkan konsepsi Negara yang dicontohkan Nabi. Tetapi, tak ada satupun yang berani lancang mengharamkan negara Nabi Muhammad Saw.
Penulis penasaran, bagaimana metode istimbath hukum yang ditempuh oleh Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., M.I.P. ? Penulis juga penasaran, sebenarnya dalil apa yang dijadikan rujukan sehingga sampai mendapatkan kesimpulan hukum haramnya mendirikan negara Nabi Saw ?
Kalau Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., M.I.P. menyebut Negara Nabi tak relevan dengan kondisi kekinian, masih bisa dipahami meskipun tetap saja keliru. Karena, dunia sebenarnya tidak berubah, yang berubah hanyalah sarana kehidupan.
Tetapi mengharamkan negara Nabi Saw ? jelas-jelas tindakan lancang, tak memiliki adab, dan benar-benar harus segera diingatkan agar tidak diulangi dan menimbulkan persepsi keliru ditengah-tengah umat.
Adapun soal Khilafah baku, penulis akan membaginya pada dua topik utama :
*Pertama,* ada sejumlah substansi Khilafah, baik terkait nilai maupun bentuk pemerintahan yang bersifat baku, tidak pernah berubah-ubah sejak era Khalifah Abu Bakar RA hingga Khalifah Sultan Abdul Hamid II di Turki.
*Kedua,* ada sejumlah substansi Khilafah, yang memang mengalami perubahan dan model yang berbeda, namun tidak pernah keluar dari model utama dari tujuan Khilafah yakni : *Menerapkan hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru alam.*
Pada bahasan pertama, kebakuan Khilafah diantaranya terletak pada tata cara pengangkatan seorang Khalifah. Seluruh Khalifah, tidak akan menduduki jabatan Khalifah kecuali dengan akad bai'at.
Tak ada satupun Khalifah pada rentang kekhilafahan Islamiyyah yang menjadi Khalifah tanpa dibaiat. Semua Khalifah, memperoleh jabatan kekhilafahan dengan akad bai'at.
Substansi redaksi bai'at juga baku, yakni setiap Khalifah dibai'at untuk menerapkan Kitabullah dan As Sunnah. Tidak pernah ada Khalifah, yang dibai'at untuk menerapkan hukum rakyat, hukum raja, atau hukum dialektika materialisme. Seluruh UU yang dikeluarkan Khalifah adalah UU Syari'at, bukan UU raja, UU rakyat, atau UU dialektika materialisme.
Khilafah juga memiliki bentuk negara yang baku, yakni negara global bukan negara kebangsaan (nation state). Khilafah memiliki wilayah yang dapat terus meluas seiring perkembangan misi Islam yang diemban dengan dakwah dan jihad.
Negara Islam awalnya hanya Madinah, diperluas meliputi Mekkah. Setelah Nabi wafat, para Khalifah memperluas wilayah Kekhilafahan hingga meliputi Asia, Afrika hingga Eropa.
Khilafah memiliki bentuk baku sebagai negara global, tidak dapat dibantah oleh siapapun. Secara dalil, memang Islam tidak mengikat kesatuan berdasarkan kebangsaan melainkan dengan akidah Islam. Sehingga, semakin banyak yang memeluk akidah Islam, semakin luaslah wilayah kedaulatan negara Khilafah.
Khilafah memiliki metode baku untuk mengistimbath hukum dari al Qur'an dan as Sunnah, yakni dengan Ijtihad. Bukan dengan debat parlemen, lempar kursi, adu jotos dan diakhiri dengan voting suara terbanyak.
Dalam Negara Khilafah, hukum diadopsi berdasarkan kekuatan dalil, bukan berdasarkan suara terbanyak. Dalam Islam, riba haram selamanya akan haram meskipun seluruh manusia menghalalkannya.
Didalam sistem Khilafah, seluruh rakyat dilayani dengan baik tanpa mempedulikan muslim maupun non muslim. Hal ini baku, diterapkan di era Nabi Muhammad, para Khulafaur Rasyidin, hingga para Khalifah setelahnya. Tidak pernah terjadi satupun masa, wilayah negara Khilafah rakyatnya seragam Islam semuanya. Selalu, rakyat negara Khilafah heterogen, ada muslim dan ahludz dzimmah (non muslim).
Sebenarnya, masih banyak lagi hal-hal yang baku dalam Khilafah. Walaupun, pada kurun tertentu ada hal-hal yang berbeda. Seperti, tatacara pembaiatan.
Pada saat pembaiatan Khalifah Abu Bakar RA, kaum muslimin mencukupkan pada suara representasi sahabat Anshor dan Muhajirin di Saqifah Bani Saidah. Era Khalifah Ustman RA, Abdurahman bin auf RA mendatangi pintu pintu penduduk Madinah sebagai representasi kaum muslimin kala itu untuk menjaring suara. Ini hanya soal teknis, untuk membaca aspirasi kaum muslimin terhadap siapa Khalifah yang dipilih dan diridhoi untuk dibaiat dan ditaati.
Sayangnya, Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., M.I.P. selalu bernarasi tentang Khilafah tak baku. Pada saat yang sama, tidak pernah mengkritik sistem demokrasi yang tak baku.
Ada demokrasi terpimpin, demokrasi langsung, demokrasi perwakilan, demokrasi parlementer, dan seterusnya. Semua ini menunjukkan, demokrasi juga tak baku. Nyatanya, demokrasi tetap diterapkan secara kaffah, dengan segala kerusakan yang ditimbulkannya.
Sudahlah, sebaiknya dalam mengikuti petunjuk Nabi Muhammad Saw itu kaidahnya adalah Syar'i atau tidak syar'i, bukan baku atau tidak baku. Melaksanakan sholat, itu yang diwajibkan adalah amalan yang syar'i, bukan baku atau tak baku.
Perbedaan bacaan doa iftitah yang beragam itu syar'i, karena ada dalilnya. Mau membaca 'Allau Akbar Kabirau....' atau membaca 'Allahummba Ba'id Baini... semuanya sah, ada dalilnya, syar'i. Kalau menggunakan logika baku dan tak baku Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., M.I.P., nanti banyak orang yang saling menyalahkan bacaan sholat dengan dalih bacaan sholatnya tak baku.
Lagipula, bukankah yang utama adalah menjalankan kewajiban sholat ? bukan memperdebatkan bacaan sholat yang tak baku (tak seragam) ? Begitu pula dengan Khilafah, yang perlu segera dilaksanakan adalah menegakkan kewajiban Khilafah, bukan berpolemik dengan dalih baku atau tak baku. [].
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum Koalisi Persaudaraan & Advokasi Umat/KPAU
[Catatan Tanggapan Untuk Menkopolhukam R.I., Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., M.I.P.]
Walaupun sebenarnya, sangat disayangkan tanggapan tersebut disampaikan melalui media. Padahal, penulis bersama sejumlah advokat, ulama dan tokoh Jabodetabek saat berkunjung ke kantornya (Selasa, 19/4) telah mengirimkan surat permohonan audiensi.
Kalau ingin serius menuntaskan soal klaim Khilafah tak baku, atau pernyataan lancangnya yang mengharamkan negara Nabi, sudah sepatutnya Yang Mulia dan Yang Terhormat, Bapak Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., M.I.P., berkenan mengundang kami ke kantornya. Bahkan, penulis juga telah melampirkan no HP penulis agar dapat dihubungi oleh pihak Kemenkopolhukam kapan saja.
Saat bertemu, tentu sebelum kami menyampaikan pandangan dan sikap kami, kami juga siap untuk mendengar dan menyimak paparan dari Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., M.I.P.. Baik pemaparan terkait Khilafah tak baku, atau soal haramnya Negara Nabi.
Terus terang, penulis belum pernah mendengar ada tokoh atau ulama yang berani mengharamkan apa-apa yang berasal dari Nabi, termasuk Negaranya Nabi. Mereka mungkin saja berdebat dan berbeda pandangan tentang bagaimana mengejawantahkan konsepsi Negara yang dicontohkan Nabi. Tetapi, tak ada satupun yang berani lancang mengharamkan negara Nabi Muhammad Saw.
Penulis penasaran, bagaimana metode istimbath hukum yang ditempuh oleh Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., M.I.P. ? Penulis juga penasaran, sebenarnya dalil apa yang dijadikan rujukan sehingga sampai mendapatkan kesimpulan hukum haramnya mendirikan negara Nabi Saw ?
Kalau Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., M.I.P. menyebut Negara Nabi tak relevan dengan kondisi kekinian, masih bisa dipahami meskipun tetap saja keliru. Karena, dunia sebenarnya tidak berubah, yang berubah hanyalah sarana kehidupan.
Tetapi mengharamkan negara Nabi Saw ? jelas-jelas tindakan lancang, tak memiliki adab, dan benar-benar harus segera diingatkan agar tidak diulangi dan menimbulkan persepsi keliru ditengah-tengah umat.
Adapun soal Khilafah baku, penulis akan membaginya pada dua topik utama :
*Pertama,* ada sejumlah substansi Khilafah, baik terkait nilai maupun bentuk pemerintahan yang bersifat baku, tidak pernah berubah-ubah sejak era Khalifah Abu Bakar RA hingga Khalifah Sultan Abdul Hamid II di Turki.
*Kedua,* ada sejumlah substansi Khilafah, yang memang mengalami perubahan dan model yang berbeda, namun tidak pernah keluar dari model utama dari tujuan Khilafah yakni : *Menerapkan hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru alam.*
Pada bahasan pertama, kebakuan Khilafah diantaranya terletak pada tata cara pengangkatan seorang Khalifah. Seluruh Khalifah, tidak akan menduduki jabatan Khalifah kecuali dengan akad bai'at.
Tak ada satupun Khalifah pada rentang kekhilafahan Islamiyyah yang menjadi Khalifah tanpa dibaiat. Semua Khalifah, memperoleh jabatan kekhilafahan dengan akad bai'at.
Substansi redaksi bai'at juga baku, yakni setiap Khalifah dibai'at untuk menerapkan Kitabullah dan As Sunnah. Tidak pernah ada Khalifah, yang dibai'at untuk menerapkan hukum rakyat, hukum raja, atau hukum dialektika materialisme. Seluruh UU yang dikeluarkan Khalifah adalah UU Syari'at, bukan UU raja, UU rakyat, atau UU dialektika materialisme.
Khilafah juga memiliki bentuk negara yang baku, yakni negara global bukan negara kebangsaan (nation state). Khilafah memiliki wilayah yang dapat terus meluas seiring perkembangan misi Islam yang diemban dengan dakwah dan jihad.
Negara Islam awalnya hanya Madinah, diperluas meliputi Mekkah. Setelah Nabi wafat, para Khalifah memperluas wilayah Kekhilafahan hingga meliputi Asia, Afrika hingga Eropa.
Khilafah memiliki bentuk baku sebagai negara global, tidak dapat dibantah oleh siapapun. Secara dalil, memang Islam tidak mengikat kesatuan berdasarkan kebangsaan melainkan dengan akidah Islam. Sehingga, semakin banyak yang memeluk akidah Islam, semakin luaslah wilayah kedaulatan negara Khilafah.
Khilafah memiliki metode baku untuk mengistimbath hukum dari al Qur'an dan as Sunnah, yakni dengan Ijtihad. Bukan dengan debat parlemen, lempar kursi, adu jotos dan diakhiri dengan voting suara terbanyak.
Dalam Negara Khilafah, hukum diadopsi berdasarkan kekuatan dalil, bukan berdasarkan suara terbanyak. Dalam Islam, riba haram selamanya akan haram meskipun seluruh manusia menghalalkannya.
Didalam sistem Khilafah, seluruh rakyat dilayani dengan baik tanpa mempedulikan muslim maupun non muslim. Hal ini baku, diterapkan di era Nabi Muhammad, para Khulafaur Rasyidin, hingga para Khalifah setelahnya. Tidak pernah terjadi satupun masa, wilayah negara Khilafah rakyatnya seragam Islam semuanya. Selalu, rakyat negara Khilafah heterogen, ada muslim dan ahludz dzimmah (non muslim).
Sebenarnya, masih banyak lagi hal-hal yang baku dalam Khilafah. Walaupun, pada kurun tertentu ada hal-hal yang berbeda. Seperti, tatacara pembaiatan.
Pada saat pembaiatan Khalifah Abu Bakar RA, kaum muslimin mencukupkan pada suara representasi sahabat Anshor dan Muhajirin di Saqifah Bani Saidah. Era Khalifah Ustman RA, Abdurahman bin auf RA mendatangi pintu pintu penduduk Madinah sebagai representasi kaum muslimin kala itu untuk menjaring suara. Ini hanya soal teknis, untuk membaca aspirasi kaum muslimin terhadap siapa Khalifah yang dipilih dan diridhoi untuk dibaiat dan ditaati.
Sayangnya, Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., M.I.P. selalu bernarasi tentang Khilafah tak baku. Pada saat yang sama, tidak pernah mengkritik sistem demokrasi yang tak baku.
Ada demokrasi terpimpin, demokrasi langsung, demokrasi perwakilan, demokrasi parlementer, dan seterusnya. Semua ini menunjukkan, demokrasi juga tak baku. Nyatanya, demokrasi tetap diterapkan secara kaffah, dengan segala kerusakan yang ditimbulkannya.
Sudahlah, sebaiknya dalam mengikuti petunjuk Nabi Muhammad Saw itu kaidahnya adalah Syar'i atau tidak syar'i, bukan baku atau tidak baku. Melaksanakan sholat, itu yang diwajibkan adalah amalan yang syar'i, bukan baku atau tak baku.
Perbedaan bacaan doa iftitah yang beragam itu syar'i, karena ada dalilnya. Mau membaca 'Allau Akbar Kabirau....' atau membaca 'Allahummba Ba'id Baini... semuanya sah, ada dalilnya, syar'i. Kalau menggunakan logika baku dan tak baku Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., M.I.P., nanti banyak orang yang saling menyalahkan bacaan sholat dengan dalih bacaan sholatnya tak baku.
Lagipula, bukankah yang utama adalah menjalankan kewajiban sholat ? bukan memperdebatkan bacaan sholat yang tak baku (tak seragam) ? Begitu pula dengan Khilafah, yang perlu segera dilaksanakan adalah menegakkan kewajiban Khilafah, bukan berpolemik dengan dalih baku atau tak baku. [].
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum Koalisi Persaudaraan & Advokasi Umat/KPAU
[Catatan Tanggapan Untuk Menkopolhukam R.I., Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., M.I.P.]