Korporatisasi Pertanian, Bukti Lepas Tangannya Pemerintah - Tinta Media

Jumat, 08 April 2022

Korporatisasi Pertanian, Bukti Lepas Tangannya Pemerintah

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1vpq2VZRdRsuqTJDwtURKbXXMpNf1urpM

Tinta Media - Data ketahanan pangan menunjukkan bahwa kemampuan bertahan cadangan pangan Indonesia pada 2020 hanya sekitar 21 hari. Angka ini terpaut jauh dari Thailand dan India yang merupakan negara kecil yang memiliki cadangan pangan lebih dari 140 hari, apalagi jika dibandingkan dengan Amerika yang memiliki 1.068 hari.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin menuturkan bahwa kemampuan bertahan cadangan pangan Indonesia ini hanya sedikit berbeda dua hari dengan Vietnam.

Dalam acara Korporatisasi Pertanian dalam Mendukung Ekosistem Halal Value Chain Berbasis Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) di Ponpes Al-Ittifaq, Kabupaten Bandung, Selasa (22/3/2022),  Wapres mendukung inisiatif dari Kementerian Koperasi dan UKM yang menghadirkan program pemberdayaan petani melalui Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren). Menurutnya, hal ini dapat menjadi salah satu upaya untuk menyejahterakan masyarakat.

Oleh karena itu, pemerintah berupaya memperkuat ketahanan pangan dengan mengalokasikan anggaran Rp76,9 triliun pada 2022 ini. Koperasi dinilai sebagai solusi tepat bagi terbentuknya korporatisasi para petani dan nelayan untuk meningkatkan produktivitas pangan. Ini karena koperasi sudah memiliki payung hukum dan modal sebagian besar dimiliki anggota.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan bahwa Ponpes Al-Ittifaq di Bandung menjadi role model pembentukan Kopontren dalam mewujudkan program korporatisasi petani. Selama ini, pendekatan pemerintah hanya dari input pengadaan saja, baik dari pupuk dan lainnya sehingga konsep korporatisasi pangan bagi petani kecil tidak bisa berjalan sendiri.

Corporate farming akan mengonsolidasi petani-petani kecil perorangan dalam bentuk koperasi. Diharapkan dengan program ini, ekosistem pertanian akan lebih efektif dan efisien, mulai dari pembiayaan, proses produksi, hingga pemasaran yang terintegrasi dan saling menguntungkan berbagai pihak melalui badan hukum koperasi.

Dengan koperasi, korporatisasi pertanian mampu dijalankan mulai dari sisi hulu sampai hilir. Dengan sistem ini, pembiayaan para petani, penyerapan hasil produksi hingga memasarkan hasil pertanian dilakukan koperasi sebagai off taker atau penghubung komoditas pertanian yang nantinya bekerja sama dengan berbagai pihak, baik swasta maupun korporasi.

Alternatif instrumen pembiayaan kepada koperasi dilakukan melalui penyaluran anggaran pemerintah melalui LPDB-KUMKM. Hal ini bertujuan untuk memperkuatan modal koperasi dan dilakukan dengan pembiayaan dana secara bergulir. Melalui Corporate Farming (korperasi pertanian) pemerintah berharap akan terbentuk ekosistem yang pertanian yang lebih efisien dan efektif serta lebih terintegrasi dan saling menguntungkan.

Ketahanan pangan memang sangat vital bagi semua negara karena makanan berkaitan dengan kelangsungan hidup seluruh populasi dunia. Tak hanya sebagai negara maritim, Indonesia juga dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduk Indonesia memiliki mata pencaharian sebagai petani atau bercocok tanam. Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki banyak sumber daya alam, baik di darat maupun perairan. Selain itu negeri ini pun terkenal dengan hasil perkebunannya, seperti karet, kelapa sawit, tembakau, kapas, kopi, beras, dan lainnya. Hasil tambang pun melimpah ruah.

Namun miris, terkenal sebagai negara agraris yang subur dan kekayaan alam melimpah ruah dan seharusnya memiliki ketahanan yang kuat dalam berbagai aspek, tetapi kenyataannya berbanding terbalik. Bahkan, untuk bertahan dari kekurangan makanan saja kita tidak mampu sehingga harus mengimpor bahan-bahan pokok dari negara tetangga.

Kebijakan impor secara terus-menerus semakin membuat para petani terpuruk. Tak ayal, banyak dari mereka yang meninggalkan profesinya sebagai petani. Hal ini semakin memperburuk kondisi dan membuat semakin ketergantungan negara kepada impor. Kalau sudah begini, perekonomian negara pun semakin anjlok. Pertanian hanya dipandang sebelah mata bagi pemasukan. Negara malah mengutamakan pemasukan dari sektor pajak dan hutang yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat dan menurunkan kesejahteraan ekonomi.

Padahal, pertanian merupakan sektor terpenting dalam pemenuhan hajat rakyat dan seharusnya menjadi salah satu sektor utama untuk meningkatkan perekonomian.

Negara wajib bertanggung jawab penuh dalam mendukung dan meningkatkan kesejahteraan dengan menunjang keberhasilan sektor pertanian, bukannya malah menjadi regulator dan menyerahkan peningkatan ketahanan pangan kepada pihak swasta ataupun korporasi dalam bentuk koperesi. Inilah jika kita hidup di negeri yang mengadopsi sistem demokrasi kapitalisme. Negara tidak akan benar-benar ikhlas mengurusi urusan rakyat karena rakyat hanya dijadikan ladang bisnis bagi para pemangku jabatan.

Ini berbanding terbalik dengan negara yang menganut sistem Islam atau khilafah. Ekonomi Islam mengakui produktivitas seluruh kegiatan perekonomian yang legal sesuai syariah, baik produksi barang maupun produksi jasa. Pertanian merupakan kegiatan ekonomi yang bertujuan menambah dan mendapatkan kekayaan dan kesejahteraan rakyat dengan cara meningkatkan produksi nabati dan hewani.

Pertanian memiliki urgensi sangat besar dalam kehidupan karena merupakan sumber makanan dan pemasukan kekayaan umat. Dengan pertanian, akan dapat diberdayakan sejumlah besar tenaga kerja. Bahkan, sejarah mencatat bahwa dalam fikihnya, Khalifah Umar bin Khathab memberikan perhatian yang sangat besar pada pertanian. Beliau menjadikan pertanian sebagai kegiatan utama negara dan salah satu sumber terpenting bagi kas negara atau Baitul Mal.

Karena itu, dalam khilafah, pertanian mendapatkan pengaturan dari negara mulai dari konsep pengelolaan lahan hingga penjualan dan distribusi hasil pertanian. Hal ini karena kewajiban negara adalah untuk melayani umat dan menjamin seluruh kebutuhan pangan individu. Untuk memaksimalkan pengelolaan lahan, maka khalifah akan memberikan dukungan penuh kepada para petani mulai dari modal, sarana produksi, teknologi, serta berbagai infrastruktur seperti  pembuatan irigasi, jembatan, dan lainnya.

Selain itu, khilafah terlepas dari segala bentuk intervensi negara-negara asing dan memiliki kemandirian pangan sehingga tidak akan bergantung pada impor, tidak terjadi benturan dengan harga pupuk yang tinggi sehingga membuat harga melambung tinggi. Dukungan seperti itu akan membuat para petani bersemangat dalam memproduksi dan terhindar dari lekurangan pangan.

Sejarah mencatat bahwa khilafah pernah mencapai kegemilangan dalam ketahanan pangan. Pertaniaan berproduksi sepanjang tahun dengan jenis tanaman yang bervariasi, bahkan daerah yang ditinggalkan penduduk tumbuh menjadi daerah padat penduduk yang produktif pertaniannya. Ini karena konsep Islam mengharamkan tanah atau lahan yang kosong tidak produktif atau ditelantarkan selama tiga tahun.

Wallahu'alam bisshawab

Oleh: Thaqqiyuna Dewi S.I.Kom
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :