Tinta Media - Pakar Fikih Kontemporer KH. M. Shiddiq al-Jawi, S.Si, MSI. menuturkan, jika penalaran Prof. Mahfud MD terkait sistem baku Khilafah diikuti, niscaya akan gugurlah banyak kewajiban syar’i yang ada dalam ajaran Islam.
“Sesungguhnya, jika penalaran Prof. Mahfud MD tentang “sistem yang baku” itu diikuti, niscaya akan gugurlah banyak kewajiban syar’i yang ada dalam ajaran Islam,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (28/4/2022).
Kiai Shiddiq menjelaskan, kalau sistem khilafah yang baku itu diartikan sebagai sistem khilafah yang standar yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan memang tidak ada. Faktanya memang terdapat beberapa versi pendapat dalam cabang hukum dalam pembahasan khilafah.
“Tapi pertanyaan kritisnya adalah, apakah ketika sistem khilafah yang baku itu tidak ada, kemudian khilafah itu tidak wajib secara syar’i? Apakah adanya perbedaan pendapat dalam cabang-cabang hukum khilafah itu artinya khilafah hanya berstatus mubah (boleh) saja, sehingga boleh saja khilafah ditinggalkan dan diganti dengan sistem pemerintahan yang lain, semisal sistem republik?” tanya Kiai Shiddiq.
Menurutnya, adanya khilafiyah itu tidak hanya dalam pembahasan khilafah, tapi juga ada dalam pembahasan bab-bab fikih yang lain seperti wudhu, sholat, puasa, haji dan sebagainya.
Dalam wudhu misalnya lanjutnya, ada perbedaan pendapat ulama mengenai apakah menyentuh perempuan membatalkan wudhu atau tidak. “Mengikuti logika Prof. Mahfud MD, berarti wudhu itu tidak baku,” tukasnya.
Perbedaan pendapat juga terjadi dalam sholat, puasa dan haji. “Nah, jika wudhu, sholat, puasa, dan haji itu tidak baku, lantaran banyak khilafiyah dalam cabang-cabang hukumnya, maka menurut penalaran Prof. Mahfud MD, berarti wudhu, sholat, puasa, dan haji hukumnya tidak wajib semuanya, atau mungkin hukumnya mubah (boleh) dan boleh diganti sendiri oleh manusia dengan tatacara ibadah lain bikinan manusia sendiri,” kata Kiai Sidiq menyimpulkan.
Apakah Prof. Mahfud MD memang ingin menggugurkan atau bahkan menghapuskan kewajiban wudhu, sholat, puasa, dan haji dari agama Islam?Tentunya jawabannya adalah negatif. “Tidaklah mungkin Prof. Mahfud MD akan berani dan lancang menggugurkan kewajiban wudhu, sholat, puasa, dan haji, dengan dalih tidak ada sistem yang baku untuk masing-masingnya,” yakinnya.
“Dari sinilah nampak ada cacat atau kejanggalan dalam konstruksi argumen Prof. Mahfud MD yang menggunakan kata kunci 'sistem baku khilafah',” simpulnya.
Kyai Shiddiq melanjutkan, jika ditelusuri secara mendalam cara berpikir Prof. Mahfud MD, kecacatan argumen itu nampak dalam aspek epistemologisnya. Prof. Mahfud MD menggunakan logika silogisme, padahal seharusnya kalau bicara hukum Islam menggunakan pendekatan penalaran ushul fiqih.
“Di sinilah cacat epistemologis yang ada dalam penalaran Prof. Mahfud MD mengenai istilah 'sistem baku khilafah',” kata Kiai Sidiq.
Manthiq
Kiai Sidiq menjelaskan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat. Ilmu yang bicara mengenai asal usul (source) dari suatu pengetahuan dan bagaimana metode (method) yang dipakai untuk menemukan suatu pengetahuan.
Jika bicara hukum Islam, misalnya untuk menentukan status suatu perbuatan apakah ia wajib, atau sunnah, atau mubah, maka penalaran yang digunakan, yaitu proses istinbath (penyimpulan) hukum dari sumber hukumnya, semestinya menggunakan penalaran ushul fiqih. “Inilah epistemologi yang benar, bukan menggunakan logika sebagaimana Prof. Mahfud MD,” paparnya.
Menurutnya, dalam istilah “sistem baku khilafah”, nampaknya Prof. Mahfud MD menggunakan salah satu cara inferensi (penarikan kesimpulan) yang ada dalam ilmu logika (manthiq), yaitu silogisme. Premis mayor (muqaddimah kubra) yang ada adalah segala sesuatu yang tidak baku berarti hukumnya tidak wajib. Sedang premis minor (muqaddimah shughra)-nya : khilafah tidak baku. Maka kesimpulan (conclusion, natijah) yang diperoleh adalah sistem khilafah tidaklah wajib. Demikianlah kira-kira proses penalaran yang digunakan Prof. Mahfud MD.
“Sebenarnya, penggunaan logika (termasuk silogisme) tidaklah selalu salah. Penggunaan logika termasuk silogisme boleh-boleh saja, tetapi ada syaratnya,” terang Kiai
Telah menjelaskan Syekh Taqiyuddin An Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) dalam kitabnya At Tafkiir halaman 13-14 bahwa penggunaan logika disyaratkan premisnya haruslah berupa suatu proposisi yang diyakini kebenarannya atau harus merupakan suatu realitas yang terindera (al waqi’ al mahsuus).
Jika tidak memenuhi syarat ini, masih di kitab yang sama, maka suatu penalaran dengan logika akan dapat menimbulkan kesalahan penalaran atau kesesatan (qaabiliyah al dhalaal), dan bahkan dapat menimbulkan kontradiksi (at tanaaqudh) dalam satu persoalan.
Di kitab itu dicontohkan, dalam persoalan apakah Al Qur`an itu makhluk atau kalamullah, bisa jadi seseorang berargumen begini, premis mayor : Al Qur`an itu adalah kalamullah. Premis minornya : kalamullah itu qadiim (terdahulu, bukan makhluk). Kesimpulannya, Al Quran itu qadiim (terdahulu, bukan makhluk). Pada saat yang sama, orang lain dapat pula menggunakan cara penalaran logika yang sama, tapi kesimpulannya dapat sangat bertolak belakang. Premis mayornya: Al Qur`an itu berbahasa Arab. Premis minornya : bahasa Arab itu sesuatu yang baru (hadits). Kesimpulannya, Al Qur`an adalah sesuatu yang baru (hadits) alias makhluk.
Kembali pada logika yang digunakan Prof. Mahfud MD, Kiai Sidiq melanjutkan, nampak jelas bahwa logika yang digunakan Prof. Mahfud MD ternyata menggunakan premis yang salah, yaitu premis mayornya yang berbunyi : segala sesuatu yang tidak baku berarti hukumnya tidak wajib. “Inilah sumber masalahnya,” tukasnya.
“Premis ini sudah dijelaskan kecacatannya di atas. Bisa kita uji premis mayor itu dengan bertanya, apakah sesuatu yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Apakah wudhu yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Apakah sholat yang tidak baku lalu hukumnya tidak wajib? Apakah haji yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Tidak demikian, bukan? Nah, pertanyaan yang sama dapat pula diajukan untuk khilafah, apakah khilafah yang tidak baku berarti tidak wajib?,”papar Kiai Sidiq.
Amar
Menurut Kiai Sidiq, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam kitab beliau Al-Syakhshiyyah Al Islamiyah, Juz III/39) menjelaskan bahwa dalam epistemologi hukum Islam, wajib atau tidak wajibnya suatu hukum tidaklah dilihat dari segi apakah sistem bakunya ada atau tidak ada, tetapi dilihat apakah amar (perintah) atau thalabul fi’li (tuntutan untuk berbuat) yang terdapat dalam suatu dalil (ayat Al Qur`an atau Hadits), apakah disertai indikasi (qariinah) yang menunjukkan kewajiban atau tidak.
Masih dalam kitab yang sama, jika amar atau thalabul fi’li yang ada disertai dengan qariinah (indikasi) yang menunjukkan wajib, misalnya ada kecaman atau celaan yang keras bagi yang meninggalkannya, berarti amar atau thalabul fi’li itu statusnya wajib. Jika tidak ada kecaman yang keras, status amar itu mungkin bisa sunnah atau mubah, bergantung pada qariinah-nya.
Kiai Sidiq memberikan contoh, ayat Al Qur`an menunjukkan ada amar atau thalabul fi’li untuk melakukan sholat,”Aqiimush sholaata wa aatuz zakaata warka’uu maa’r raaki’iin” yang berarti,”Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku'” (QS Al Baqarah [2] : 43). Ternyata amar untuk melakukan sholat ini disertai qariinah (indikasi petunjuk) berupa kecaman keras untuk orang yang meninggalkan sholat, yang berarti sholat itu wajib hukumnya. Misalnya firman Allah SWT dalam Al-Quran surat Al Mudatsir ayat 42-43 yang berbunyi,”Maa salakakum fii saqar, qaaluu lam naku minal musholliin,” yang artinya,”(Malaikat penjaga neraka bertanya),’Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.”
“Inilah cara penalaran yang benar dalam proses istinbath hukum, yakni dengan menggunakan pendekatan ushul fiqih. Jadi, suatu hukum berstatus wajib atau tidak wajib, dilihat oleh seorang mujtahid dari segi amar yang ada, kemudian dilihat qariinah-qariinah yang ada, lalu ditarik kesimpulan hukum syara’-nya,” bebernya.
Manthiq
Menurut Kiai Sidiq penalaran tersebut sangat berbeda dengan pendekatan manthiq (logika) yang semestinya tidak digunakan dalam hukum Islam. Orang yang semata menggunakan logika, boleh jadi hanya akan menilai suatu ketentuan hukum itu baku atau tidak baku. Kalau baku, hukumnya wajib, sedang kalau tidak baku, berarti tidak wajib.
“Dengan penalaran yang demikian, orang ini dapat saja menyimpulkan sholat itu tidak wajib. Mengapa? Karena dia akan mendapatkan bahwa tatacara sholat ternyata tidak baku,”tuturnya.
Misalnya, kata Kiai memberikan contoh, ada yang sholatnya pakai Qunut ada yang tidak Qunut. Ada yang menganggap tumakninah sebagai rukun sholat, ada yang tidak menganggap tumakninah sebagai rukun sholat (mazhab Hanafi). Ada yang menganggap membaca Al Fatihah itu rukun sholat, ada yang mengatakan yang rukun hanyalah membaca Al Qur`an (mazhab Hanafi). Lalu dia dengan gegabah akhirnya menyimpulkan, “Oh ternyata sholat itu tatacaranya tidak baku ya, kalau begitu berarti sholat itu hukumnya tidak wajib.” “Jelas ini adalah kesimpulan yang sesat dan jauh dari kebenaran. Astaghfirullahal ‘azhiem, na’uuzhu billahi min dzaalik,” ungkapnya menyesalkan kesimpulan itu.
Jelas penalaran logika semata ketika bicara hukum Islam adalah penalaran yang cacat dan tidak pada tempatnya. “Cacat epistemologis yang parah dan fatal ini sungguh tidak hanya menyesatkan orang itu sendiri, tetapi juga menyesatkan orang lain, bahkan dapat menyesatkan berjuta-juta manusia di sebuah masyarakat atau negara,” tukas Kiai Sidiq mengingatkan.
Sungguh Allah SWT kelak di Hari Kiamat akan meminta pertanggungjawaban kepada orang zalim yang telah menyesatkan manusia-manusia lainnya, tegas Kiai Sidiq dengan mengutip firman Allah SWT surat al Isrâ ayat 36 yang artinya, ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
“Ya Allah lindungilah kami dari kesesatan. Tunjukilah kami selalu pada jalan-Mu yang lurus. Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah!” doa Kiai menutup penuturan. [] Irianti Aminatun