Tinta Media - Pakar Fiqh Kontemporer KH Muhammad Shiddiq Al-Jawi, M.Si. menjelaskan tidak boleh mengubah substansi makna kafir apalagi menghapusnya.
“Ghoiru Muslimin itu bisa saja digunakan untuk mengganti istilah kafir, tapi tidak mengubah apalagi menghapus istilah kafir karena itu istilah Syariah,” jelasnya pada fokus: Sebutan Kafir, Haruskah Diubah? Ahad (3/4/2022) di kanal YouTube UIY Official.
Ia menjelaskan bahwa istilah syariah itu istilah-istilah yang digunakan di dalam Al-Qur’an atau hadis. “Istilah-istilah yang digunakan di dalam Al-Qur’an atau hadis itu nggak boleh diubah istilahnya. Tidak boleh diganti yang namanya Al-Qur’an atau hadis itu tetap,” jelasnya.
Menurutnya, boleh menyebut kafir dengan istilah lain misalnya ghoiru muslimin, ahlu dzimmah atau yang istilah-istilah semisalnya tapi tidak mengubah makna. Tidak disimpangkan dari maknanya. “Kalau mau dipakai istilah lain boleh, tapi tidak boleh mengubah substansi makna,” tuturnya.
Ustaz Shiddiq menjelaskan istilah kafir dalam pandangan Islam. “Sesungguhnya istilah kafir artinya sangat jelas, yaitu orang yang tak beragama Islam, atau dengan kata lain orang yang tidak beriman dengan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, baik dia kafir asli, seperti orang Yahudi atau Nashrani, maupun kafir murtad, yaitu asalnya muslim tapi mengingkari salah satu ajaran pokok yang dipastikan sebagai ajaran Islam, seperti wajibnya shalat, haramnya zina, haramnya khamr, haramnya riba. Orang Islam yang ingkar disebut juga kafir,” jelasnya.
Ia mengungkap banyak para ulama yang mendefinisikan kafir dengan makna yang tegas. Sebagai contoh, Syeikh Rawwas Qal’ah Jie dalam kitabnya Mu’jam Lughah Al-Fuqaha bahwa “Kafir adalah siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan kepada Nabi Muhammad SAW, atau siapa saja yang mengingkari ajaran apa pun yang diketahui secara pasti berasal dari Islam (seperti wajibnya sholat, haramnya zina, dll), atau yang merendahkan kedudukan Allah dan risalah Islam.” (man laa yu`minu billahi wa laa bi muhammadin rasulillah aw man yunkira aa huma ma’lumun minal islam aw yantaqishu min maqaamillah ta’ala aw ar risalah).
Ustaz juga mengambil arti kafir dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith, yang menyebutkan, “Kafir adalah siapa saja orang yang tidak beriman kepada keesaan Allah, atau tidak beriman kepada kenabian Muhammad SAW, atau tidak beriman kepada Syariah Islam, atau tidak beriman kepada ketiga-tiganya.”
Ia membantah pendapat bahwa kafir itu adalah lawan dari iman (mukmin) dan bukan lawan dari Islam (muslim), sungguh tidak benar. Karena meski terdapat nash Al-Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan kafir kebalikan dari iman, tapi ada juga nash-nash syariah yang menunjukkan kafir adalah kebalikan dari Islam (muslim).
Ia menegaskan bahwa istilah kafir itu artinya adalah non-muslim sebagaimana sabda Nabi SAW, ”Orang muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi muslim.”
Ia menilai persoalan yang sebenarnya sudah jelas, sekarang ini kadang-kadang menjadi kabur karena berbagai macam diskursus Barat dan orang-orang liberal yang pro Barat. Sehingga akhirnya orang-orang Yahudi dan Nasrani seakan-akan tidak kafir dengan wacana pluralisme, dialog antar agama yang merusak pemikiran umat.
Menurutnya, sekarang sebaiknya bukan melakukan pengkafiran walaupun itu sudah memenuhi syarat, tetapi lebih baik melakukan edukasi, perdebatan intelektual yang sehat. Melakukan istilahnya "mujadalah", berdiskusi secara baik. “Debatlah mereka dengan cara yang baik,” pungkasnya.[]Raras