Islamofobia Senjata Kafir Barat Menghadang Kebangkitan Islam - Tinta Media

Rabu, 13 April 2022

Islamofobia Senjata Kafir Barat Menghadang Kebangkitan Islam

https://drive.google.com/uc?export=view&id=148fkc7rFekHYqtl1UUCF53dqV72OS9Up

Tinta Media - Umat Islam khusu' menjalankan amalan di bulan Ramadan karena Ramadan adalah bulan suci yang penuh berkah. Amal saleh yang dilaksanakan di dalamnya pun dilipatgandakan pahalanya oleh Allah Swt.

Tanggal 17 Ramadan tahun pertama kenabian, Al-Qur’an diturunkan di bulan suci ini. Allah menjadikan satu malamnya sebagai Lailatulkadar, yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan.

Di bulan suci ini, umat Islam berlomba-lomba memberikan amalan terbaiknya di hadapan Allah Swt. Namun, sangat disayangkan, ada segelintir oknum yang justru memanfaatkan momen bulan mulia ini untuk menyebarkan pemikiran liberal dan hal ini selalu berulang.

Sebuah anjuran nyeleneh datang dari mereka yang mengimbau umat Islam menghormati orang yang tidak berpuasa, tidak boleh ada razia orang-orang yang lagi makan di warung-warung saat siang hari, dan menganggap penertiban warung-warung makan yang buka saat tengah hari  adalah bentuk kezaliman.

Banyak yang mencibir sikap mereka yang seperti itu, tetapi tidak sedikit yang mendukung. Sikap moderat menjadi alasan untuk bersikap toleran tanpa batas kepada siapa pun, bahkan tanpa merasa bersalah keluar dari syariat Islam.

Dengan jargon toleransi dan moderasi, semakin banyak orang yang semakin cuek dengan sekitarnya. Apabila banyak terlihat orang yang tidak berpuasa, entah segan menegur ataukah tidak mau ribut, yang pasti suasana Ramadan semakin kehilangan “ruhnya”.

Sungguh hal ini berbanding terbalik dengan suasana Ramadan di era kekhilafahan Islam. Saat itu, suasana malam siangnya selalu dihiasi dengan ibadah, berlomba-lomba menjadi hamba yang bertakwa.

Belum lagi kedukaan lainnya yang dirasakan umat Islam setelah Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan bahwa haram mendirikan negara yang dibentuk nabi Muhammad saw. karena hal itu merupakan seruan dari Allah, sedangkan nabi Muhammad saw. sudah tidak ada lagi dan wahyu sudah berhenti.

Beberapa pekan lalu, Mendikbud Nadim Makarim juga menghapus kata madrasah dalam UU Sisdiknas, setelah sebelumnya menghapus frasa agama di dalamnya. Begitulah, satu-persatu petinggi negeri menampakkan kesinisannya kepada ajaran Islam sehingga banyak menuai protes.

Diperparah lagi, penguasa tertinggi negeri ini melontarkan adanya penceramah Islam yang radikal menjelang Ramadan kemarin. Mereka dianggap berbahaya dan dilarang mengundangnya untuk berceramah. Bahkan, BNPT menyusun kriteria penceramah radikal.

Kriteria itu ada lima, yaitu mengajarkan anti Pancasila, mengajarkan paham tafkiri yaitu mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham ataupun agama, anti pemimpin yang sah, intoleransi dan anti budaya, serta anti kearifan lokal keagamaan.

Kriteria tersebut sangat tendensius mengarah kepada penceramah muslim dan ajaran Islam. Apalagi, kriteria itu menyasar penceramah yang bersikap kritis dan korektif kepada pemerintah.

Bahkan, kriteria tersebut tidak menyentuh radikalisme lain yang juga terjadi saat ini, seperti ajaran komunisme, atheisme, separatisme yang bertentangan dengan Pancasila dan dilarang oleh hukum yang berlaku di negeri ini. Inilah bukti bahwa sedang terjadi permusuhan massal kepada umat Islam dan ajarannya. Istilah radikal selalu disematkan kepada umat Islam. Nonmuslim yang nyata melakukan tindakan teror tidak pernah dituduh sebagai kelompok radikal. Makna radikal sendiri menjadi kabur ketika pelakunya nonmuslim.

Menurut prof Suteki, bahwa rumusan radikalisme itu masih obscure (kabur) dan juga lentur. Akhirnya nanti akan dipakai secara legal dan konstitusional untuk menggiring bahkan menggebuk orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah.

Isu Radikalisme Wujud Islamofobia

Pernyataan sinis selalu diarahkan kepada umat Islam. Berulang kali BNPT (Badan Nasional Penanganan Terorisme) mendapatkan protes keras karena telah mengeluarkan kriteria penceramah radikal. Bahkan, sebelumnya BNPT juga mengeluarkan daftar pesantren yang terafiliasi dengan terorisme, meskipun akhirnya mereka meminta maaf atas tudingan itu.

Nampak dari sini bahwa memang ada indikasi kuat adanya upaya sistematis untuk mengaitkan Islam dengan radikalisme dan terorisme. Padahal fakta tidak menunjukkan akan hal itu. Meskipun pelaku teror selama ini beridentitas muslim, tatapi siapa otak dari aksi teror selama ini masih kabur.

Akibat narasi ala BNPT yang sering mengaitkan Islam dan terorisme, maka akan berdampak pada suburnya sikap islamofobia. Padahal, propaganda islamofobia sendiri sejatinya merupakan proyek global dengan dana triliunan rupiah.

Rilis media Daily Sabah, Turki pada 7 Mei 2019 menyatakan bahwa ada dana 125 juta dolar AS (setara 1,9 triliun rupiah pertahun) yang disalurkan untuk kelompok-kelompok islamofobia. Dana tersebut disalurkan ke berbagai organisasi politik, media, penegak hukum, lembaga pendidikan, hingga berbagai industri untuk mendorong pergerakan anti-muslim dan anti-Islam.

Sejarah Islamofobia dan Penyebarannya

Istilah islamofobia mempunyai makna sinisme, prasangka buruk, salah paham, ketidaksukaan, dan kebencian terhadap Islam dan umat Islam.

Islamofobia memiliki sejarah yang panjang. Akar sejarah dimulai dari sejarah perseteruan antara Islam dan Nasrani. Titik puncaknya pada peristiwa perang salib yang berlangsung lebih dari dua abad (antara 1095-1291 M). Karena itu, islamofobia sesungguhnya merupakan bentuk dari perang salib di era modern.

Lembaga think tank Inggris, Runnymede Trust mendefinisikan islamofobia sebagai rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan semua muslim. Secara nyata, mereka memperlakukan diskriminasi terhadap kaum muslimin dengan memisahkan mereka dalam bidang ekonomi, sosial, masyarakat serta kebangsaan.

Di tingkat global, penguatan islamofobia terjadi setelah pasca tragedi hancurnya gedung WTC 9/11. Setelah itu ada seruan untuk melakukan perang terhadap terorisme secara global. Sejak itu, umat Islam distereotip sebagai kelompok teroris. Islam dicitrakan sebagai agama yang mengajarkan terorisme.

Gerakan islamofobia yang berpusat di AS dan Eropa itu tentu akan menyebarkan propagandanya ke berbagai negeri muslim, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, gejala islamofobia muncul pasca ledakan bom di Bali tahun 2002, yang diikuti dengan serangkaian ledakan bom pada tahun-tahun berikutnya.

Pada perkembangan berikutnya, narasi islamofobia berkembang menjadi sebuah industri yang memakan biaya Rp28 triliun pada kurun waktu 2003-2013. Narasi ini dikembangkan di media mainstream, media cetak, media online, dan media sosial.

Menurut pengamat Barat, ketakutan dan prasangka Barat terhadap Islam adalah dagangan menarik untuk dijual terus-menerus. Industri islamofobia digaungkan oleh intelektual yang terjangkit islamofobia dan memiliki pemikiran liberal, baik yang berasal dari dunia Barat maupun dunia Islam.

Hal ini sejalan dengan riset Rand Corporation yang berisi tentang berbagai rekomendasi untuk melawan kelompok Islam yang tidak sejalan dengan kepentingan AS. Di antaranya melalui bantuan finansial kepada kalangan intelektual dan liberal untuk melawan kelompok tersebut.

Modal utama gerakan global adalah berupa framing negatif tentang Islam. Tujuan akhirnya adalah untuk menjauhkan ajaran Islam dari kehidupan masyarakat dan negara. Para propaganda islamofobia juga sering membuat opini fiktif seolah penerapan syariah Islam adalah sebuah ancaman. Padahal, faktanya terorisme melalui imperialisme di dunia itu justru riil dilakukan oleh negara-negara penjajah pengusung ideologi kapitalisme maupun komunisme.

Wahai kaum muslimin, inilah kebencian kafir Barat kepada Islam. Janganlah bercerai berai dengan mengikuti arahan mereka, dengan menjual ayat-ayat Al-Qur'an demi recehan dunia. Sadarlah, musuh bersama umat Islam adalah kaum kafir beserta ajarannya, yaitu sekulerisme dan kapitalisme.

Saatnya umat Islam bersatu dan memahami hakikat Islam sebagai solusi dalam kehidupan. Mari kita tingkatkan keimanan dengan senantiasa mengkaji Islam kaffah, terlebih di bulan Ramadan yang mulia ini. Mari kita mengamalkannya dengan berdakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam di bawah pemerintahan Islam sesuai manhaj kenabian. Mari membangun kesadaran untuk mewujudkan sistem hidup terbaik yang mampu menerapkan syariat Islam kaffah sehingga tercurah keberkahan dari langit dan bumi bagi umat Islam. Wallahualam.

Oleh: Irma Hidayati, S.Pd.
Pemerhati Kebijakan Publik
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :