Indeks Pembangunan Manusia: Jangan Hanya Sekadar Mengejar Angka - Tinta Media

Rabu, 13 April 2022

Indeks Pembangunan Manusia: Jangan Hanya Sekadar Mengejar Angka

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1sD3qF0lOBb0ZVtcQtbFEZduusUDS3r42


Tinta Media - Indeks pembangunan manusia (IPM) adalah indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk). IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Selain itu, juga dapat menentukan peringkat atau level pembangunan suatu wilayah atau negara. Dengan demikian, indeks pembangunan manusia ini senantiasa menjadi perhatian setiap kepala negara dan daerah untuk meningkatkan keberhasilan  kepemimpinan mereka.

Kabupaten Bandung memiliki nilai IPM 72,73 poin, naik 0,34 poin dari sebelumnya, 72,39. Hal ini akan terus diupayakan agar sesuai target menjadi 73,78 pada tahun 2023. Pemkab Bandung mengklaim senantiasa bekerja keras meningkatkan IPM dengan menggencarkan program-program yang mendukung penguatan tiga indikatornya. Adapun tiga indikator tersebut adalah pendidikan, kesehatan, dan daya beli.

Upaya dalam bidang pendidikan adalah dengan berencana membangun 23 unit SMP dan SMA baru di Kabupaten Bandung, sebagaimana restu yang telah diberikan Gubernur Jawa Barat kepada Bupati Bandung. Dalam bidang kesehatan, Pemkab Bandung akan membangun 2 rumah sakit umum daerah di Kertasari dan Cimaung. Adapun penguatan daya beli, yaitu dengan menggelontorkan dana pinjaman bergulir tanpa bunga untuk pelaku usaha kecil. Hingga saat ini, dana yang sudah digulirkan sebanyak Rp40 miliar, dan berikutnya akan ditambah lagi Rp20 miliar. (rmoljabar.id, 16/3/22)

Indeks pembangunan manusia ini diperkenalkan oleh UNDP (United Nations Development Programme) pada tahun 1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan Human Development Report (HDR). Setiap komponen IPM distandarisasi dengan nilai minimum dan maksimum sebelum digunakan untuk menghitung IPM. Nantinya, nilai yang dicapai akan dihitung menggunakan rumus.

Jika dicermati, IPM yang digadang-gadang pemerintah dapat membawa kemajuan manusia di beberapa sektor, sepertinya harus dipertimbangkan kembali. Pasalnya tolok ukur tersebut tak lebih dari permainan angka-angka yang memungkinkan rekayasa data atau kecurangan. Sementara, tiga indikator yang menjadi acuan IPM di atas berkaitan dengan kinerja pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam menyejahterkan masyarakat.

Dalam bidang pendidikan dan kesehatan misalnya, saat ini betapa sulit untuk mendapatkan pendidikan dan fasilitas kesehatan yang berkualitas jika tidak mampu membayar dengan harga yang tinggi. Jikalau ada yang gratis atau murah, itupun dengan kualitas seadanya.

Dalam bidang ekonomi, sistem yang diterapkan menciptakan jurang perbedaan yang dalam antara si kaya dan si miskin. Crazy rich bisa memiliki apa pun, sebaliknya si miskin untuk makan  saja sulit.

Dengan demikian, tentu tidak bisa mencukupkan peningkatan IPM dilihat dari pembangunan infrastruktur, tetapi juga harus dilihat apakah semua rakyat bisa mengakses hasil pembangunan dan pelayanan fasilitas umum yang ada. Ironisnya, terkadang angka-angka nilai IPM ini tidak sesuai dengan fakta. Akses untuk menikmati infrastruktur pun sulit dan pelayanan tidak sesuai dengan harapan. Jadi, nilai IPM tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas hidup masyarakat.

Sistem hidup kapitalisme memandang bahwa pengaturan masyarakat harus diserahkan pada mekanisme pasar. Penguasa tidak memiliki tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan primer rakyatnya. Bahkan, pendidikan dan kesehatan dikomersialisasi menjadi komoditas bisnis untuk menghasilkan uang. Oleh karena itu, akan terlihat bahwa penguasa yang menerapkan sistem kapitalisme lebih sibuk mengejar angka IPM yang tinggi dengan mengedepankan pembangunan fisik dibanding fokus memenuhi kebutuhan asasi masyarakat.

Berbeda jauh dengan pengaturan rakyat dalam Islam. Penguasa memiliki tanggung jawab besar saat diberi amanah sebagai pejabat. Mereka akan memastikan sedemikian rupa bahwa rakyat yang berada dalam tanggungannya telah terpenuhi kebutuhan primer, mulai dari pangan, sandang, dan papan. Bahkan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan pun adalah kewajiban negara dalam pemenuhannya.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Pendidikan berkualitas dalam institusi Islam adalah hak warga negara. Pemerintah wajib memberikan fasilitas terbaik bagi yang miskin maupun kaya. Begitu pula dengan kesehatan. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan akan mampu membiayai semuanya secara gratis, atau setidaknya terjangkau, tetapi kualitas tetap terjamin. 

Penguasa dalam Islam akan fokus dalam menjamin kebutuhan rakyat, dengan berlandaskan pada keimanan dan ketakwaan. Sehingga, keberadaan negara menjadi api semangat bagi kaum muslimin untuk bersinergi mewujudkan pembangunan serta peradaban Islam yang hakiki. 

Skema sistem pendidikan, ekonomi, pertahanan, pemerintahan, peradilan dan sanksi Islam akan mampu membentuk sebuah sistem yang menyejahterakan rakyat. Bukan hanya jaminan kebahagiaan di dunia, tetapi keselamatan di akhirat pun akan didapat. Hal ini karena sesungguhnya sistem hidup dalam Islam adalah sistem yang diturunkan oleh Sang Pencipta manusia. Maka, ketika melaksanakan aturan-Nya, kita menjadi hamba yang taat. Dengan demikian, keberkahan pun akan senantiasa meliputi daulah Islam, bahkan menjadi rahmat bagi semesta alam.

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS. Al-A’raf 96)
Wallahu ‘alam bi ash Shawwab

Oleh: Rianny Puspitasari
Pendidik
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :