Tinta Media - Ahli Geostrategi dari Institut Muslimah negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara menilai Islamofobia subur di habitat sekuler.
“Virus ini semakin subur di tengah habitat sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan yang berakibat pada hilangnya pemahaman yang mendalam terhadap ajaran agama," tuturnya dalam acara Taman Ibunda: Keluarga Melawan Islamofobia, Selasa (12/4/2022) melalui kanal Youtube Khilafah Channel Reborn.
Menurutnya, agama bagi masyarakat sekuler cukup dibicarain di masjid, cukup diomongin sama Ustaz atau cukup didengar saat khutbah Jumat. Bukan untuk dipelajari apalagi diterapkan dan diperjuangkan.
Dalam mengukur sebuah keluarga itu sekuler atau tidak, bisa dilihat dari visi misi saat menikah. “Tujuan pernikahan itu mereka maknai seperti apa? Bagaimana menerjemahkannya dalam kehidupan sehari-hari (daily life),” jelasnya.
“Kita bisa melihat tujuan pendidikan anak di keluarga sekuler hanya untuk mengantarkan mereka mencapai jenjang pendidikan tertinggi, sukses karir, menikahkan mereka dengan jodoh yang juga tidak kalah punya status sosial,”simpulnya.
Dr. Fika mengatakan, yang lebih menyedihkan dari gaya hidup keluarga sekuler ini adalah merasa kesuksesan sudah dicapai ketika mereka sukses memenuhi berbagai kebutuhan keluarga tapi dengan cara meminjam uang ke bank. Kemudian praktek-praktek profesionalisme. Kalau bicara Ayah hanya sekedar mencari nafkah. Ibu didapur. ”Jadi literasi peran berbasis panduan agama itu sama sekali tidak terbangun,” tandasnya.
Level hidupnya rendah, lanjut Dr. Fika, hanya untuk konsumtif. Standar sukses itu kalau sudah bisa mengonsumsi barang-barang bermerk, bergengsi.
“Literasi agama minim tapi mudah menjust, kalau dengar info tentang paham radikal mudah menilai sesat. Ujaran kebencian dianggap paham sesat tanpa ada upaya mengkonfirmasi. Ini memang ciri keluarga sekuler yang gampang terkena Islamofobia,” bebernya.
Menurutnya, pemisahan agama sebagai otoritas termasuk dalam mewarnai pendidikan anak, sering memunculkan efek buruk. Konflik antar anggota keluarga, hilangnya birul walidain, hartanya tidak barokah. Padahal dalam Islam hubungannya antara ruh dan materi itu sangat erat. “Itu akan mempengaruhi kesakinahan kemawadahan dan warohmah sebuah keluarga,” tandasnya.
Untuk menangkal Islamofobia, menurut Dr. Fika, bisa merujuk pada kisah Lukman yang diabadikan dalam al-Quran surat Lukman ayat 12.
“Luqman telah diberikan hikmah oleh Allah SWT sebagai role model bagi orang tua dalam memberikan pendidikan keimanan yang luar biasa pada anaknya,” terangnya.
Ia mengungkap di dalam tafsir al Muyasar bahwa hikmah itu ada 3 kualifikasi.
Pertama, sebagai orang tua harus faqih fiddiin. "Harus menguasai agama agar memiliki kapasitas menjawab tantangan zaman termasuk menyiapkan anak-anak," ujarnya.
Kedua, aqlu/berpikir dalam arti ketika dia beriman, imannya harus conect dengan tantangan zaman. "Imannya harus produktif, bukan iman untuk ibadah ritual saja,” tegasnya.
Ketiga integritas yaitu menjadikan Islam sebagai otoritas dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup.
“Jadi, bahaya ketika orang tua tidak faqih fiddin, tidak berusaha meningkatkan diri untuk mendalami agama, tidak punya kesadaran iman untuk menjawab tantangan zaman dan tidak punya integritas sebagaimana yang dicontohkan oleh Luqman,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun