Hukum Salat Tarawih, Sahur, dan Niat Puasa Sebelum Terbuktinya Rukyatulhilal Ramadhan - Tinta Media

Jumat, 01 April 2022

Hukum Salat Tarawih, Sahur, dan Niat Puasa Sebelum Terbuktinya Rukyatulhilal Ramadhan

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1HGc51lc4yVD59Nh5WEDP8yPgJ0lhi-K3

Tinta Media - Ustadz, bolehkah kita salat tarawih, sahur, atau niat puasa pada malam hari menjelang masuknya Ramadan, tetapi belum ada pengumuman rukyatulhilal untuk Ramadan? (Nuhbatul Basyariah, Yogyakarta).

Jawab:

Tidak boleh atau haram hukumnya melakukan salat tarawih, makan sahur, atau niat puasa Ramadan walaupun sekadar untuk jaga-jaga, jika belum terbukti adanya rukyatulhilal untuk Ramadan. Keharaman melakukan hal-hal tersebut didasarkan pada 2 (dua) alasan sebagai berikut:

Pertama, karena sebelum terbuktinya rukyatulhilal untuk Ramadan, berarti malam itu masih dianggap Syakban. Ini adalah pengamalan istishaabul ashl, yakni kaidah fikih yang digunakan untuk mempertahankan berlakunya hukum asal sebelum adanya dalil yang mengubah hukum asal menjadi hukum baru. Kaidah fikih yang termasuk istishaabul ashl misalnya:

الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلىَ مَا كَان

“Al ashlu baqa`u ma kana ‘ala ma kana (yang menjadi hukum asal adalah tetapnya apa yang ada mengikuti apa yang telah ada sebelumnya)” (Tajuddin As Subki, Al Asybah wa An Nazha`ir, 1/49).

Berdasarkan kaidah fikih tersebut, berarti hukum asalnya adalah tetapnya Syakban, yaitu tidak berubah menjadi Ramadan sebelum terbuktinya rukyatulhilal untuk Ramadan. Jika rukyatulhilal Ramadan belum terbukti, berarti orang yang salat tarawih, makan sahur, atau niat puasa Ramadan, sebenarnya melakukan hal-hal itu sebelum waktu yang disyariatkan. Artinya, dia berarti salat tarawih pada Syakban, atau makan sahur pada Syakban, atau niat puasa Ramadan pada Syakban.

Jelas ini merupakan perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim, sesuai sabda Rasulullah saw.,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌ

”Barang siapa melakukan suatu perbuatan (amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR Bukhari no 2550; Muslim no 1718)

Kedua, karena sebelum terbuktinya rukyatulhilal Ramadan, berarti “sebab” pelaksanaan puasa Ramadan belum ada. Dengan demikian, hukum-hukum syariat yang menjadi akibat hukumnya (musabab) juga belum ada. Misalnya pelaksanaan puasa Ramadan, dan termasuk juga hukum-hukum syarak lainnya yang terkait yang hanya dilaksanakan pada Ramadan, seperti salat tarawih, sahur, atau niat puasa.

Dalam ilmu ushul fikih, “sebab” adalah apa-apa yang jika ada maka hukum syarak yang menjadi akibat hukumnya (“musabab”) akan ada (terwujud/terlaksana). Sebaliknya, jika “sebab” tidak ada, maka “musabab” juga tidak ada.

Contoh “sebab”, misalnya masuknya waktu adalah sebab pelaksanaan salat, tercapainya nisab adalah sebab pelaksanaan zakat mal, safar adalah sebab bolehnya mengqasar atau menjamak salat, akad nikah adalah sebab bolehnya jimak, akad syar’i adalah sebab sahnya kepemilikan barang, dan seterusnya (Imam Ghazali, Al Mustashfa fi ‘Ilmil Ushul, hlm.75; Imam Syathibi, Al Muwafaqat, 1/187).

Dalam hal ini hadis-hadis sahih telah menunjukkan dengan jelas bahwa yang menjadi “sebab” bagi pelaksanaan puasa Ramadan adalah rukyatulhilal, bukan yang lain (misalnya wujudul hilal melalui hisab hakiki). Di antaranya sabda Rasulullah saw.,

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين

”Berpuasalah kamu karena melihat hilal [Ramadan], dan berbukalah kamu (beridulfitrilah) karena melihat hilal [Syawal]. Maka jika pandangan kalian terhalang, sempurnakanlah bilangan Syakban sebanyak 30 hari.” (HR Bukhari no 1810; Muslim no 1080) (Muhammad Husain Abdullah, Mafahim Islamiyyah, 2/64).

Maka dari itu, jika rukyatulhilal Ramadan telah terbukti, berarti segala akibat hukumnya dapat dilaksanakan. Sebaliknya, jika rukyatulhilal itu tidak terbukti, maka segala akibat hukumnya tidak sah untuk dilaksanakan. Kaidah fikih yang terkait masalah “sebab” menetapkan:

لاَ يَبْقَى الْحُكْمُ بَعْدَ زَوَالِ سَبَبِهِ

“Laa yabqaa al hukmu ba’da zawaali sababihi (suatu hukum tidak berlaku jika sudah hilang/sudah tidak ada sebabnya).” (Muhammad Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, 2/949).

Walhasil, haram hukumnya melakukan salat tarawih, makan sahur, atau niat puasa Ramadan sebelum terbuktinya rukyatulhilal Ramadan karena bulan yang ada masih bulan Syakban dan apa yang menjadi sebab hukumnya, yaitu rukyatulhilal bulan Ramadan, tidak ada. Wallahu a’lam.

Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si., M.Si.
Founder Institut Muamalah Indonesia
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :