Tinta Media - Meroketnya harga berbagai komoditas seperti minyak goreng, batu bara dan tarif listrik, dinilai Koordinator Valuation for Energy and Infrastructure (Invest) Ahmad Daryoko, akibat negara menerapkan ideologi liberal.
"Yang menjadi masalah itu sebenarnya pada ideologi negara atau konstitusinya. Kalau konstitusinya liberal, jangan salahkan kalau mekanisme pasarnya juga menjadi liberal," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (20/4/2022).
Ia mempertanyakan tentang realitas amandemen UUD 1945. "Bukankah UUD 1945 sudah diamandemen menjadi UUD Liberal?" tanyanya.
Artinya, lanjut Ahmad wajar kalau harga migor pun tidak bisa dikendalikan, seperti BBM, batu bara, dan listrik. Termasuk juga komoditas di atas, akan mencari pasar yang lebih menguntungkan, termasuk ekspor.
Menurutnya, harus ada peran negara dalam mekanisme pasar bebas. "Yang dimaksud negara harus hadir ditengah rakyat itu, bukan aparat keamanan yang kemudian menindak/ menangkap para pedagang. Apapun alasannya. Prinsip dagang itu mengikuti mekanisme pasar bebas, kondisi supply and demand, bukan mekanisme tangkap ala aparat," terangnya.
Oleh karena itu, kata Ahmad kalau sektor strategis masih ingin tetap bisa dikendalikan, system harus tetap dibawah kendali negara yaitu pasal 33 UUD 1945.
Atau kalau merefer doktrin Islam, lanjut Ahmad, Islam juga termasuk yang di akui Negara ini. Dalam sebuah Hadits Almuslimuuna shuroka'u fii shalasin fil ma'i wal kala'i wan nar, washamanuhu haram yang artinya umat Islam berserikat atas tiga hal yakni air, ladang, dan api (energy, listrik, batubara, BBM, gas dan lain-lain). Ketiga komoditi tersebut haram hukumnya di komersialkan atau diperdagangkan.
Ia juga menekankan bahwa pentingnya mengembalikan peran negara yang mengacu pada pasal 33 UUD 1945 dan hadits.
"Dengan referensi pasal 33 UUD 1945 maupun hadits di atas , ladang (perkebunan sawit) mestinya harus dikuasai negara (dulu oleh Perkebunan Negara). Artinya komoditas migor mestinya di kelola sebagai public good jangan diserahkan ke taipan 9 naga commercial good," bebernya.
Terakhir, ia menegaskan bahwa jika perkebunan diserahkan ke swasta, sudah jelas harga tidak bisa dikendalikan.
"Karena sudah mengikuti mekanisme pasar bebas. Dan mestinya aparat hukum atau keamanan tidak bisa melakukan penindakan atau penangkapan terhadap pelaku pasar," pungkasnya. [] Nur Salamah
"Yang menjadi masalah itu sebenarnya pada ideologi negara atau konstitusinya. Kalau konstitusinya liberal, jangan salahkan kalau mekanisme pasarnya juga menjadi liberal," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (20/4/2022).
Ia mempertanyakan tentang realitas amandemen UUD 1945. "Bukankah UUD 1945 sudah diamandemen menjadi UUD Liberal?" tanyanya.
Artinya, lanjut Ahmad wajar kalau harga migor pun tidak bisa dikendalikan, seperti BBM, batu bara, dan listrik. Termasuk juga komoditas di atas, akan mencari pasar yang lebih menguntungkan, termasuk ekspor.
Menurutnya, harus ada peran negara dalam mekanisme pasar bebas. "Yang dimaksud negara harus hadir ditengah rakyat itu, bukan aparat keamanan yang kemudian menindak/ menangkap para pedagang. Apapun alasannya. Prinsip dagang itu mengikuti mekanisme pasar bebas, kondisi supply and demand, bukan mekanisme tangkap ala aparat," terangnya.
Oleh karena itu, kata Ahmad kalau sektor strategis masih ingin tetap bisa dikendalikan, system harus tetap dibawah kendali negara yaitu pasal 33 UUD 1945.
Atau kalau merefer doktrin Islam, lanjut Ahmad, Islam juga termasuk yang di akui Negara ini. Dalam sebuah Hadits Almuslimuuna shuroka'u fii shalasin fil ma'i wal kala'i wan nar, washamanuhu haram yang artinya umat Islam berserikat atas tiga hal yakni air, ladang, dan api (energy, listrik, batubara, BBM, gas dan lain-lain). Ketiga komoditi tersebut haram hukumnya di komersialkan atau diperdagangkan.
Ia juga menekankan bahwa pentingnya mengembalikan peran negara yang mengacu pada pasal 33 UUD 1945 dan hadits.
"Dengan referensi pasal 33 UUD 1945 maupun hadits di atas , ladang (perkebunan sawit) mestinya harus dikuasai negara (dulu oleh Perkebunan Negara). Artinya komoditas migor mestinya di kelola sebagai public good jangan diserahkan ke taipan 9 naga commercial good," bebernya.
Terakhir, ia menegaskan bahwa jika perkebunan diserahkan ke swasta, sudah jelas harga tidak bisa dikendalikan.
"Karena sudah mengikuti mekanisme pasar bebas. Dan mestinya aparat hukum atau keamanan tidak bisa melakukan penindakan atau penangkapan terhadap pelaku pasar," pungkasnya. [] Nur Salamah