Tinta Media - Menanggapi pernyataan Pak Mahfud MD yang mengharamkan bernegara ala Nabi (khilafah), Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menilai hal ini tidak fair.
“Menurut saya, tidak fair kalau kita mengharamkan atau ada orang yang mengharamkan khilafah dan juga memusuhi orang yang mempelajari bahkan mendakwahkan Khilafah,” nilainya pada rubrik Diskusi Media Umat: Mendirikan Negara Ala Nabi, Haramkah? Ahad(10/04/2022) di kanal YouTube Media Umat.
Sedangkan, menurut Prof. Suteki, dari sisi sejarah, demokrasi justru bukan cara yang benar dalam memerintah. Dari sejarahnya sekitar tahun 594, istilah dan sistem pemerintahan demokrasi itu sudah dianut, tetapi waktu itu justru ditentang oleh Socrates maupun Plato. “Karena dinilai oleh Socrates, cara-cara demokrasi ini justru tidak menggunakan Logika dan juga moral yang baik,” jelasnya.
Ia menjelaskan saat itu dikarenakan ukurannya adalah siapa yang paling besar atau mayoritas. “Tidak pada moral kebenaran, taruhlah begitu gampangnya,” paparnya.
“Lalu pada titik tertentu karena beliau itu mengatakan sikap skeptisnya terhadap demokrasi, maka Socrates sendiri dihukum dengan cara demokrasi juga, yaitu melalui voting rakyat yang waktu itu zaman Yunani belum besar. Nah, kebetulan waktu itu yang paling besar mengatakan ‘ya, socrates salah dan harus dihukum’,” paparnya lebih lanjut.
Dari situ, ia melihat sebenarnya demokrasi itu sejak awal mula dikatakan tidak baik. “Justru merusak atau bahkan dikatakan berbahaya untuk kehidupan umat manusia dan dalam pemerintahan. Itu karena ukurannya bukan persoalan moral kebenaran, tetapi justru mayoritas,” tegasnya.
Kemudian, Prof. Suteki membandingkannya dengan sistem khilafah seraya balik mempertanyakan statement dari Mahfud MD. “Banyak pertanyaan di sini, kalau misalnya kita sudah sepakat bahwa Rasulullah itu kan sebagai contoh yang terbaik, ya jadi Uswatun Hasanah, teladan yang baik, lalu apa yang pantas kita teladani dari Rasulullah?” tanyanya.
“Apakah hanya persoalan shalat? Sekarang soal puasa, apa soal zakat? Apakah Rasulullah dengan petunjuk Allah itu tidak mungkin memberikan pengaturan-pengaturan bagaimana mengelola negara, mengelola harta, berhubungan dengan negara luar, berperang, berdagang?” tanyanya kemudian.
Ia mengungkapkan bahwa memang ada perkembangan demokrasi itu tetap berjalan sampai di tahun 622 di Madinah an ada Constitution of Medina atau disebut dengan Tsaqofah Madinah atau Piagam Madinah. “Ini sebenarnya sebagai perkembangan baru. Kalau misalnya waktu itu demokrasi baik, tentu Rasulullah akan mengambil contoh atau mungkin Allah akan memberikan wahyu pada Rasulullah untuk mengambil demokrasi sebagai cara yang tepat untuk mengatur sistem pemerintahan,” ungkapnya.
“Ternyata tidak, justru Allah memberikan wahyu kepada Rasulullah itu untuk mengelola negara, menghukumi orang yang melakukan tindak pidana dan seterusnya dengan hukum-hukum Allah,” jelasnya.
Ia katakan bahwa ketika Rasulullah memimpin, dijalankannya suatu pemerintahan itu atas petunjuk Allah tidak dilakukan semena-mena. “Kemudian setelah Nabi, ada masa kekhalifahan, masa kekhalifahan ini juga tidak dilakukan semena-mena. Tentu juga mencontoh ala Nabi,” tuturnya.
Prof. Suteki juga membandingkan dengan sistem kerajaan. “Bagaimana kalau kita kembali ke sistem pemerintahan kerajaan yang pernah menguasai zaman Majapahit? Kekuasaan kita sampai di Asia Tenggara yang secara penuh misalnya, apa mau dihukum?” tanyanya.
“Gak bisa! Karena ini ada ide atau gagasan dan itu hak dari setiap warga negara untuk menyampaikan. Kalau saya akan batasi yang penting tidak menggunakan kekerasan dan juga tidak melakukan makar, terus salahnya di mana?” tambahnya.
Menurutnya hal ini justru menyalahi hakikat demokrasi yang digembar-gemborkan itu. “Maka saya katakan demokrasi itu akan mati ketika yang dijalankan itu justru kebalikan dari intinya dari demokrasi tadi,” pungkasnya.[] Raras