Haramkan Khilafah, Pakar Fikih Kontemporer: Pendapat Itu Salah Jika Tak Berdasar Dalil - Tinta Media

Jumat, 15 April 2022

Haramkan Khilafah, Pakar Fikih Kontemporer: Pendapat Itu Salah Jika Tak Berdasar Dalil

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1f5tvDlmh4duNX8a63wCKROjQZOv45_1N

Tinta Media - Pendapat Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof. Dr. Mahfud MD. yang menyebut tentang haram mendirikan negara ala Nabi (khilafah) dinilai salah oleh Pakar Fiqh Kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, M.Si.

“Kalaupun orang itu mempunyai pangkat yang tinggi tapi kalau argumentasinya tidak mempunyai dalil atau dasar, ya salah,” tuturnya pada rubrik Diskusi Media Umat: Mendirikan Negara Ala Nabi, Haramkah? Ahad (10/4/2022) di kanal YouTube Media Umat.

Sebaliknya, kata Ustaz Shiddiq, walaupun orang itu biasa-biasa saja, akan tetapi argumennya mempunyai dasar yang kuat, yaitu benar. “Itulah kaidah kita untuk menyikapi pendapat. Jangan apriori karena dia seorang menteri hukum, segala macam, terus otomatis benar, tentu tidak!” tegasnya.

Menurutnya, pendapat itu yang dilihat argumennya, bukan pangkat atau golongannya. “Walaupun yang mengucapkan itu bergelar Profesor, Doktor dan seterusnya, tapi kan sebuah pendapat itu yang dilihat argumennya, bukan pangkat atau golongan orang itu,”ungkapnya.

Kyai Shiddiq menjelaskan bahwa di dalam Al-Qur’an ada pelajaran yang penting untuk diambil. Ada ayat: “Qul haatu burhanakum inkuntum soodiqin.” Artinya: “Katakanlah: ‘datangkanlah bukti-buktimu, argumen-argumenmu, kalau kamu adalah orang-orang yang benar’.” Islam mengajarkan benar tidaknya tergantung kepada peluruhan atau argumen. “Kalau memang argumennya tidak ada, apa bisa itu disebut pendapat yang benar?” tanyanya.

Sedangkan pada kesempatan itu, Mahfud MD menyebut haram hukumnya mendirikan sebuah negara layaknya pada zaman Nabi Muhammad SAW karena katanya tidak ada nabi lagi dan tidak akan turun wahyu lagi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Ustaz Shiddiq tidak membenarkan argumen Mahfud MD tersebut dengan memberikan beberapa poin kritik sebagai berikut: Bahwa berakhirnya wahyu dan tiadanya nabi lagi, tidaklah berarti haram bagi umat Islam mendirikan Negara ala Nabi. Sebab Nabi SAW pada saat di Madinah, mempunyai dua kedudukan sebelum meninggal, yaitu: pertama, kedudukan sebagai nabi (manshib al nubuwwah), dan kedua, sekaligus kedudukan kepemimpinan (manshib ar ri`asah) sebagai kepala negara.

“Maka ketika Nabi wafat, kedudukan kenabian (manshib al nubuwwah) berhenti (wahyu dan nabi tak ada lagi), sedang kedudukan kepemimpinan (manshib ar ri`asah) sebagai kepala negara, tetap berlanjut,” jelasnya.

Ia memaparkan bahwa wafatnya Nabi SAW ini menjadi pertanda tugas kenabian ini berakhir, tidak ada lagi nabi dan wahyu lagi. Namun walau tugas kenabian berakhir, tugas kepemimpinan negara ini tak berakhir, melainkan dilanjutkan oleh khalifah-khalifah sebagai kepala negara Khilafah pengganti Nabi SAW. Dengan demikian, para khalifah tersebut, hakikatnya telah meneruskan negara ala Nabi Muhammad SAW. “Negara ala Nabi Muhammad SAW inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Khulafah atau Imamah,” paparnya.

Dalil bahwa walau tugas kenabian Nabi SAW berakhir, namun tugas kepemimpinan negara tak berakhir, disabdakan sendiri oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits shahih yak: “Dahulu Bani Israil dipimpin dan diatur segala urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan nabi lainnya. Dan sesungguhnya tak ada lagi nabi sesudahku, yang ada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak…" (HR Muslim, no 1842).

Menurutnya, hadits Nabi saw tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa:

Pertama, tidak ada lagi nabi lagi setelah beliau. Ini artinya, kedudukan pertama bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kenabian (manshib al nubuwwah) dengan mendapat wahyu langsung dari Allah, telah berakhir dengan wafatnya beliau.

Kedua, akan ada khalifah-khalifah setelah wafatnya Nabi SAW. Ini artinya, kedudukan kedua bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kepemimpinan (manshib ar ri`asah), tidaklah berakhir, melainkan digantikan dan diteruskan oleh para khalifah setelah wafatnya Nabi saw.

Ustaz Shiddiq menyimpulkan, ketika para khalifah itu menggantikan Nabi saw sebagai kepala negara, mereka tidak mendapat wahyu lagi, karena wahyu tidak turun lagi. Para khalifah itu pun juga bukan nabi-nabi, karena tidak ada nabi lagi setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Mereka hanyalah khalifah, manusia biasa, bukan Nabi, dan berpegang dengan wahyu yang terbukukan (Al Qur`an dan As Sunnah), bukan mendapat wahyu langsung dari Allah,

“Lalu, bagaimana mungkin mendirikan negara ala nabi dikatakan haram?” pungkasnya.[]Raras
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :