Empat Poin Kesimpulan Wajibnya Khilafah - Tinta Media

Minggu, 10 April 2022

Empat Poin Kesimpulan Wajibnya Khilafah

https://drive.google.com/uc?export=view&id=19a9YleHHZm7Itw9-CqUe21o8hQuAcHQT

Tinta Media - Pakar Fiqh Kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, M.Si., mengambil empat poin kesimpulan dari hasil analisisnya terhadap pendapat para ulama terkait hukum penegakan khilafah.

“Setelah saya menganalisis sekitar 27 pendapat ulama yang berkaitan dengan penemuannya hukum menegakkan Khilafah(Imamah) yang itu terwujud dengan membaiat Imam atau membaiat seorang Khalifah ini, ada empat poin kesimpulan,” jelasnya di Program Kajian Dhuha: Wajibnya Khilafah Menurut Ulama Berbagai Mazhab, Selasa (5/4/2022) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.

Pertama, bahwa khilafah atau imamah itu tidak diragukan lagi merupakan ajaran Islam. Sebab-sebab telah dinyatakan wajibnya oleh para ulama mengatakan khilafah atau Imam itu wajib, berarti itu ajaran Islam. “Itu bukan sekedar sejarah, memang selama itu terwujud dalam fenomena sejarah tetapi, sebenarnya Khilafah itu adalah ajaran atau norma atau hukum Islam,” jelasnya.

Ustaz Shiddiq menyampaikan, banyak ulama yang mengatakan selama Allah wajibkan, berarti itu ajaran Islam. Sama dengan kewajiban-kewajiban lain semisal wajibnya salat, puasa, zakat, dan haji.

Kedua, seluruh ulama yang terpercaya sepakat bahwa Khilafah itu hukumnya wajib. Pendapat ini merupakan kesepakatan atau konsensus mazhab fiqih sunni (Ahlus Sunnah waljamaah) yang empat, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, Bahkan wajibnya Khilafah disepakati pula oleh berbagai kelompok di luar Ahlus Sunnah wal Jamaah, seperti oleh kelompok
Murji’ah, Syiah, Mu’tazilah, Khawarij, dan sebagainya. G“Silakan lihat lagi pernyataan dari Imam Ibnu hazm misalnya, atau ada pendapat juga yang berasal dari ulama lain yang ini tidak hanya pendapat internal ahlussunnah tapi di luar itu juga sama sepakat menyatakan Khilafah adalah wajib,” paparnya.

Ketiga, kalaupun ada segelintir ulama yang mengingkari kewajiban Khilafah, pendapat ini dinilai syadz (menyimpang) dan yang tidak mu’tabar (tidak dianggap), yang mengingkari kewajiban Khilafah, pendapat ini dinilai menyimpang, sempalan dan ini dianggap tidak muktabar.

Hal ini sebagaimana kata Imam Al Qurthubi ketika mengomentari Al ‘Asham (secara harfiyah
bermakna “si tuli”), sebagai “orang yang memang tuli dari syariah” (haitsu kaana ‘an al syari’ah asham).
“Pendapat kontemporer yang seperti Al ‘Asham ini banyak dikeluarkan oleh orang-orang liberal misalnya pendapat Ali Abdul Raziq dan sebagainya ini kualitasnya lebih rendah daripada Al ‘Asham,” tegasnya.
Keempat, akan sangat sulit (untuk tidak mengatakan mustahil) untuk mencari rujukan pendapat ulama terdahulu yang mengingkari wajibnya Khilafah.
Menurutnya, para intelektual sekuler atau ulama suu`(ulama jahat) yang mencoba menipu umat Islam bahwa Khilafah itu tidak wajib.

“Akan terpaksa berbohong atau melakukan manipulasi yang jahat terhadap pendapat-pendapat terdahulu untuk berkata bahwa Khilafah itu tidak wajib,” paparnya.

Pendapat-Pendapat Ulama
Kesimpulan Ustaz Shiddiq tersebut di atas didasarkan pada sekitar 27 pendapat ulama atau mungkin lembaga fatwa yang percaya mengenai wajibnya Khilafah. Pendapat ulama tersebut membentang mulai dari Imam Al Mawardi yang meninggal tahun 450-an Hijriah sampai ulama-ulama pada masa sekarang, sekitar tahun 1400-an Hijriyah. “Rentang waktunya ini kira-kira 1000 tahun,” tuturnya.

Ia menyampaikan kutipan pendapat Imam Al Mawardi :Imam Mawardi (w. 450 H) berkata, ”Melakukan akad Imamah (Khilafah) bagi orang yang [mampu] melakukannya, hukumnya wajib berdasarkan Ijma’, meskipun Al Asham menyalahi mereka (ulama) [dengan menolak wajibnya Khilafah]“ [Imam Mawardi, Al Ahkam Al Sulthaniyyah, hlm. 5.]

Kyai juga mengambil pendapat Imam Ibnu Hazm: Imam Ibnu Hazm yang wafat pada tahun 456 H. Imam Ibnu Hazm berkata,”Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syi’ah, dan semua Khawarij atas wajibnya Imamah(Khilafah)...”
(Ibnu Hazm, Al Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm. 87).

Selain itu, Imam Ibnu Hazm juga berkata,”Mereka (ulama) telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu fardhu dan bahwa tidak boleh tidak harus ada seorang Imam(Khalifah), kecuali An Najadat...” (Ibnu Hazm, Maratibul Ijma’, hlm. 207).

Ustaz Shiddiq juga mengutip pendapat Syeikh Abdurrahman Al Jaziri yang wafat tahun 1360 H berkata: ”Telah sepakat para Imam [Yang Empat] bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu; dan bahwa tak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam yang menegakkan syiar-syiar agama dan melindungi orang-orang yang dizhalimi dari orang-orang zhalim; dan bahwa tak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam, baik keduanya sepakat maupun bertentangan.” Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, Juz V hlm. 416.

Menurutnya kitab ini (Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah) yang sangat komprehensif karena menghimpun pendapat dari berbagai mazhab dalam satu kalimat. Dalam kutipan ini juga terdapat hal yang tidak ada pada kutipan yang lain, bahwa Imam(Kholifah) untuk kaum Muslimin juga disepakati oleh imam-imam yang empat itu, seluruh dunia itu hanya ada satu imam. Tidak boleh dua imam, apakah itu berdamai hidup berdampingan atau konflik.

“Seluruh dunia itu tidak boleh memiliki dua imam, apalagi lebih,” tandasnya.[]Raras
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :