Dari Vonis 6 Tahun hingga Bebas Dakwaan, di Mana Keadilan untuk Laskar F*P*1 Berada? - Tinta Media

Rabu, 06 April 2022

Dari Vonis 6 Tahun hingga Bebas Dakwaan, di Mana Keadilan untuk Laskar F*P*1 Berada?

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1Onnh1hGySqkmv_waF1Nf3MHa0meuPG8e

Tinta Media - Betapa lucunya hukum yang ada saat ini, “Pembunuh bebas dari dakwaan.” Apakah privilege hukum ini didapat karena mereka kelompok 'berbaju cokelat'?

Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menilai bahwa Brigadir Polisi Satu (Briptu) Fikri Ramadhan dan Inspektur Polisi Dua (Ipda) Mohammad Yusmin Ohorella, terbukti dengan dakwaan primer yakni Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan secara sengaja juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Akibat perbuatan tersebut, JPU menjerat kedua terdakwa ini dengan hukuman 6 tahun penjara.

Namun, ketika kasus berada di tangan Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), terdakwa pembunuhan sewenang-wenang (unlawful killing) ini justru divonis bebas. Ketua majelis hakim M Arif Nuryanta dalam putusan sidang di PN Jaksel, Jalan Ampera Raya, Jumat (18/3/2022), mengatakan bahwa kedua terdakwa tidak dijatuhi hukuman karena pembenaran dan pemaaf. Sehingga, sekalipun kedua terdakwa tersebut terbukti dalam dakwaan primer, tetapi masuk dalam kategori pembelaan diri yang terpaksa.

Selain bebas dari tuntutan, Arif juga memerintahkan agar kemampuan, hak, dan martabat kedua polisi itu dipulihkan. Tak cukup sampai di situ, majelis hakim juga merintahkan sejumlah barang bukti dikembalikan ke Polda Metro Jaya, ke keluarga korban, dan sisanya dimusnahkan.

Tidakkah dari keputusan vonis ini, nyawa manusia seperti benda yang mudah dipermainkan? Hanya sekadar klaim pembelaan diri dari kedua terdakwa, maka yang bersangkutan terbebas vonis hukuman 6 tahun penjara? Hukuman yang sebenarnya juga tidak pantas jika disandingkan dengan nyawa manusia?

Jika karena klaim pembelaan diri dan permintaan maaf mereka bisa terbebas dari tuntutan, maka seharusnya hal yang sama juga berlaku untuk seorang suami yang membunuh pemerkosa istrinya. Seharusnya juga berlaku bagi seorang gadis yang membunuh karena membela diri dari orang yang hendak memperkosanya. Namun, nyatanya hukum berlaku berbeda untuk kedua rakyat jelata itu.

Sistem sanksi hukum sekuler yang diterapkan menjadikan keadilan hanya impian. Hukum berlaku seolah pisau dapur, tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Produk hukumnya berubah-ubah, dibolak-balik, dan disesuaikan dengan situasi dan tersangka yang ada.

Nyawa manusia tak ada artinya dalam sanksi sistem ini. Untuk kasus pembunuhan di atas, dari tuntutan 6 tahun penjara ternyata bisa bebas dari dakwaan. Padahal, Allah Al Khalik, pencipta semua manusia di muka bumi ini, menghargai nyawa manusia lebih tinggi dari dunia.

Rasulullah ï·º bersabda:
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Tirmidzi 1455, dan disahihkan al-Albani).

Lantas, bukankah sangat lancang jika manusia yang notabene adalah hamba Allah itu sendiri, membuat produk hukum, dan menghargai nyawa manusia dengan 6 tahun penjara, bahkan bebas dari dakwaan?

Inilah produk hukum yang dihasilkan dari sistem sekularisme demokrasi. Sistem ini tidak menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai pemutus hukum (sanksi), melainkan kesepakatan, mufakat, dan diskusi antar manusia. Oleh karena itu, selamanya tidak akan ada keadilan jika kaum muslimin tetap berada dalam sistem yang batil ini.

Keadilan tidak akan terwujud kecuali jika diterapkan sistem sanksi yang didasari akidah yang sahih, yaitu Islam. Dalam sistem sanksi Islam, jika ada kasus pembunuhan tanpa hak, maka ini termasuk kasus jinayat (penyerangan terhadap manusia) hingga terbunuh. Maka, sanksi yang diberikan kepada pelaku bisa qishash (hukuman yang setimpal), diyat, atau kafarah. Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki dalam kitabnya “Nizhâm al-’Uqûbât”, menjelaskan:

Jika kasus pembunuhan itu disengaja, wali korban boleh meminta qishash atau memaafkan dengan mengambil diyat dari pelaku sebanyak 100 ekor onta dan 40 ekor di antaranya telah bunting.

Jika kasus pembunuhan itu mirip disengaja (syibh al-’amad), maka diyatnya 100 ekor unta, dan 40 ekor di antaranya bunting.

Jika kasus pembunuhan tidak sengaja (khatha’), misalnya perbuatan itu tidak ditujukan untuk membunuh seseorang, tetapi tanpa sengaja membuat terbunuhnya orang lain, maka kasus ini sanksinya  membayar diyat 100 ekor unta dan membayar kafarah dengan cara membebaskan budak. Jika tidak memiliki budak, pelaku harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. Misal, menembak hewan buruan, tetapi justru terkena manusia dan menyebabkan orang itu meninggal.

Contoh kedua, Misalnya seseorang membunuh orang yang dikira kafir harbi di dar al kufr, tetapi ternyata dia sudah masuk Islam. Maka, sanksinya adalah membayar kafarat saja, dan tidak wajib diyat.

Sanksi ini tidak bisa diganggu gugat, direvisi, atau dihapus sesuka hakim, karena hukum ini sudah ditetapkan Allah dan Rasul. Jadi, bisa dipastikan bahwa masyarakat tidak akan bermain-main dan mereka tercegah dari perbuatan mungkar. Sanksi ini juga akan membuat pelaku jera. Inilah fungsi dari diberlakukannya sistem sanksi Islam, yakni zawajir atau pencegahan.

Adapun fungsi lainnya yaitu sebagai jawabir atau penebus, artinya pelaku tidak akan mendapat hukuman lagi di akhirat karena sudah diberi sanksi di dunia. Namun, semua ini hanya bisa bisa dirasakan jika umat kembali hidup dengan penerapan  syariah kaffah, di bawah naungan khilafah.

Oleh: Nonik
Mahasiswa Pascasarjana dan Aktivis Dakwah Kampus
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :