Tinta Media - Pernahkah anda makan bakso? Bola-bola daging disajikan dengan kuah kaldu yang gurih dan mie gandum sebagai pendampingnya. Apalagi ditaburi sedikit daun seledri dan bawang goreng yang harum baunya. Mmm ... Sangat menggugah selera.
Tentu saja tidak semua orang suka bakso. Ada yang lebih suka mie ayam, soto Sokaraja, maupun makanan lainnya. Namun, hal itu tidak membuat orang yang tidak suka makan bakso menjadi mengharamkan bakso, bukan? Atau sebaliknya, tidak harus orang yang suka makan bakso menganggap yang tidak suka makan bakso itu melanggar hukum. Ini karena memang hukum makan bakso itu boleh alias mubah saja.
Ngomong-ngomong tentang mubah, kita perlu membahas aktivitas yang sama-sama mubah, yaitu poligami. Poligami, atau sebenarnya lebih tepat disebut dengan poligini adalah sebuah aktivitas yang mubah saja. Tidaklah berdosa apabila kita melakukannya, juga tidak berpahala bagi yang tidak melakukan.
Ta'dud (poligini) sendiri adalah sebuah tatanan keluarga yang di dalamnya ada satu laki-laki yang memiliki lebih dari satu istri, bisa empat, tiga, maupun dua. Semua itu boleh dilakukan sesuai dengan preferensi, dan pelaksanaannya pun diatur didalam syari'at Islam.
Di balik pelaksanaan hukum syara', selalu ada maslahat. Oleh karenanya, pengaturan poligini di dalam Islam adalah sebuah solusi yang diberikan oleh Allah Swt. kepada kita untuk menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan, terutama terkait hubungan laki-laki dan perempuan. Oleh karenanya, pembahasan poligami tidak selalu harus dikaitkan dengan hawa nafsu dan aspek kelelakian.
Seorang lelaki bisa melakukan ta'dud bila mau, bila sempat, dan bila mampu. Tidak masalah baginya untuk mempunyai istri lebih dari satu. Berbeda dengan agama Nasrani, misalnya. Seorang penganut ajaran Katholik diharuskan hanya mempunyai satu istri dan hanya bisa berpisah jika salah satu mati. Dengan ketentuan satu istri, sebenarnya permasalahan sosial pada akhirnya menjadi banyak yang tidak terselesaikan, terutama terkait pergaulan laki-laki dan perempuan.
Ketika Islam datang ke nusantara, penerapan syari'atnya telah membuat tata laksana poligami lebih teratur dan membawa maslahat bagi semua pihak yang melaksanakan. Sebelum Islam datang, para penguasa dan orang-orang kaya memiliki hak untuk mengawini banyak istri. Bahkan, lebih banyak lagi yang bisa mereka jadikan gundik, yaitu wanita yang dinafkahi lahir batin, tetapi tidak dinikahi secara sah, meskipun disukainya.
.
Di masa lalu, bahkan saling mencuri istri adalah hal yang sudah biasa dilakukan oleh orang-orang yang mampu untuk melakukan. Hal ini tentu saja telah menyebabkan berbagai permasalahan sosial yang tak jarang menimbulkan peperangan. Bisa dibayangkan kegaduhan dan dinamika yang sangat fluktuatif dikarenakan tidak diaturnya pergaulan lelaki dan perempuan.
Oleh karena itu, setelah adanya kesultanan yang menerapkan sebagian hukum Islam, permasalahan pernikahan, termasuk poligami ini mendapat perhatian yang cukup besar. Ada petugas di masing-masing desa yang senantiasa memberikan penyuluhan kepada masyarakat awam tentang bagaimana Islam mengatur kehidupan, termasuk dalam hal perkawinan.
Oleh karena itu, pelaksanaan poligami setelah Islam datang menjadi lebih memuaskan semua pihak, sehingga pelaksanaan poligami menjadi bagian dari pelaksanaan kehidupan masyarakat yang islami. Bisa dikatakan bahwa di zaman itu, lelaki yang melakukan poligami sangat biasa dan sangat normal. Di zaman itu, pembahasan tentang poligami tidaklah seruncing pembahasan tentang kafir penjajah dan perlawanan terhadap penjajahan.
Setelah masuk dan berkuasanya penjajah dari Eropa beserta kristenisasinya, perkara hubungan lelaki dan perempuan mengalami pengaturan ulang. Sesuai dengan pandangan pernikahan mereka, maka pengarusutamaan monogami sangat massif dilakukan secara struktural. Apalagi, yang biasa berpoligami adalah orang Islam, yaitu para pemberontak pribumi menurut versi penjajah.
Oleh karena itu, propaganda hitam terhadap buruknya praktik poligami menjadi santapan sehari-hari. Kaum feminis yang lahir di Eropa pada saat revolusi sosial melawan dominasi gereja di sana juga ikut terbawa ke nusantara. Mereka menyuarakan kesetaraan gender antara lelaki dan perempuan. Secara otomatis yang dipersoalkan adalah hak laki-laki yang diperbolehkan poligami. Hal ini tentu saja semakin memperkeruh suasana.
Dalam kerangka memperkecil pengaruh Islam di masyarakat, pelaksanaan poligami juga dipersulit oleh pemerintah penjajah Belanda. Mereka memberikan aturan yang ketat bagi yang ingin melaksanakannya sehingga pelaksanaan poligami yang sebelumnya menjadi solusi perkawinan, lambat laun mulai ditinggalkan.
Demikianlah, pada akhirnya secara kultural maupun struktural, pelaksanaan syari'at Islam di nusantara telah direduksi sedemikian rupa, termasuk juga perkara poligami. Efeknya tentu saja kita rasakan hingga saat ini, yaitu wacana poligami sering menimbulkan polemik yang tidak ada hentinya, bahkan di kalangan aktivis Islam itu sendiri.
Dalam kehidupan kapitalis sekuler yang telah berhasil diterapkan oleh penjajah saat ini, yang seharusnya menjadi fokus pembahasan seluruh muslim adalah bagaimana mengembalikan kehidupan Islam seperti sebelumnya, seperti ketika khilafah rasyidah mengatur kehidupan. Inilah yang harus menjadi agenda utama pembahasan di setiap kesempatan.
Kalau masalah bakso, ketika ada kesempatan mencari, saya lebih suka bakso yang kecil-kecil, tetapi banyak, daripada bakso yang satu dan besar ukurannya. Namun, itu preferensi saja. Gak masalah dan boleh-boleh saja sesuai kemauan, kesempatan, dan kemampuan kantongnya. Akan tetapi, jangan setiap saat Anda menjadikan bakso menjadi wacana, ya! Kecuali Anda memang pejuang bakso. Wallahu a'lam bishshawwab.
Oleh: Trisyuono Donapaste
Sahabat Tinta Media