Tinta Media - Di saat masyarakat muslim bersuka-cita menyambut datangnya bulan Ramadan, pemerintah justru memberikan hadiah berupa kebijakan kenaikan harga BBM jenis Pertamax RON 92, tepatnya pada tanggal 1 April lalu.
Sebagaimana dilansir dari media elektronik Tirto.id, Erick Thohir (Menteri BUMN) saat memberikan kuliah umum di Universitas Hasanuddin Makassar, menyatakan bahwa harga Pertamax akan mengikuti pergerakan harga minyak dunia atau dengan kata lain tidak lagi disubsidi oleh pemerintah. Oleh karenanya, pemerintah menetapkan tarif Pertamax naik menjadi Rp12.500–Rp13.000 per liter.
Kebijakan kenaikan harga Pertamax ini berimbas pada beralihnya penggunaan BBM dari Pertamax ke BBM dengan harga di bawahnya, yaitu Pertalite. Meskipun migrasi pengguna Pertamax ke Pertalite ini masih sebuah spekulasi, tetapi fenomena tersebut mustahil tidak terjadi saat harga kebutuhan bahan pokok ikut terkerek sebagai efek domino kenaikan Pertamax.
Menurut mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, peralihan pengguna Pertamax menuju BBM bersubsidi juga akan berdampak pada bertambahnya beban APBN (cnbcindonesia.com, 1/4/2022).
Pengamat IndiGo Network, Ajib Hamdani memperkirakan terjadinya kenaikan inflasi. Inflasi tersebut timbul sebagai dampak dari terbatasnya ketersediaan Premium dan Pertalite sehingga masyarakat mau tidak mau akan membeli BBM jenis Pertamax, meskipun dengan harga yang lebih tinggi (Tirto.id, 1/4/2022).
Kapitalisme Masih Menjajah Negeri
Melihat banyaknya dampak yang ditimbulkan dari kenaikan harga BBM nonsubsisdi tersebut, seyogyanya kita tidak boleh melupakan akar masalah, mengapa kenaikan harga komoditas yang tinggi konsumsinya ini terjadi, mengingat negeri ini kaya akan sumber daya alam.
Sebenarnya, kenaikan harga khusus Pertamax bukan kali pertama terjadi di masa pemerintahan Joko Widodo. Beberapa pejabat pemerintah menjelaskan bahwa penyebabnya adalah perang yang terjadi antara Rusia–Ukraina. Namun, terlalu naif jika hanya mengambinghitamkan peperangan, karena pengelolaan minyak yang ada di dunia dikuasai oleh segilintir orang yang memiliki kapital tinggi. Mereka bebas memperhjualbelikan minyak demi keuntungan pribadi semata.
Asas yang melandasi pengelolaan minyak oleh para pemiliki cuan besar adalah kapitalisme. Mereka tidak akan peduli dampak yang dirasakan oleh rakyat di bawah manakala harga minyak meroket.
Ini membuktikan bahwa kapitalisme masih menjajah negeri ini. Namun, banyak kalangan elit pemerintahan masih tutup mata terhadap akar masalah ini. Entah karena mereka yang kurang paham atau justru merekalah para kapital yang dengan sadar abai terhadap kesejahteraan rakyat.
Lantas, apakah kita masih tetap menganggap kenaikan harga BBM ini sebagai rutinitas yang bisa dimaklumi? Atau justru membuat kita sadar tentang bahaya kapitalisme yang selama ini masih mendominasi kehidupan kita?
Islam Solusi Hakiki
Indonesia adalah negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Bagi kaum muslimin, sudah menjadi bagian dari akidah Islam bahwa Syariat Islam adalah aturan bagi kehidupan. Karena itu wajib bagi setiap muslim meyakini bahwa Al Qur’an dan hadis adalah sumber hukum bagi segala problem, tak terkecuali urusan kebijakan yang diputuskan oleh pemimpin.
Islam merupakan agama yang sempurna, paripurna, mencakup seluruh aturan manusia, baik yang berhubungan dengan Sang Pencipta, diri sendiri, ataupun hubungan bermasyarakat–bernegara. Maka dari itu, untuk urusan pengelolaan sumber energi seperti bahan bakar minyak, Islam memiliki landasan yang kuat.
Dari hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abdulah bin Said, dari Abdullah bin Khirasy bin Khawsyab asy-Syaibani, dari al-‘Awam bin Khawsyab, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas ras. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
اَلْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمنَهُ حَرَامٌ
Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api; dan harganya adalah haram.
Hadis di atas menyatakan bahwa kaum muslimin dan manusia seluruhnya berserikat dalam air, padang rumput (hutan, pertanian dsb), dan api (sumber energi). Artinya, saat kaum muslimin dan umat lain berkumpul dalam sebuah tatanan kehidupan, ketiga hal tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu. Akan tetapi, syariat memerintahkan agar ketiganya dimiliki dan dimanfaatkan secara bersama dengan pengelolaan diserahkan kepada pemimpin kaum muslimin. Harapannya, seluruh umat manusia dapat merasakan manfaat dari kekayaan alam yang Allah anugerahkan.
Penerapan hadis di atas tentu tidak akan menyebabkan kenaikan harga BBM seperti yang terjadi di rezim kapitalistik saat ini. Tentu saja penerapan Syariat Islam tersebut hanya dapat terwujud pada sebuah negara yang menegakkan Islam secara menyeluruh di segala aspek kehidupan. Dengan demikian, keresahan akibat kenaikan harga BBM mustahil terjadi dan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam benar-benar teraih. Wallahua’lam bishawab.
Oleh: Risa Hanifah
Sahabat Tinta Media