Tinta Media - Sebagai rakyat , penulis terbengong melihat siaran pers Kejaksaan Agung (tv one jam 15.15 wib, Selasa 19 April 2022) yang mengumumkan bahwa telah menetapkan berbagai pihak sebagai tersangka export minyak goreng !
Pertanyaannya, bukankah UUD 1945 sudah di amandement menjadi UUD Liberal ? Artinya , wajarlah kalau harga "migor" pun tidak bisa dikendalikan, seperti BBM, batu bara, dan listrik ! Termasuk juga komoditas diatas akan mencari pasar yang lebih menguntungkan (termasuk eksport) !
Artinya, yang menjadi masalah itu sebenarnya pada Ideologi Negara/ Konstitusinya ! Kalau Konstitusinya Liberal, jangan salahkan kalau mekanisme pasarnya juga menjadi liberal !
Yang dimaksud Negara harus hadir ditengah rakyat itu, bukan aparat keamanan yang kemudian menindak/"nangkepin" para pedagang ! Apapun alasannya ! Prinsip dagang itu mengikuti mekanisme pasar bebas ( kondisi supply and demand ) bukan mekanisme "tangkap menangkap" ala aparat hukum/aparat keamanan !
Makanya kalau sektor strategis masih ingin tetap bisa dikendalikan, system harus tetap dibawah kendali negara yaitu pasal 33 UUD 1945. Atau kalau merefer doktrin Islam (ingat Islam juga termasuk yang di akui Negara ini), dalam sebuah Hadhist "Almuslimuuna shuroka'u fii shalasin fil ma'i wal kala'i wan nar, washamanuhu haram" yang artinya "umat Islam berserikat atas tiga hal yakni air, ladang, dan api (energy, listrik, batubara, BBM, gas dll) atas ketiga komoditi tersebut haram hukumnya di komersialkan/diperdagangkan".
Artinya dengan referensi pasal 33 UUD 1945 maupun Hadhist diatas , ladang (perkebunan sawit) mestinya harus dikuasai negara (dulu oleh Perkebunan Negara ) ! Artinya komoditas migor mestinya di kelola sebagai "Public good", jangan diserahkan ke Taipan Naga ("Commercial good") ! Kalau perkebunan sawit diserahkan ke swasta akhirnya migor sudah menjadi "Commercial good" dan tdk bisa dikendalikan, karena sudah mengikuti mekanisme pasar bebas ! Dan mestinya aparat hukum/keamanan tidak bisa melakukan penindakan/penangkapan terhadap pelaku pasar !
Begitu juga untuk BBM, Batu bara, dan listrik. Komoditas2 ini mestinya diperlakukan sbg "Public good", tetapi para "Peng Peng" seperti Luhut BP, JK, Erick Tohir, Dahlan Iskan, malah ikut "main" disini. Akhirnya komoditas diatas otomatis menjadi "Commercial good" yang susah dikendalikan !
KESIMPULAN :
Rezim ini telah merubah beberapa komoditas dari "Public good" menjadi "Commercial good". Tetapi tiba2 mengerahkan aparat hukumnya menindak pelaku usaha komoditas tersebut, seperti seolah olah telah melakukan pelanggaran terhadap "Public good" !
Terus ngapain teriak teriak NAWA CITA ??
Rezim "bingung" !
MAGELANG, 19 APRIL 2022.
Oleh: Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.
Pertanyaannya, bukankah UUD 1945 sudah di amandement menjadi UUD Liberal ? Artinya , wajarlah kalau harga "migor" pun tidak bisa dikendalikan, seperti BBM, batu bara, dan listrik ! Termasuk juga komoditas diatas akan mencari pasar yang lebih menguntungkan (termasuk eksport) !
Artinya, yang menjadi masalah itu sebenarnya pada Ideologi Negara/ Konstitusinya ! Kalau Konstitusinya Liberal, jangan salahkan kalau mekanisme pasarnya juga menjadi liberal !
Yang dimaksud Negara harus hadir ditengah rakyat itu, bukan aparat keamanan yang kemudian menindak/"nangkepin" para pedagang ! Apapun alasannya ! Prinsip dagang itu mengikuti mekanisme pasar bebas ( kondisi supply and demand ) bukan mekanisme "tangkap menangkap" ala aparat hukum/aparat keamanan !
Makanya kalau sektor strategis masih ingin tetap bisa dikendalikan, system harus tetap dibawah kendali negara yaitu pasal 33 UUD 1945. Atau kalau merefer doktrin Islam (ingat Islam juga termasuk yang di akui Negara ini), dalam sebuah Hadhist "Almuslimuuna shuroka'u fii shalasin fil ma'i wal kala'i wan nar, washamanuhu haram" yang artinya "umat Islam berserikat atas tiga hal yakni air, ladang, dan api (energy, listrik, batubara, BBM, gas dll) atas ketiga komoditi tersebut haram hukumnya di komersialkan/diperdagangkan".
Artinya dengan referensi pasal 33 UUD 1945 maupun Hadhist diatas , ladang (perkebunan sawit) mestinya harus dikuasai negara (dulu oleh Perkebunan Negara ) ! Artinya komoditas migor mestinya di kelola sebagai "Public good", jangan diserahkan ke Taipan Naga ("Commercial good") ! Kalau perkebunan sawit diserahkan ke swasta akhirnya migor sudah menjadi "Commercial good" dan tdk bisa dikendalikan, karena sudah mengikuti mekanisme pasar bebas ! Dan mestinya aparat hukum/keamanan tidak bisa melakukan penindakan/penangkapan terhadap pelaku pasar !
Begitu juga untuk BBM, Batu bara, dan listrik. Komoditas2 ini mestinya diperlakukan sbg "Public good", tetapi para "Peng Peng" seperti Luhut BP, JK, Erick Tohir, Dahlan Iskan, malah ikut "main" disini. Akhirnya komoditas diatas otomatis menjadi "Commercial good" yang susah dikendalikan !
KESIMPULAN :
Rezim ini telah merubah beberapa komoditas dari "Public good" menjadi "Commercial good". Tetapi tiba2 mengerahkan aparat hukumnya menindak pelaku usaha komoditas tersebut, seperti seolah olah telah melakukan pelanggaran terhadap "Public good" !
Terus ngapain teriak teriak NAWA CITA ??
Rezim "bingung" !
MAGELANG, 19 APRIL 2022.
Oleh: Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.