Tinta Media - Terdakwa Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M. Yusmin Ohorella divonis lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara penembakan laskar F*P*1 di Km 50 Tol Cikampek. Dalam putusannya Majelis Hakim menyatakan bahwa keduanya memang terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan primer Penuntut Umum. Namun perbuatan itu dilakukan dalam rangka “pembelaan terpaksa melampaui batas”. Oleh karena itu, putusan menyatakan tidak dapat dijatuhi pidana karena adanya alasan “pembenar” dan “pemaaf”. Selengkapnya bunyi putusan sebagai berikut:
“Mengadili, menyatakan Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagai dakwaan primer Penuntut Umum, menyatakan perbuatan Terdakwa Fikri Ramadhan dan M. Yusmin melakukan tindak pidana dakwaan primer dalam rangka pembelaan terpaksa melampaui batas, menyatakan tidak dapat dijatuhi pidana karena alasan pembenaran dan pemaaf.”
Pengadilan mendalilkan bahwa tindakan “pembelaan terpaksa melampaui batas” dilakukan guna mempertahankan serta membela diri atas serangan anggota F*P*1 yang dilakukan dengan cara mencekik, mengeroyok, menjambak dan merebut senjata milik Terdakwa.
Disebutkan dalam putusan a quo terdapat dua alasan penghapus pidana yakni, “pembenar” dan “pemaaf”. Keduanya alasan tersebut ditujukan dalam rangka “pembelaan terpaksa melampaui batas”. Padahal, masing-masingnya memiliki perbedaan yang signifikan. Menurut doktrin hukum, alasan “pembenar” menunjuk pada “pembelaan terpaksa” (noodweer) sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP. Adapun alasan “pemaaf” mengacu pada “pembelaan terpaksa melampaui batas” (noodweerexces) berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (2) KUHP. Dengan demikian adanya perjumpaan dua alasan penghapus pidana tersebut yang ditujukan pada Terdakwa dalam rangka “pembelaan terpaksa melampui batas” patut dipertanyakan. Penerapan masing-masingnya berbeda.
Alasan penghapus pidana dalam hal adanya alasan “pemaaf” bersifat subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat. Adapun alasan “pembenar” bersifat objektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain diluar batin si pembuat. Perbuatan yang dilakukan dengan kondisi “pembelaan terpaksa melampaui batas” yang notabene sebagai alasan “pemaaf” menjadi membingungkan dengan ditambahkan dengan alasan “pembenar”.
Antara alasan “pemaaf” dan “pembenar” memiliki ‘kamar’ yang berbeda dan oleh karenanya ayatnya juga berbeda. Perihal “pembelaan terpaksa melampui batas” termasuk ‘kamar kedua’ dan oleh karena itu ditempatkan pada ayat (2) Pasal 49 KUHP. Logika hukumnya, bagaimana mungkin “pembelaaan terpaksa melampui batas” dimasukkan juga ke dalam ‘kamar kesatu’ (in casu ayat 1 Pasal 49 KUHP). Disini letak kontradiksi penggabungan kedua alasan penghapus pidana tersebut. Ketika dua alasan tersebut dimasukkan dalam satu kondisi, maka didalamnya terbenih kondisi yang lainnya (in casu “pembelaan terpaksa”). Pada yang demikian itu menimbulkan implikasi bahwa pembelaan diri dalam rangka “pembelaan terpaksa” harus memenuhi syarat “tiada jalan lain” untuk menghindarkan dirinya kecuali harus melakukan perbuatan itu. Oleh karena itu, sedapat mungkin dilakukan upaya menghindar. Ketika upaya menghindar tidak dapat dilakukan, maka barulah “pembelaan terpaksa” dapat dilakukan. Tegasnya upaya menghindar merupakan suatu keharusan. Disini dipertanyakan apakah memang benar “tiada jalan lain” untuk menghindar? Bukankah masih ada kesempatan untuk menghentikan mobil, untuk kemudian diambil tindakan seperlunya.
Kemudian menyangkut sifat pembelaan itu sendiri, dipersyaratkan harus proporsional. Pembelaan itu harus seimbang dengan serangan yang dialami. Tidak dapat dibenarkan pembelaan melebihi (melampui) dari serangan. Asas ini disebut sebagai asas subsidiariteit. Harus seimbang antara kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai di satu pihak dan kepentingan yang dikorbankan. Jadi, harus proporsional. Kembali dipertanyakan, mengapa Terdakwa tidak menggunakan kesempatan guna sekedar melumpuhkan dengan tembakan yang tidak mengarah pada kematian?
Sejatinya alasan “pemaaf” maupun “pembenar” penerapannya ditujukan bagi pihak yang berpotensi sebagai korban tindak pidana. Dengan demikian, korban yang melakukan “pembelaan terpaksa” atau “pembelaan terpaksa melampaui batas”, sesuai dengan kualitasnya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Pada perkara a quo, Terdakwa bukan termasuk kualifikasi yang demikian. Terdakwa tidak mengalami “keguncangan jiwa yang sangat hebat” atau mengalami “tekanan jiwa yang hebat”. Perihal “keguncangan jiwa yang sangat hebat” atau “tekanan jiwa yang hebat”, sehingga tidak berfungsinya akal atau batin secara normal yang disebabkan suatu serangan sebagaimana didalikan adalah tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin didalilkan adanya serangan yang “menggoncangkan jiwa secara hebat” atau “tekanan jiwa yang hebat”, ketika para laskar F*P*1 justru dalam penguasaannya. Terdakwa dengan kepemilikan senjata api adalah berbeda kualitasnya dengan laskar FPI yang tidak bersenjata. Dalil bahwa laskar FPI mencekik, mengeroyok, menjambak dan merebut senjata milik Terdakwa, sangat jauh untuk menjadi dalil “keterguncangan jiwa yang sangat hebat” atau “tekanan jiwa yang hebat”. Jika memang benar kondisi demikian, maka menjadi pertanyaan serius mengapa tidak dilakukan tindakan pelumpuhan dengan penembakan tertentu yang tidak mematikan.
Lebih dipertanyakan lagi, bagaimana mungkin akal atau batin para Terdakwa tidak berfungsinya secara normal sebab “keguncangan jiwa atau tekanan jiwa yang demikian hebat”? Bukankah sebelumnya para laskar FPI tidak diborgol atau diikat tangannya. Disini terlihat adanya keinsyafan tidak adanya suatu ancaman yang mengarah pada kondisi batin berupa “keguncangan jiwa yang sangat hebat” atau “tekanan jiwa yang demikian hebat”. Menjadi tidak masuk akal Terdakwa dikategorikan dalam kondisi “pembelaan terpaksa melampaui batas”, sebab adanya “keguncangan jiwa atau tekanan jiwa yang demikian hebat”. Penulis tegaskan kembali, pada kondisi yang demikian mempersyaratkan harus adanya serangan secara serta-merta dan itu berpotensi mengancam keselamatan jiwa. Demikian itu tidak terpenuhi. Dikatakan demikian oleh karena serangan yang dimaksudkan tidak mengandung potensi signifikan terhadap keselamatan terhadap nyawa secara seketika.
Lebih dari itu, bagaimana mungkin dapat didalilkan adanya hubungan kausalitas antara “kegoncangan jiwa yang hebat” atau “tekanan jiwa yang demikian hebat” dengan serangan sebagaimana didalilkan. Sesuai dengan fakta di persidangan, terjadi tindakan yang tidak seimbang atau tidak proporsional. Serangan tangan kosong bukanlah serangan yang menimbulkan “kegoncangan jiwa dan tekanan jiwa yang demikian hebat”.
Pada akhirnya, semua pelaku kejahatan di dunia ini, siapa pun dia akan mengalami “kegoncangan jiwa yang super hebat” ketika dihadapkan pada Pengadilan Akhirat. Perilaku jahat akan ditayangkan secara langsung dan pastinya cermat! Salam Pengadilan Akhirat.
Jakarta, 19 Maret 2022.
Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Pakar Hukum Pidana