Tinta Media - Terkait dengan istilah radikal-moderat, Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) menegaskan bahwa umat Islam tidak diperintahkan menjadi muslim radikal atau muslim moderat tapi muslim yang bertakwa dan kaffah.
“Secara agama, kita tidak diperintahkan untuk menjadi seorang muslim yang radikal sebagaimana juga kita tidak diperintahkan untuk menjadi muslim moderat. Yang pasti bahwa kita ini diminta untuk menjadi muslim yang bertakwa kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya. Kita juga diperintahkan untuk menjadi muslim kaffah,” tuturnya dalam acara Live Streaming TVOne: Catatan Demokrasi, Selasa (8/3/2022).
UIY menegaskan, takwa oleh para ulama diartikan sebagai fi’lul wajibat wa tarkul manhiyât artinya melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan semua yang dilarang.
“Kalau digabungkan dua perintah itu, maka takwa bisa diartikan melaksanakan seluruh kewajiban tak terkecuali semua yang masuk kategori kewajiban dan meninggalkan semua yang dilarang. Supaya menjadi seorang muslim yang bertakwa seharusnya dilakukan semua kewajiban, dan semua yang dilarang semestinya ditinggalkan. Ini dari sisi agama,” tegasnya.
“Pertanyaanya, kalau kita menjadi muslim yang bertakwa dengan takwa yang sebenar-benarnya dan menjadi muslim yang kaffah itu mau disebut apa? Mau disebut moderat atau mau disebut radikal? Kalau mau disebut moderat, silakan, mau disebut radikal, pertanyaannya sekarang radikal dalam pengertian apa? Sebab radikal itu adalah satu istilah yang dia bisa bermakna baik, bisa bermakna buruk,” ungkapnya.
UIY mengatakan, dulu di masa Bung Karno, pernah mengatakan bahwa untuk merdeka itu diperlukan partai pelopor. Kata Bung Karno ciri dari partai pelopor adalah memiliki sifat radikal dinamis. “Jelas radikal disini bermakna positif. Maknanya menjadi energi perjuangan untuk merebut kemerdekaan,” katanya.
“Nah sekarang, kata radikal, apakah masih bermakna positif seperti itu? tanyanya. Tampaknya tidak. Ini sudah menjadi sebuah kalimat peyoratif (merendahkan),” ujarnya.
Karena itu, ia mengatakan bahwa radikal ini bukan kategori agama tapi kategori politik. “Sebagai kategori politik maka dia pasti bergantung pada perspektif politik, bergantung kepada pandangan politik, bergantung pada kepentingan politik dan juga kepada ideologi politik,” tandasnya.
UIY menilai, apa yang dilakukan oleh para penceramah yang masuk dalam kategori penceramah radikal, dari dulu sampai sekarang sama. “Kenapa baru sekarang disebut radikal? Padahal isi ceramahnya sama,” tegasnya.
Menurutnya, ini soal kacamata. Yang dulu biasa sekarang menjadi tidak biasa, itu soal kacamata, soal perspektif politik. Karena itu yang patut dipersoalkan bukan soal penceramah, tapi kategori radikal dan moderat itu yang harus dipertanyakan.
"Nah, ketika kategori politik dipakai untuk menilai kegiatan agama, pasti dia bermasalah. Mestinya kegiatan agama itu dinilai dengan kategori agama," pungkasnya.[] Irianti Aminatun