Tinta Media - Dai Muda dan Inspirator Hijrah Nasional Ustaz Felix Shiauw (UFS) menilai, isu radikal yang kembali menghangat adalah narasi untuk meneruskan kekuasaan.
“Mereka itu perlu narasi untuk meneruskan kekuasaan, sehingga narasi yang dipakai adalah radikalisme. Apapun problemnya selama kamu terlindungi dari radikalisme maka sebenarnya kamu lagi baik-baik saja,” tuturnya dalam segmen Fokus Spesial: Radikal-Radikul, Ada Apa? Ahad (13/3/2022) di kanal Youtube UIY Official.
Dalam skala global, UFS mencontohkan narasi yang dipakai Amerika pasca 2001 ketika WTC di bom. “Mereka bilang bahwa safety above all (keamanan di atas segala-galanya). Jadi kalau kami ini senantiasa nguping pembicaraan kalian, bahkan drone-drone kami itu sampai ada di pekarangan pekarangan belakang rumah kalian, kami mengetahui apa yang anda bicarakan bahkan di ranjang ranjang kalian. Kata mereka, ini semua untuk melindungi anda,” bebernya.
Ia melihat narasi ini ingin diterapkan di Indonesia. Bahwasanya radikalisme sumber masalah utama, sehingga yang lain boleh ditolerir, selain dari radikalisme. “Mereka perlu hantu. Hantu yang cocok di tahun 2022 ya UIY (masuk daftar sebagai penceramah radikal no urut 1),” paparnya.
UFS menilai, isu radikal ini ujung-ujungnya adalah pada kekuasaan dan duniawi. Hanya saja setiap hal itu pasti punya narasi. Narasi ini dari dulu sama. Bagaimana narasi yang dipertontonkan oleh orang-orang Quraisy, bahkan zaman Ibrahim, Musa dan Fir’aun? Narasinya sama.
“Mereka itu senantiasa mengidentikkan seseorang yang menginginkan kebaikan, seseorang yang berdakwah itu seperti seseorang yang membawa keburukan, seseorang yang membawa kehancuran, seseorang yang membawa ancaman buat masyarakat,” paparnya.
“Yang mereka inginkan, mereka berusaha agar perubahan menuju kebaikan itu tidak terjadi. Karena kalau perubahan terjadi pasti akan berpengaruh terhadap kepentingan dan kekuasaan mereka,” tegasnya.
“Andai umat ini sampai mengetahui dan bisa membandingkan bagaimana Islam itu mengatur sebuah negeri, dengan mereka mengatur sebuah negeri, pasti umat akan memilih Islam. Saat mereka tidak mampu bertanding secara konsep dan konten maka mereka pasti menyerang orang yang mendakwahkan Islam,” yakinnya.
Menurutnya, ini seperti apa yang dilakukan Quraisy terhadap Rasulullah SAW. “Ketika mereka tidak siap berdebat secara ide dan konsep mereka menyerang sosok Rasul dengan sebutan orang gila, tukang sihir dan seterusnya,” katanya.
Jadi, lanjutnya, radikal-radikul ini enggak akan pernah berhenti. “Sebelum mereka bisa memastikan bahwa mereka punya kekuasaan yang lebih banyak dan menghilangkan semua ancaman yang datang. Mereka ingin agar semua diam terhadap kezaliman yang mereka lakukan. Ketika mereka jual aset ke luar negeri, ketika mereka bahkan enggak bisa ngurusi minyak goreng, urusan haji ngga beres. Oleh karena itu siapa pun yang mengkritik kebijakan penguasa pasti akan dilabeli radikal. Ini memang cara mereka,” tukasnya.
Pemikiran Politik
UFS menilai bahwa pemikiran Islam yang rezim takuti adalah pemikiran politik. “Pemikiran yang terkait dengan pengurusan kehidupan umat yang sangat bertentangan dengan politik mereka. Meski pemikiran politik islam ini bagus, tapi karena bertentangan dengan kepentingan mereka maka pemikiran politik Islam ini mereka takuti,” ungkapnya.
UFS mengilustrasikan benturan kepentingan ini dengan penolakan Quraisy terhadap dakwah Rasul. “Andaikan Rasulullah hanya datang dengan mengajarkan bagaimana berakhlak yang baik, kalau ketemu orang senyum, kalau ketemu orang salam, dahulukan tetangga yang lebih dekat ,lalu kemudian kalau punya utang segera bayar. Kalau hanya itu orang Quraisy juga enggak akan merasa terganggu,” contohnya.
“Tapi begitu Rasulullah SAW. menawarkan sebuah konsep hidup, bagaimana caranya bahwa kita itu memaknai dua puluh empat jam hidup. Bukan hanya sekedar hidup tapi sebagai bagian dari ibadah. Oleh karena itu setiap kita pergi kemanapun, dan melakukan apapun, pergi ke pasar, menghadiri pernikahan keluarga, itu semua di dalam aturan Allah. Nah di situ beririsan dengan kepentingan mereka, karena mereka juga punya konsep hidup sendiri. Cara berdagang seperti apa, cara berinteraksi seperti apa. Nah pemikiran inilah yang mereka tidak akan pernah bisa menerima, karena pemikiran itu diametral dengan apa yang mereka lakukan,” jelasnya.
“Artinya bisa kita pastikan bahwa siapa yang protes ketika ada sesuatu yang lebih bagus (Islam). Yang protes yang punya kepentingan,” pungkasnya. []Irianti Aminatun