UFS: Islam Itu Inklusif ketika Budaya Sesuai Islam - Tinta Media

Selasa, 15 Maret 2022

UFS: Islam Itu Inklusif ketika Budaya Sesuai Islam

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1PgDFIlKzgNZ0xXz078YQLQgCDftDsgkL

Tinta Media - Dai Muda dan Inspirator Hijrah Nasional Ustaz Felix Siauw (UFS) menyatakan, Islam sangat membuka diri (inklusif) bagi budaya selama tidak bertentangan dengan Islam.

“Islam itu sangat membuka diri (inklusif), kita tidak menutup diri untuk mengambil sesuatu yang baik dan itu adalah yang baru. Tetapi ketika budaya itu bertentangan dengan Islam maka harus ditinggalkan,” tuturnya dalam segmen Fokus Spesial: Radikal Radikul, Ada apa? Ahad (13/3/2022) di kanal Youtube UIY Official.

Menurutnya, hubungan antara budaya dan Islam dicontohkan dengan baik oleh wali sanga. “Inilah inklusif. Di mana budaya ini dinilai sebagai sesuatu nilai-nilai luhur. Yaitu nilai yang tinggi dan diterima sebagai keindahan di sisi manusia,” ujarnya.

“Di sisi siapa pun yang melihatnya, sederhana saja ketika wali sanga melihat orang-orang Jawa sangat senang dengan sesuatu yang disampaikan secara berpantun, bernada ataupun lewat nyanyian maka dimasukkanlah nilai-nilai luhur ke dalamnya. Apabila melalui cerita, maka akan dibuat cerita-cerita yang bagus kemudian dimasukkan Islam di dalam nilai-nilai budaya,” tuturnya.

Ia mengatakan tentang budaya-budaya yang tidak bisa diterima oleh Islam, yaitu budaya ketika menganggap segala sesuatu yang dari leluhur itu pasti baik. Itu dikoreksi oleh Islam. “Budaya ketika menganggap segala sesuatu yang dari leluhur itu pasti baik. Itu bukan budaya yang baik menurut saya,”

Menurutnya, di dalam Islam itu dikoreksi, menjadi salah satu slogan yang dipakai oleh Nadhatul Ulama. “Mereka menyatakan bahwa kita tidak harus menyalahkan yang lama, selama itu benar. Bahkan kita juga menjaga ketika ada yang benar, ada yang baik di antara yang lama ya dilakukan,” katanya.

“Harus mendefinisikan ulang budaya sebagai orang yang beradab dan punya peradaban. Jangan sampai beralasan karena budaya lantas kita melestarikan sesuatu, justru tidak mencerdaskan. Dan ketika dianggap budaya maka itu menipu. Itu tidak boleh dikatakan budaya bangsa,” ujarnya.

Ia menegaskan, budaya itu memang tidak harus dibenturkan dengan Islam kecuali budaya itu diambil dari satu keyakinan yang bersifat khas. Hal ini harus ditinjau ulang. Seperti kasus sesajen yang dijadikan benturan antara budaya dan Islam.

“Kita tidak harus mengatakan itu budaya Islam karena pernah ada di masa-masa dulu ketika Islam ada dan ketika Islam belum ada maka kita harus melihat prosesnya seperti apa, misalnya kita tidak pernah mengganggu orang-orang yang beribadah dalam ‘sesuai dengan keyakinan mereka’, walaupun mungkin mereka tidak beragama dan hanya berkeyakinan saja. Kita tidak pernah memaksa mereka,” tegasnya.

Menurutnya, ketika berhubungan dengan keyakinan sebagai seorang muslim, tentu saja tidak bisa menerima hal-hal yang bertentangan dengan Islam.

“Artinya ketika terjadi perbedaan dan kita bisa eksis di dalam perbedaan. Menurut saya, menjadi pernyataan-pertanyaan harusnya bukan kemudian seolah-olah setiap yang bertentangan dengan budaya harus yang kalah agama karena budaya lebih dulu ada. Tidak begitu. Ini yang dikembangkan yang salah selama ini,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :