TEGAK LURUS: Benarkah Tidak Ada Prinsip Demokrasi dalam Tubuh TNI-POLRI? - Tinta Media

Minggu, 06 Maret 2022

TEGAK LURUS: Benarkah Tidak Ada Prinsip Demokrasi dalam Tubuh TNI-POLRI?

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1yGjT4Oefo_sACXOwBv0yfkRzbnfTDVsr

Tinta Media - Heboh, saya kutip berita dari WE Online, tanggal 2 Maret 2022 yang menyatakan bahwa biasanya, Presiden Jokowi berbicara yang manis-manis di acara hajatan TNI-Polri. Tapi, kemarin, Jokowi bicara keras. Jokowi marah banget karena mengetahui ada beberapa prajurit TNI menolak pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

Adanya penolakan beberapa prajurit TNI atas pemindahan IKN ini disampaikan Jokowi saat berpidato dalam Rapimnas TNI-Polri Tahun 2022 di Plaza Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa (1/3/2022). Presiden Jokowi melihat kedisiplinan prajurit TNI-Polri menurun padahal, mereka punya tanggung jawab untuk memberi contoh yang baik kepada masyarakat.

Saat bicara soal IKN, ucapan Jokowi semakin kencang. Apalagi ketika dia tahu isi percakapan di salah satu WhatsApp (WA) group TNI-Polri, ada prajurit yang menolak pemindahan IKN. Karenanya, dia minta kepada Kapolri Jenderal Sigit Listyo Prabowo dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa untuk mendisiplinkan jajarannya.

Jokowi menyampaikan, kepolisian dan militer di seluruh dunia memiliki aturan disiplin tersendiri yang berbeda dengan sipil. Aturan yang dimaksud, semisal di kalangan militer, harus setia pada negara dan patuh kepada atasan. Istilah yang dipakai Jokowi, 'tegak lurus'. Bahkan, Jokowi juga menyentil "dapur para istri TNI-Polri soal mengundang ceramah dalam bingkai demokrasi.

“Ibu-ibu kita juga sama, kedisiplinannya juga harus sama. Enggak bisa, menurut saya, enggak bisa ibu-ibu (istri personel TNI-Polri) itu memanggil, ngumpulin ibu-ibu yang lain memanggil penceramah semaunya atas nama demokrasi,”

Banyak tanggapan yang disampaikan oleh berbagai elemen masyarakat.  Mulai dari KASAL,  Kapolri, Anggota DPR RI dan politisi yang pada prinsipnya
mendukung pernyataan Jokowi dan memastikan mendukung langkah pemerintah memindahkan IKN ke Kalimantan Timur dengan istilah "tegak lurus" dengan kebijakan pemerintah itu.

Sampai di sini, segala pernyataan Presiden dan pimpinan kelembagaan negara ini saya setuju.  Namun, ketika menghubungkan soal perbedaan pendapat di tubuh TNI-Polri terkait dengan pemindahan ibu kota dihubungkan dengan RADIKALISME dan ANTI DEMOKRASI saya tidak sepaket dan sepakat dalam hal ini.

Misalnya pernyataan Anggota Komisi I DPR Dave Laksono menyatakan bahwa atas penolakan pemindahan IKN sudah terbukti juga ada banyak anggota TNI-Polri yang terpapar oleh PAHAM RADIKALISME. Pernyataan Dave Laksono ini benar-benar membunuh demokrasi yang semestinya juga dikembangkan dalam rangka membangun TNI khususnya. Hal ini diperparah dengan perintah Presiden Jokowi agar istri-istri TNI-Polri tidak mengundang ustadz atau penceramah radikal atas nama demokrasi. Akhirnya muncul usulan, seperti dikatakan oleh Ruhut Sitompul agar Menteri Agama mengeluarkan sertifikat penceramah.

Kalau kita perhatikan, narasi radikalisme ini memang dibangun rezim ini untuk "membunuh" karakter warga negara yang memiliki perbedaan pendapat dengan rezim penguasa, lebih tepatnya pemerintah. Apakah benar dalam bingkai demokrasi seorang anggota TNI-Polri bahkan istri-istrinya tidak boleh beda pendapat, berdiskusi sekalipun di GWA? Apakah ini negara komunis yang hanya mementingkan otoritarianisme-diktatur dalam penyelenggaraan negara, termasuk dalam pembangunan tubuh TNI-Polri? Ingat, sebagai negara hukum, pembangunan dan pengembangan TNI-Polri juga harus berdasarkan hukum, khususnya UU TNI misalnya. Dalam UU TNI, yakni UU No. 34 Tahun 2004 ditegaskan bahwa politik hukum UU ini adalah juga unsur demokrasi. Pada bagian konsiderans UU ini disebutkan:

"bahwa Tentara Nasional Indonesia dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan PRINSIP DEMOKRASI, supremasi sipil, HAK ASASI MANUSIA, ketentuan HUKUM nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi, dengan dukungan anggaran belanja negara yang dikelola secara transparan dan akuntabel"

Demikian pula jika kita perhatikan politik hukum UU Kepolisian RI No. 2 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya MASYARAKAT MADANI yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi HAK ASASI MANUSIA.

Pertanyaannya adalah, mungkinkah politik hukum tersebut dapat dicapai jika dalam tubuh TNI-Polri tidak dikembangkan pula prinsip demokrasi?
Atas dasar politik hukum ini, seharusnya dalam tubuh TNI dan Polri tetap dikembangkan JIWA DEMOKRASI sehingga percakapan kedinasan ataupun keluarga dapat tetap terjalin dan dengan demikian perbedaan pendapat tetap dihargai dan bukan ditempatkan sebagai sesuatu yang merusak serta distigma radikal atau terpapar radikalisme.

Saya tegaskan bahwa dengan pengalaman tahun 2018-2019, kayaknya tahun 2020 dan seterusnya kehidupan alam demokrasi masih suram.  Di bidang politik, rezim akan tetap mengangkat isu radikalisme. Ternyata benar bukan, hingga detik ini, tahun 2022, isu radikalisme tetap menjadi kambing hitam. "Serangannya akan semakin gencar!” hal itu yang secara tegas saya katakan di hadapan sekitar 200 peserta yang memenuhi ruangan diskusi di Jakarta tahun 2019. Isu radikalisme ini akan terus ‘digoreng’ karena ketentuan tentang radikalisme itu hingga kini belum jelas. Sehingga isu ini bisa disebut obscure (kabur) dan lentur.

Secara tegas saya katakan bahwa rumusan tentang radikalisme itu masih obscure dan juga lentur akhirnya nanti akan dipakai secara legal dan konstitusional untuk menggiring bahkan sampai menggebuk orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah.  ASN, TNI-Polri dan juga ‘kampus’, ulama menjadi sasaran tembak isu radikalisme yang lebih empuk. Hal ini bukan hanya karena saya sebagai korban persekusi rezim tetapi ia juga berdasar pada pernyataan Peneliti Institut Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV), Ward Berenschot.

“Dia (Berenschot, red) mempertanyakan definisi radikalisme yang digunakan oleh pemerintah (Indonesia, red) karena definisi radikalisme yang digunakan pemerintah itu identik dengan orang-orang yang berseberangan atau berbeda pendapat dengan pemerintah atau kepentingan pemerintah. Kemudian dilabeli dengan apa? Anti Pancasila,” Karena itu, ketika orang itu dikatakan anti Pancasila, ini sudah sulit sekali untuk berkelit. “Karena prinsipnya ‘Aku Pancasila’ jadi siapa saja yang menentang ‘Aku’, maka dia itu melawan atau anti Pancasila,”.

Beda Indonesia, beda Amerika Serikat. Terasa aneh, ketika Jokowi meminta istri-istri TNI-Polri tidak mengundang "Penceramah Radikal". Terkesan ada Islamopbhia yang terus menjangkiti pemikiran para pemimpin di negeri ini yang sekarang dilanda banyak persoalan krisis. Apakah tidak lebih baik mengurusi saja Minyak Goreng yang langka dan mahal? Islamophobia rezim ini tercermin dari pernyataan-pernyataan pemimpin yang terkesan memusuhi Umat Islam Indonesia dengan stempel radikal. Mau sampai kapan?

Sementara Islamophobia di Amerika bahkan sudah berhenti. Rezim ini seharusnya meniru Amerika Serikat yang kini telah menekan Islamophobia melalui regulasinya. Kebijakan Presiden AS Joe Biden itu seharusnya jadi panduan kita untuk mengerti bahwa bahkan di Amerika isu Islamophobia sudah hilang. Jika kita terus menarasikan perbedaan pendapat harus diberangus, dihancurkan, dibunuh karakternya dengan stempel radikal radikul, lalu sistem pemerintahan apa yang sebenarnya sedang berjalan di negeri ini? Demokrasi ataukah Tyran-Okhlokrasi? Inikah juga yang terjadi dalam pembangunan dan pengembangan TNI dan Polri? Kalau begitu, mari bersama-sama mengucapkan "SELAMAT TINGGAL DEMOKRASI..!".

Oleh: Prof. Pierre Suteki
Pakar Hukum dan Masyarakat
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :