Tinta Media - Sejarawan Septian AW mengatakan, jejak khilafah yang menunjukkan bahwa Indonesia memiliki hubungan sangat erat dengan kekhilafahan adalah suatu keniscayaan. Menurutnya, perspektif ini sudah baku, sama halnya dengan keberadaan jejak Belanda yang pernah menjajah Indonesia.
“Jejak khilafah di Indonesia adalah keniscayaan. Fakta yang harus dipahami adalah bahwasanya perspektif ini sudah baku dan tidak diperdebatkan lagi. Kalau ada pertanyaan, adakah jejak Belanda di Indonesia? Jawabannya ada. Ada bangunan, ada kisahnya yang diajarkan oleh sejarawan Indonesia, dan itu menjadi materi pendidikan pada mata pelajaran Sejarah,” tutur Septian di Kelas Rajab One Day sesi pertama yang diselenggarakan oleh ILKI secara virtual, Kamis (3/3/2022).
Menurut Septian, justru yang ironis adalah bagaimana dengan jejak khilafah di nusantara, padahal keduanya sama-sama pernah ada.
“Anggapan tidak adanya itu sebetulnya bukan karena tidak ada, tetapi karena memang tidak pernah diceritakan pada masyarakat Indonesia. Jadi, tidak mungkin tidak ada jejak khilafah di nusantara, sama halnya tidak mungkin tidak ada jejak Belanda di Indonesia,” tuturnya.
Lebih lanjut, Septian membeberkan tentang argumentasi yang menunjukkan hubungan khilafah dan nusantara. Menurutnya, setidaknya ada dua teori atau argumentasi yang meniscayakan fakta tersebut, antara lain:
Pertama, fakta bahwa Indonesia merupakan jalur perdagangan internasional sejak awal abad masehi. Hal ini bisa dilihat dalam peta jalur sutra (the silk road) yang merupakan jalur perdagangan klasik atau masa lalu yang menghubungkan antara wilayah Timur dengan Barat. “Ada dua jalur, yaitu darat dan laut (air). Jalur darat memanjang dari Cina ke wilayah Asia Tengah sampai Eropa, sedangka jalur laut memanjang dari Cina ke laut Cina, lalu ke semenanjung Melayu, ke wilyah Sumatra bagian utara, termasuk ke pulau-pulau nusantara yang lain, sampai ke Barat, dst. Hal ini menandakan bahwa nusantara adalah wilayah yang bersifat terbuka karena senantiasa dikunjungi oleh negara lain, bukan wilayah yang terisolasi,” terangnya.
Kedua, bahwa sejak masa lalu, bangsa-bagsa di dunia sudah memiliki koneksi satu sama lain. Ini bisa dilihat dai buku-buku yang ada. Salah satunya adalah karya Erik Ringmar, seorang sejarawan Turki yang menulis buku “History of International Relations”. “Buku itu menyebutkan bahwa bangsa-bangsa di dunia ini memiliki hubungan atau relasi antara yang satu dengan yang lain, baik masalah agama, politik, budaya, militer, dan lain-lain,” ungkapnya.
“Artinya, berbagai entitas kekuasaan di berbagai penjuru dunia, berinteraksi dengan berbagai dunia di luar mereka, satu sama lain,” jelas Septian.
Lebih lanjut, narsum Film JKTS ini menjelaskan, dalam buku tersebut ada bab tersendiri yang membahas tentang ‘The Moslem Caliphate’ (kekhilafahan Islam). “Di dalamnya disebutkan bahwa kehilafahan Islam memiliki hubungan erat dengan nusantara,” tegasnya.
Sementara, dalam tarikh Islam, menurutnya, bisa dipelajari dari sirah nubuwah ataupun tarikh khulafa. “Kita bisa mengetahui bahwa kekuasaan Islam selalu ekspansi atau meluas. Rasul dan para sahabat, serta khalifah setelahnya selalu berhubungan dengan bangsa-bangsa di luar. Artinya, dari teori tentang jalur sutra atau perdagangn kuno tadi, kita bisa melihat bahwa khilafah memiliki koneksi satu sama lain, tidak mungkin tidak punya. Ini meniscayakan bahwa nusantara bukan wilayah terisolir, tetapi dikunjungi oleh bangsa-bangsa yang lain,” terangnya.
Menurutnya, dari dua teori ini saja bisa terlihat bahwa mustahil atau tidak mungkin kalau khilafah tidak memiliki hubungan dengan nusantara dan nusantra tidak memiliki hubungan dengan khilafah. Ini karena khilafah bukan politik yang stagnan. Khilafah selalu melebarkan pengaruh dan kekuasaannya. Hal ini juga memengaruhi peradaban di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Terbukti dalam berbagai literatur yang belakangan muncul dan menyebutkan tentang tersebut.
“Salah satunya dalam buku karya Azumardi Azra yang berjudul ‘Jaringan Ulama Timur Tengah’ yang menyebutkan bahwa ada korespondensi antara Sriwijaya dengan Khilafah Umayyah yang ada di Damaskus. Selain itu, khalifah di Istanbul dikenal oleh orang Indonesia dengan sebutan Sultan Rum atau Raja Rum, sebagaimana yang terdapat dalam literatur Melayu dan cerita rakyat popular,” ungkapnya.
“Ada juga buku karya Hoesein Djayadiningrat, yang berjudul Critiche Beschouwing van de Sadjarah Banten, yang kalau diterjemahkan artinya Studi kritis Sejarah banten. Buku itu menyebutkan bahwa penguasa di nusantara pada abad 17, seperti penguasa Banten, Mataram, dan Makasar mengirim utusan ke Mekah untuk memohon pengakuan kekuasaan dan gelar Sultan Muslim,” tambahnya.
“Buku lainnya seperti ‘The Ottoman Age of Exploration’ karya Giancarlo Casale menyatakan bahwa pada abad 16, Aceh membangun hubungan dengan Usmani, bahkan menyatakan ketundukan kepada khalifah, serta meminta dukungan militer dalam perang melawan Portugis,” imbuhnya.
Selain itu, katanya, buku berjudul Habib Abdur-Rahman az-Zahir (1833-1896) karya Anthony Reid juga menyatakan bahwa pada abad 19, Aceh memohon Sultan Usmani, Abdulaziz untuk dukungan militer dengan mengirim utusan mereka yang bernama Abdurrahman Al-Zahir.
“Semua itu menguatkan fakta bahwa khilafah dan nusantara memiliki kaitan atau hubungan yang tidak terbantahkan,” jelas Septian.[] Ida Royanti