Tinta Media - Ritual Kendi Nusantara yang digelar Presiden Jokowi di titik nol IKN Senin 14 Maret lalu dinilai oleh Ketua Koalisi Persaudaraan Advokat dan Umat (KPAU) Ahmad Khozinudin,S.H. sebagai bid’ah agama dan bid’ah konstitusi.
“Secara fakta itu merupakan bid’ah secara agama dan bid’ah secara konstitusi,” tuturnya dalam acara Live Streaming: Ritual Kendi IKN dan kemah Jokowi, Apa Urgensinya? Senin (14/3/2022) melalui Kanal Youtube Mimbar Tube.
Dikatakan bid’ah secara agama jelas Ahmad, karena umat islam dilarang meminta tuah dari benda-benda yang tidak ada dalilnya. “Kecuali memang ada dalilnya semisal keutamaan air zam-zam itu memang ada dalilnya. Atau makanan yang kita makan saat sahur itu memang ada dalilnya. Atau tempat tertentu seperti Makkah Madinah kalau kita doa di tempat itu bisa dikabul,” ujarnya.
Kalau meminjam istilah kawan-kawan dari Muhammadiyyah, lanjutnya, kelakuan Jokowi yang diikuti oleh seluruh gubernur di Indonesia itu sebutannya TBC (Tahayul, Bid’ah, Churafat). “Artinya bagi kawan-kawan aktivis dakwah itu sesuatu yang harus diperangi karena mereka bertugas untuk kembali pada akidah Islam,” jelasnya.
“Jadi ritual ibadah itu memang tidak boleh tanpa merujuk pada dalil,” imbuhnya.
Ahmad mengingatkan ritual tahayul mobil Esemka di masa lalu. “Mobil Esemka yang sudah dipesan 6000 itu sampai hari ini ya masih tahayul. Saya khawatir IKN ini akan menjadi ibukota tahayul juga, enggak ada wujudnya,” sindirnya.
Ahmad menjelaskan, peringatan ini harus dilakukan, lantaran kalau Allah SWT murka kemudian turun bala atau bencana menimpa, itu akan menimpa semuanya. “Kita masih ingat Palu dulu, sebelum kena tsunami dan gempa, awalnya juga ada festival yang menampilkan tradisi masa lalu. Tradisi yang sudah tidak ada tapi dihidupkan kembali dengan dalih local wisdom (kearifan lokal). Akhirnya dihidupkan lagi ritual yang kemudian Allah turunkan bencana di sana,” tuturnya mengingatkan.
Adapun kenapa ritual kendi IKN disebut bid’ah kebangsaan, begini penjelasan Ahmad. Setiap tindakan dalam tata kelola negara itu harus ada dasar hukumnya.
“Kalau kita merujuk pasal 7 undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tentu herarkhinya, yang pertama Undang-Undang Dasar, kedua, TAP MPR, ketiga, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, baru Peraturan Daerah. Peraturan Daerah dibagi tiga. Ada Peraturan Daerah tingkat Provinsi, tingkat Kota dan tingkat Kabupaten,” bebernya.
Ahmad mempertanyakan, Adakah norma yang memberikan perintah untuk melakukan ritual yang dilakukan oleh saudara Jokowi itu baik merujuk konstitusi undang-undang dan seterusnya. Kalau kita rujuk tentu yang pertama adalah Undang-Undang Nomor 3 tahun 2022 tentang IKN, karena Undang-Undang itulah yang menjadi dasar proyek ini.
“Mau dibuka berkali-kali, enggak ada norma yang mengatur dalam proses pemindahan ibu kota itu ada ruatan, ada kumpulan air dalam kendi yang dikumpulkan dalam kendi besar. Jadi ini secara konstitusi adalah tindakan ketatanegaraan yang inkonstitusional,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun