Tinta Media - "Islam radikal" dalam pengertian Islam ekstrem itu jumlahnya sedikit, minoritas di kalangan umat Islam. Sepanjang sejarah selalu begitu. Selalu ada kelompok minoritas ekstrem yang tanpa kompromi dan hitam putih melihat persoalan. Its social law, hardliners will always minority groups in society.
Pada masa awal Islam, mereka adalah kaum Khawarij yang menuduh kafir pada Ali bin Abi Thalib dan membunuhnya. Pada perkembangan sejarahnya adalah kaum Syi'ah, minoritas yang selalu berontak pada kelompok mayoritas Sunni atau ahlussunnah wal jama'ah. Dalam sejarah dunia dan semua agama pun sama, selalu ada kelompok sempalan dengan gerakan-gerakan ekstremnya.
Bila, radikalisme atau ekstremitas merata di sebuah bangsa atau negeri, ada di berbagai lapisan masyarakat dan kelompok sosial, maka bisa dipastikan itu bukan radikalisme atau ekstremitas melainkan public discontent alias kekecewaan publik.
Di Indonesia sekarang, banyak disebutkan, radikalisme ada dimana-mana. Bagaikan gerakan massal zombie yang berkeliaran menyebarkan virus makhluk mengerikan dan siap memangsa para korban.
Hampir seluruh lapisan masyarakat dan kelompok sosial, diklaim oleh pemerintah, terpapar radikalisme: Dari anak-anak TK, murid-murid sekolah dan guru-gurunya, hingga perguruan tinggi (mahasiswa dan dosennya), kalangan BUMN hingga institusi penjaga konstitusi dan kedaulatan negeri: TNI/Polri. Bukankah sangat ironis TNI/Polri terpapar radikalisme? Betapa hebatnya makhluk radikalisme itu. Tapi, bila iya, maka pasti itu bukan radikalisme.
Mungkinkah radikalisme seperti itu? Jawabannya tidak mungkin! Itu melawan logika dan hukum sosial. Yang mungkin adalah social discontent tadi. Kekecewaan publik yang meluas dari yang dierekspresikan terang-terangan dan terbuka hingga yang silent majority (mayoritas diam) tak bersuara di publik. Bila ini yang terjadi, ini tentu sebuah alarm yang berbahaya.
Pertanyaannya bukan siapa yang salah, tapi negara dan pemerintah harus segera melakukan instrospeksi, muhasabah nasional dengan meminta masukan dari para pemikir independen, tokoh² kritis, dan nasehat para ulama, bukan malah memusuhinya.
Oleh: Moeflich H. Hart
Sejarawan