Tinta Media - Terkait percakapan di salah satu WhatsApp (WA) grup TNI-Polri, ada prajurit yang menolak pemindahan IKN kemudian dihubungkan dengan radikalisme, Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menilai, narasi radikalisme sering dibangun untuk membunuh karakter warga negara yang memiliki pendapat berbeda.
“Narasi radikalisme memang dibangun rezim untuk ‘membunuh’ karakter warga negara yang memiliki perbedaan pendapat dengan rezim penguasa, lebih tepatnya pemerintah,” tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (5/3/2022).
Menurutnya, perintah Presiden Jokowi agar istri-istri TNI-Polri tidak mengundang ustaz atau penceramah radikal atas nama demokrasi, adalah contoh pembunuhan karakter itu. “Akhirnya muncul usulan, seperti dikatakan oleh Ruhut Sitompul agar Menteri Agama mengeluarkan sertifikat penceramah,” ujarnya.
Prof. Suteki mempertanyakan, apakah benar dalam bingkai demokrasi seorang anggota TNI-Polri bahkan istri-istrinya tidak boleh beda pendapat, berdiskusi sekalipun di grup WhatsApp? “Apakah ini negara komunis yang hanya mementingkan otoritarianisme-diktatur dalam penyelenggaraan negara, termasuk dalam pembangunan tubuh TNI-Po lri? Ingat, sebagai negara hukum, pembangunan dan pengembangan TNI-Polri juga harus berdasarkan hukum, khususnya undang-undang TNI, misalnya,” ungkapnya.
Dalam undang-undang TNI, lanjut Prof. Suteki, yakni undang-undang No. 34 Tahun 2004 ditegaskan bahwa politik hukum UU ini adalah juga unsur demokrasi. Pada bagian konsideran undang-undang ini disebutkan:
"Bahwa Tentara Nasional Indonesia dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi, dengan dukungan anggaran belanja negara yang dikelola secara transparan dan akuntabel," paparnya.
“Demikian pula, jika kita perhatikan politik hukum undang-undang Kepolisian RI No. 2 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,” bebernya.
“Pertanyaannya adalah mungkinkah politik hukum tersebut dapat dicapai jika dalam tubuh TNI-Polri tidak dikembangkan pula prinsip demokrasi?” tanyanya.
Atas dasar politik hukum ini, Prof. Suteki menilai, seharusnya dalam tubuh TNI dan Polri tetap dikembangkan jiwa demokrasi sehingga percakapan kedinasan ataupun keluarga dapat tetap terjalin dan dengan demikian perbedaan pendapat tetap dihargai dan bukan ditempatkan sebagai sesuatu yang merusak serta distigma radikal atau terpapar radikalisme.
“Saya tegaskan bahwa dengan pengalaman tahun 2018-2019, kayaknya tahun 2020 dan seterusnya kehidupan alam demokrasi masih suram. Di bidang politik, rezim akan tetap mengangkat isu radikalisme. Ternyata benar bukan, hingga detik ini, tahun 2022, isu radikalisme tetap menjadi kambing hitam. ‘Serangannya akan semakin gencar!’ Hal itu yang secara tegas saya katakan di hadapan sekitar 200 peserta yang memenuhi ruangan diskusi di Jakarta tahun 2019. Isu radikalisme ini akan terus ‘digoreng’ karena ketentuan tentang radikalisme itu hingga kini belum jelas. Sehingga isu ini bisa disebut obscure (kabur) dan lentur,” tegasnya.
“Secara tegas, saya katakan bahwa rumusan tentang radikalisme itu masih obscure dan juga lentur. Akhirnya nanti akan dipakai secara legal dan konstitusional untuk menggiring bahkan sampai menggebuk orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah, ASN, TNI-Polri dan juga ‘kampus’,” tambahnya.
“Ulama menjadi sasaran tembak isu radikalisme yang lebih empuk. Hal ini bukan hanya karena saya sebagai korban persekusi rezim tetapi ia juga berdasar pada pernyataan Peneliti Institut Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV), Ward Berenschot,”tegasnya.
Berenschot, kata Prof. Suteki, mempertanyakan definisi radikalisme yang digunakan oleh pemerintah (Indonesia) karena definisi radikalisme yang digunakan pemerintah itu identik dengan orang-orang yang berseberangan atau berbeda pendapat dengan pemerintah atau kepentingan pemerintah.
“Kemudian dilabeli dengan apa? Anti Pancasila, Karena itu, ketika orang itu dikatakan anti Pancasila, ini sudah sulit sekali untuk berkelit. Karena prinsipnya ‘Aku Pancasila’ jadi siapa saja yang menentang ‘Aku’, maka dia itu melawan atau anti Pancasila,” terangnya.
Beda Indonesia, beda Amerika Serikat, banding Prof. Suteki, terasa aneh, ketika Jokowi meminta istri-istri TNI-Polri tidak mengundang ‘Penceramah Radikal’. Terkesan ada Islamofobia yang terus menjangkiti pemikiran para pemimpin di negeri ini yang sekarang dilanda banyak persoalan krisis.
“Apakah tidak lebih baik mengurusi saja minyak goreng yang langka dan mahal? Islamofobia rezim ini tercermin dari pernyataan-pernyataan pemimpin yang terkesan memusuhi umat Islam Indonesia dengan stempel radikal. Mau sampai kapan?” tanyanya.
Sementara Islamofobia di Amerika bahkan sudah berhenti. Rezim ini seharusnya meniru Amerika Serikat yang kini telah menekan Islamofobia melalui regulasinya. “Kebijakan Presiden AS Joe Biden itu seharusnya jadi panduan kita untuk mengerti bahwa bahkan di Amerika isu Islamofobia sudah hilang,” ungkapnya.
Prof. Suteki mempertanyakan, jika rezim terus menarasikan perbedaan pendapat harus diberangus, dihancurkan, dibunuh karakternya dengan stempel radikal radikul, lalu sistem pemerintahan apa yang sebenarnya sedang berjalan di negeri ini? Demokrasi ataukah Tyran-Okhlokrasi?
“Inikah juga yang terjadi dalam pembangunan dan pengembangan TNI dan Polri? Kalau begitu, mari bersama-sama mengucapkan selamat tinggal demokrasi!” pungkasnya. [] Irianti Aminatun