Mi
Tinta Media - Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menegaskan bahwa jika hak atas pangan tidak terpenuhi sebenarnya sedang terjadi silent genosida.
“Hak atas pangan itu menjadi hak asasi manusia. Apabila hak asasi manusia ini tidak dipenuhi maka boleh dikatakan sebenarnya sedang terjadi apa yang disebut dengan silent genosida,” tuturnya dalam acara Islamic Lawyers Forum #41: Negara Kalah Sama Mafia? Kamis (24/3/2022) di kanal Youtube LBH Pelita Umat.
Menurut Prof. Suteki, yang harus dipenuhi dari hak atas pangan itu adalah pertama, ketersediaannya, kedua aksesnya, ketiga penerimaannya, keempat kualitasnya.
“Untuk bisa memenuhi keempatnya ini, negara itu harus mengatur tata niaga pangan. Undang-undang pangan sudah ada, undang-undang perdagangan sudah ada. Kalau sudah diatur demikian mestinya negara itu kuat. Karena negara bukan hanya pengawas tapi juga mengatur sekaligus menyelenggarakan, khususnya dalam tata niaga pangan ini,” paparnya.
Ia mengatakan, negeri ini yang menganut adagium salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi), kalau sudah atas nama rakyat begini, mestinya negara kuat. “Faktanya negara tidak berdaya menghadapi persoalan pangan ini, malah ada indikasi adanya mafia pangan. Menteri sendiri menyatakan bahwa pemerintah tidak kuasa mengalahkan mafia,” ujarnya.
“Sebenarnya peraturan perundang-undangan pangan maupun perdagangan sudah mengatur bagaimana penyelenggaraan tata niaga pangan itu. Bahkan dalam undang-undang perdagangan itu jelas mafia dalam arti misalnya di situ ada penimbunan , permainan harga dan seterusnya itu sudah diatur dalam undang-undang perdagangan pasal 107 itu,” jelasnya.
Intinya, lanjut Prof. Suteki, barangsiapa yang melakukan penimbunan atau melakukan mafia bisa dihukum penjara maupun denda . Denda dalam pasal itu disebutkan, pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling banyak lima puluh miliar. Dalam hal ini jika menyimpan barang kebutuhan pokok dan atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang.
“Dan ini sudah terbukti kemarin kan bagaimana ada indikasi terjadi penimbunan barang (minyak goreng). Kita enggak tahu siapa yang menimbun, nyatanya kan sampai berton-ton. Ternyata setelah kelangkaan itu kan ada partai politik yang kemudian menggelontorkan bantuan dengan sekian ratus ribu ton,” bebernya.
Menurut Prof. Suteki terbukti lagi begitu HET (harga eceran tertinggi) nya dicabut tiba-tiba supermarket penuh dengan minyak goreng kemasan. “Kalau sekarang silakan cari di supermarket. Supermaket mana yang tidak ada minyak goreng. Cuma tadi harganya sudah dimainkan karena HET nya untuk minyak dalam kemasan sudah dicabut, diserahkan pada mekanisme pasar,” bebernya.
“Kalau diserahkan pada mekanisme pasar otomatis itu terjadi hukum ekonomi pasar. Siapa yang punya, yang bisa menentukan harga semaunya . Apakah ini tidak bisa dikatakan sebagai mafia?” tanyanya.
Menurutnya, kalau sesuai dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mestinya tidak diserahkan pada mekanisme pasar. Kita ini punya ideologi Pancasila. Tapi sifat dari ideologi manusia itu kan adanya logika inkonsistensi.
“Jadi mengatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tapi kenyataannya yang terjadi adalah bukan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia tapi keadilan bagi segelintir orang, bagi para elit-elit politik. Dengan begitu praktek perokonomian kita sangat liberal,” tandasnya.
Prof. Suteki mempertanyakan peran Kementerian Perdagangan yang tidak mampu mengatur tata niaga pangan khususnya minyak goreng.
“Saya kira memang ini menjadi masalah terbesar bagi kita sekarang ini. Ngatur minyak goreng saja enggak bisa, mosok mau mikir soal tiga periode, perpanjangan masa jabatan presiden, mikir IKN dan seterusnya,” sesalnya.
Ia menyimpulkan bahwa mafia menang dibanding negara. Kekalahan negara oleh mafia ini jelas nampak ketika negara melepas harga sesuai pasar.
“Otomatis tidak lagi menjadi negara kesejahteraan (welfare state). Dan ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 45 alinea 4 serta pasal 33,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun