Prof. Suteki : Jika Hak Atas Pangan Tak Terpenuhi, Terjadi Silent Genosida - Tinta Media

Sabtu, 26 Maret 2022

Prof. Suteki : Jika Hak Atas Pangan Tak Terpenuhi, Terjadi Silent Genosida

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1IpUibU6Rdubh-_Z27pWuawMxJkNexneVMi

Tinta Media - Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menegaskan bahwa jika hak atas pangan tidak terpenuhi sebenarnya sedang terjadi silent genosida.

“Hak atas pangan itu menjadi hak asasi manusia. Apabila hak asasi manusia ini tidak dipenuhi maka boleh dikatakan sebenarnya sedang terjadi apa  yang disebut dengan silent  genosida,”  tuturnya dalam acara Islamic Lawyers  Forum #41: Negara Kalah Sama Mafia? Kamis (24/3/2022) di kanal Youtube LBH Pelita Umat.

Menurut Prof. Suteki, yang harus dipenuhi dari hak atas pangan itu adalah pertama, ketersediaannya, kedua aksesnya, ketiga penerimaannya, keempat kualitasnya.

“Untuk bisa memenuhi keempatnya ini, negara itu harus mengatur tata niaga pangan. Undang-undang pangan sudah ada, undang-undang perdagangan sudah ada. Kalau sudah diatur demikian mestinya negara itu kuat. Karena  negara bukan hanya  pengawas tapi juga mengatur sekaligus  menyelenggarakan, khususnya dalam  tata niaga pangan ini,” paparnya.

 Ia mengatakan, negeri ini yang menganut adagium  salus populi suprema lex  esto (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi), kalau sudah atas nama rakyat begini, mestinya negara kuat. “Faktanya negara tidak berdaya menghadapi persoalan pangan ini, malah ada indikasi adanya mafia pangan. Menteri sendiri menyatakan bahwa pemerintah tidak kuasa mengalahkan mafia,” ujarnya.

“Sebenarnya  peraturan perundang-undangan pangan maupun perdagangan sudah mengatur bagaimana penyelenggaraan tata niaga pangan itu. Bahkan dalam undang-undang perdagangan itu jelas mafia dalam arti misalnya di situ ada penimbunan , permainan harga dan seterusnya  itu sudah diatur dalam undang-undang perdagangan  pasal 107 itu,” jelasnya.

Intinya, lanjut Prof. Suteki, barangsiapa yang melakukan penimbunan atau melakukan  mafia  bisa dihukum   penjara maupun denda . Denda dalam pasal  itu disebutkan,  pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling banyak lima puluh miliar. Dalam hal ini jika  menyimpan barang kebutuhan pokok dan atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang.

“Dan ini sudah terbukti kemarin kan bagaimana ada indikasi terjadi penimbunan barang (minyak goreng).  Kita enggak tahu siapa yang menimbun, nyatanya kan  sampai berton-ton. Ternyata setelah  kelangkaan itu kan ada partai politik yang kemudian menggelontorkan  bantuan dengan sekian ratus ribu ton,” bebernya.  

Menurut Prof. Suteki terbukti lagi  begitu HET (harga eceran tertinggi)  nya dicabut  tiba-tiba supermarket penuh dengan minyak goreng kemasan.  “Kalau sekarang silakan cari di supermarket. Supermaket mana  yang tidak ada minyak goreng. Cuma tadi harganya sudah dimainkan karena HET nya untuk  minyak dalam kemasan sudah  dicabut, diserahkan pada mekanisme pasar,” bebernya.

 “Kalau diserahkan pada mekanisme pasar otomatis itu terjadi hukum ekonomi pasar. Siapa yang punya, yang bisa menentukan harga semaunya . Apakah ini tidak bisa dikatakan sebagai mafia?” tanyanya.

Menurutnya, kalau  sesuai dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mestinya tidak diserahkan pada mekanisme pasar. Kita ini punya ideologi  Pancasila. Tapi sifat dari ideologi manusia itu kan adanya logika inkonsistensi.

 “Jadi mengatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tapi kenyataannya yang terjadi adalah bukan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia tapi keadilan bagi segelintir orang, bagi para elit-elit politik. Dengan begitu praktek perokonomian kita sangat liberal,” tandasnya.

Prof. Suteki mempertanyakan peran Kementerian Perdagangan yang tidak mampu  mengatur tata niaga pangan khususnya minyak goreng.

“Saya kira memang  ini menjadi masalah terbesar bagi kita sekarang  ini. Ngatur minyak goreng saja enggak bisa, mosok mau mikir soal tiga periode, perpanjangan masa jabatan presiden,  mikir IKN dan seterusnya,” sesalnya.

Ia menyimpulkan bahwa mafia menang dibanding negara. Kekalahan negara oleh mafia ini jelas nampak ketika negara melepas harga sesuai pasar.

“Otomatis tidak lagi menjadi negara kesejahteraan (welfare state). Dan ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 45 alinea 4 serta pasal 33,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :