Polemik Kartu BPJS jadi Syarat Jual Beli Tanah - Tinta Media

Selasa, 01 Maret 2022

Polemik Kartu BPJS jadi Syarat Jual Beli Tanah

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1kK9cQYdZxeQPWwGzDXgsY7HRlsrA4X5I

Tinta Media - Lagi-lagi rakyat harus menerima kabar pahit. Saat ini pemerintah menerbitkan aturan baru melalui Instruksi Presiden (inpres) no.1 tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Jaminan Sosial Kesehatan Nasional. Dalam aturan baru tersebut, setiap warga negara wajib memiliki kartu BPJS kesehatan jika ingin mengurus SIM, STNK, naik haji dan umroh, bahkan menjadi syarat transaksi jual beli tanah.

Persyaratan baru ini mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 2022, walaupun hingga saat ini belum ada sosialisasi pada masyarakat. Kebijakan ini sangat terburu-buru dan terkesan mengada-ada. Bahkan dikritik banyak pihak karena dinilai membebani rakyat, apalagi di tengah banyaknya kesusahan hidup yang dihadapi saat ini akibat pandemi yang berkelanjutan.

Staff khusus kementerian ATR/BPN Teuku Taufiqulhadi menyatakan bahwa dengan kebijakan ini pemerintah ingin mengoptimalisasikan BPJS serta mendorong kesadaran masyarakat akan kesehatan, terlebih dalam kondisi pandemi sekarang. Saat terjadi transaksi jual beli tanah maupun bangunan harus dilampirkan kartu peserta BPJS, walaupun hanya pihak pembeli saja yang berkewajiban menyertakan kartu. 

Hadi menilai kebijakan ini tidak akan membebani rakyat karena orang yang akan membeli tanah pasti mampu membayar iuran BPJS. Karena itu, dengan adanya kebijakan ini, peserta BPJS yang saat ini hanya berkisar 50 persen diharapkan akan mencapai 100 persen. Ini sesuai dengan undang-undang BPJS bahwa pemerintah mewajibkan setiap warga negara memiliki BPJS.

Padahal, sudah menjadi rahasia umum di tengah masyarakat bahwa BPJS memiliki preseden buruk akibat buruknya pengelolaan, hingga mengalami defisit. Namun, hal ini tidak menyurutkan pemerintah untuk tetap menjalankan aturan tersebut. Bahkan Menteri ATR/BPN telah melakukan rapat koordinasi dengan banyak pihak dan telah mendapatkan persetujuan dari anggota Komisi II DPR.

DPR yang diklaim merupakan wakil dari rakyat, dengan berbagai produk UU yang dihasilkannya ternyata tidak pernah mewakili suara rakyat. Mereka mengambil keputusan yang seringkali tidak pro-rakyat. Bahkan, acapkali para wakil rakyat ini malah membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat. 

Inilah potret buram sistem negara kita. Aturan yang katanya dibuat oleh, dari, dan untuk rakyat, hanyalah slogan semata, tidak pernah benar-benar menyuarakan suara rakyat. Aturan yang ada sebenarnya hanya menguntungkan segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan kapital, untuk mendapatkan keuntungan semata. Sistem ini batil dengan aturan yang dibuat oleh akal manusia dan tidak akan memberikan keadilan kepada rakyat, bahkan berujung kesengsaraan.

Sistem demokrasi kapitalisme yang dianut negara ini tidak pernah menjamin keberlangsungan hidup rakyat. Padahal, tiap individu rakyat di mana pun dia berada, memiliki kebutuhan yang sama, yakni pangan, sandang, papan, juga kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Kebutuhan dasar ini wajib dipenuhi oleh negara. Terpenuhi-tidaknya, menjadi indikator apakah kehidupan rakyat sejahtera ataukah tidak.

Namun, dengan adanya UU tentang BPJS yang melimpahkan tanggung jawab kesehatan kepada rakyat itu sendiri dengan dalih gotong-royong, hakikatnya telah menunjukkan kegagalan negara ini dalam pemenuhan kebutuhan rakyat, khususnya kesehatan. 

Munculnya BPJS menunjukkan bahwa negara hadir bukan sebagai pelayan rakyat, tetapi hanya sebagai regulator sehingga layanan publik pun dijadikan sektor potensial yang dikomersialisasikan. Apalagi dengan adanya kebijakan BPJS sebagai persyaratan untuk jual beli tanah, menunjukan pemerintah mempersulit rakyat dalam urusan administrasi. Ini sama saja dengan pemalakan berkedok UU BPJS kesehatan.

Kebijakan ini jelas menyulitkan rakyat, pantaslah jika dikatakan 'rezim koboi yang zalim'. Padahal, Rasulullah saw. bersabda, yang artinya: 

"setiap hamba yang Allah (takdirkan) melayani masyarakatnya, (lalu) mati di suatu hari, dan ia zalim (selama memimpin) kepada rakyatnya maka Allah haramkan baginya surga."(Muttafaqun ‘Alaihi)

Berbeda dengan sistem Islam yang menempatkan penguasa sebagai pelayan. Mereka akan senantiasa melindungi dan mengurus setiap urusan rakyat, serta memberikan kemudahan. Islam memandang kesehatan rakyat adalah tanggung jawab negara, karena merupakan kebutuhan dasar publik yang pelayanannya wajib disediakan bagi seluruh rakyat secara gratis, tanpa kecuali.

Sumber pendanaannya tidak sedikit pun diambil dari rakyat, baik melalui pajak ataupun pungutan lain. Akan tetapi, sumber dananya berasal dari baitul mal dalam pos kepemilikan umum, karena pemenuhan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan keamanan termasuk dalam pelayanan umum. 

Negaralah yang ditunjuk oleh syariat untuk menyelenggarakannya, dengan menyediakan sarana dan prasarana serta pelayanan secara maksimal, sehingga masyarakat dapat hidup sehat dan menjadi SDM yang produktif dalam memberikan kontribusi terhadap ketinggian agama dan peradaban Islam. 

Wallahu'alam bishshawab


Oleh: Thaqqiyuna Dewi S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :