Perwira TNI-Polri Debat Soal Kebijakan IKN, IJM: Wujud Keresahan Rakyat - Tinta Media

Selasa, 08 Maret 2022

Perwira TNI-Polri Debat Soal Kebijakan IKN, IJM: Wujud Keresahan Rakyat

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1swgXkvq6MiY3PZTJluq_1NlfaZGvpq8G

Tinta Media - Heboh, Perwira TNI-Polri memperdebatkan  kebijakan IKN dinilai oleh Peneliti Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. M. Sjaiful, S.H., M.H. sebagai wujud keresahan rakyat secara keseluruhan.

“Saya kira ini merupakan wujud dari  keresahan rakyat Indonesia secara keseluruhan,” tuturnya dalam acara Kabar Petang: WAG TNI-Polri Ditertibkan, IKN Dilarang Diperdebatkan? Sabtu (5/3/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.

Menurutnya, eksistensi TNI itu bagian dari rakyat dinyatakan dalam berbagai aturan. “Sapta Marga yang ke-4  disebutkan bahwa TNI adalah bhayangkara negara dan merupakan bagian dari perjuangan bangsa Indonesia. Dalam Delapan Wajib TNI poin 6 disebutkan bahwa TNI selalu memperjuangkan hal-hal yang tidak merugikan rakyat,” jelasnya.

Dari undang-undang nomor 34 pasal 2, lanjutnya, ditekankan di situ bahwa TNI itu adalah bagian integral dari rakyat. Anggota TNI berasal dari rakyat, berasal dari warga negara Indonesia. Di pasal 6 undang-undang yang sama disebutkan fungsi TNI adalah menangkal semua bentuk  ancaman militer yang  mengganggu kedaulatan negara Republik Indonesia.

“Jadi kalau menurut undang-undang,  wajar saja TNI atau Polri mengungkapkan pandangannya menyampaikan kritik terhadap IKN. Saya kira ini merupakan representasi dari rakyat Indonesia yang ingin melihat bagaimana kepentingan rakyat itu lebih diutamakan. Bagaimana kedaulatan negara Republik Indonesia itu lebih diutamakan. Jangan sampai misalnya keberadaan  IKN  diduga hanyalah untuk kepentingan para oligarki,” terangnya.

Sjaiful menilai, TNI bisa berbeda pendapat dengan  kebijakan pemerintah dalam rangka membela kepentingan rakyat. “Meski dalam Sapta Marga dan Sumpah Prajurit dikatakan bahwa seorang prajurit itu harus taat kepada pimpinan.  Tapi harus diingat yang dimaksud dalam Sapta Marga dan Sumpah Prajurit taat kepada pimpinan adalah taat dalam kerangka untuk kepentingan rakyat,” tegasnya.

Menurut Sjaiful, kalau tidak taat kepada pimpinan, kepada perintah yang  tidak pro-rakyat, tidak egaliter, tidak menjamin kesejahteraan rakyat, tidak tepat jika dikatakan melanggar Sapta Marga.

Pun demikian dengan kebijakan penertiban WAG. “Jadi saya kira penertiban grup WhatsApp itu tidak boleh, itu kan bagian dari berdemokrasi. Jangan dianggap bahwa TNI itu tidak boleh ikut-ikutan berdemokrasi. Kalau dikatakan demikian berarti TNI itu warga kelas dua, padahal kan semua orang sama di depan hukum,” tandasnya.

Menurutnya, apa yang didiskusikan Grup WA oleh kalangan TNI terkait  kebijakan pemindahan IKN  harus disikapi dengan positif.

“Saya mendukung pendapat  Wakil Ketua Fraksi PKS Sukamta  bahwa apa yang dilakukan  TNI harusnya dilihat  bukan persoalan memindahkan ibukotanya, tetapi apakah pemindahan itu demi  kepentingan rakyat atau bukan,” jelasnya.  

Sudah seharusnya, lanjut Sjaiful, sikap seorang prajurit yang menjunjung tinggi Sapta Marga, atau sikap kepolisian yang menjungnjung  tinggi Korp Bhayangkara melindungi kepentingan rakyat. Sehingga ketika ada keputusan politik yang tidak pro rakyat mengambil bagian terdepan melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.

Sjaiful menilai penertiban WhatsApp Group internal  TNI dan Polri khususnya soal IKN mengindikasikan terjadi otoritarianisme penguasa. Sebagai seorang Muslim tidak boleh diam terhadap kezaliman penguasa. Rasul memerintahkan kaum muslimin untuk taat pada penguasa.

Ia mengutip hadits Rasulullah bahwa mendengar dan taat pada penguasa adalah kewajiban. Bahkan seandainya kebijakannya tidak disukai. Dengan catatan tidak mengajak pada kemaksiatan. Tapi kalau mengajak kepada maksiat Rasul melarang untuk  mendengar dan mentaatinya.

“Melakukan kritik terhadap kebijakan kebijakan penguasa juga  bukan perkara  yang  dilarang di dalam Islam,” tegasnya.

Sjaiful memberikan contoh bahwa  seorang wanita mengkritik kebijakan Khalifah Umar yang membatasi besaran mahar.  Wanita itu mengkritik bahwa kebijakan Khalifah Umar bertentangan dengan Q.S. An Nisa ayat 20.

“Mendengar protes dari  wanita itu Khalifah  Umar  membatalkan kebijakan ini,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :