Tinta Media - Heboh, Perwira TNI-Polri memperdebatkan kebijakan IKN dinilai oleh Peneliti Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. M. Sjaiful, S.H., M.H. sebagai wujud keresahan rakyat secara keseluruhan.
“Saya kira ini merupakan wujud dari keresahan rakyat Indonesia secara keseluruhan,” tuturnya dalam acara Kabar Petang: WAG TNI-Polri Ditertibkan, IKN Dilarang Diperdebatkan? Sabtu (5/3/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.
Menurutnya, eksistensi TNI itu bagian dari rakyat dinyatakan dalam berbagai aturan. “Sapta Marga yang ke-4 disebutkan bahwa TNI adalah bhayangkara negara dan merupakan bagian dari perjuangan bangsa Indonesia. Dalam Delapan Wajib TNI poin 6 disebutkan bahwa TNI selalu memperjuangkan hal-hal yang tidak merugikan rakyat,” jelasnya.
Dari undang-undang nomor 34 pasal 2, lanjutnya, ditekankan di situ bahwa TNI itu adalah bagian integral dari rakyat. Anggota TNI berasal dari rakyat, berasal dari warga negara Indonesia. Di pasal 6 undang-undang yang sama disebutkan fungsi TNI adalah menangkal semua bentuk ancaman militer yang mengganggu kedaulatan negara Republik Indonesia.
“Jadi kalau menurut undang-undang, wajar saja TNI atau Polri mengungkapkan pandangannya menyampaikan kritik terhadap IKN. Saya kira ini merupakan representasi dari rakyat Indonesia yang ingin melihat bagaimana kepentingan rakyat itu lebih diutamakan. Bagaimana kedaulatan negara Republik Indonesia itu lebih diutamakan. Jangan sampai misalnya keberadaan IKN diduga hanyalah untuk kepentingan para oligarki,” terangnya.
Sjaiful menilai, TNI bisa berbeda pendapat dengan kebijakan pemerintah dalam rangka membela kepentingan rakyat. “Meski dalam Sapta Marga dan Sumpah Prajurit dikatakan bahwa seorang prajurit itu harus taat kepada pimpinan. Tapi harus diingat yang dimaksud dalam Sapta Marga dan Sumpah Prajurit taat kepada pimpinan adalah taat dalam kerangka untuk kepentingan rakyat,” tegasnya.
Menurut Sjaiful, kalau tidak taat kepada pimpinan, kepada perintah yang tidak pro-rakyat, tidak egaliter, tidak menjamin kesejahteraan rakyat, tidak tepat jika dikatakan melanggar Sapta Marga.
Pun demikian dengan kebijakan penertiban WAG. “Jadi saya kira penertiban grup WhatsApp itu tidak boleh, itu kan bagian dari berdemokrasi. Jangan dianggap bahwa TNI itu tidak boleh ikut-ikutan berdemokrasi. Kalau dikatakan demikian berarti TNI itu warga kelas dua, padahal kan semua orang sama di depan hukum,” tandasnya.
Menurutnya, apa yang didiskusikan Grup WA oleh kalangan TNI terkait kebijakan pemindahan IKN harus disikapi dengan positif.
“Saya mendukung pendapat Wakil Ketua Fraksi PKS Sukamta bahwa apa yang dilakukan TNI harusnya dilihat bukan persoalan memindahkan ibukotanya, tetapi apakah pemindahan itu demi kepentingan rakyat atau bukan,” jelasnya.
Sudah seharusnya, lanjut Sjaiful, sikap seorang prajurit yang menjunjung tinggi Sapta Marga, atau sikap kepolisian yang menjungnjung tinggi Korp Bhayangkara melindungi kepentingan rakyat. Sehingga ketika ada keputusan politik yang tidak pro rakyat mengambil bagian terdepan melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.
Sjaiful menilai penertiban WhatsApp Group internal TNI dan Polri khususnya soal IKN mengindikasikan terjadi otoritarianisme penguasa. Sebagai seorang Muslim tidak boleh diam terhadap kezaliman penguasa. Rasul memerintahkan kaum muslimin untuk taat pada penguasa.
Ia mengutip hadits Rasulullah bahwa mendengar dan taat pada penguasa adalah kewajiban. Bahkan seandainya kebijakannya tidak disukai. Dengan catatan tidak mengajak pada kemaksiatan. Tapi kalau mengajak kepada maksiat Rasul melarang untuk mendengar dan mentaatinya.
“Melakukan kritik terhadap kebijakan kebijakan penguasa juga bukan perkara yang dilarang di dalam Islam,” tegasnya.
Sjaiful memberikan contoh bahwa seorang wanita mengkritik kebijakan Khalifah Umar yang membatasi besaran mahar. Wanita itu mengkritik bahwa kebijakan Khalifah Umar bertentangan dengan Q.S. An Nisa ayat 20.
“Mendengar protes dari wanita itu Khalifah Umar membatalkan kebijakan ini,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun